Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15.Ingatan semu.
Fajar baru saja menyingsing di atas atap kediaman keluarga Shen.
Cahaya keemasan menembus tirai sutra tipis dan jatuh lembut di lantai batu, memantulkan bayangan samar dari ukiran naga di pilar-pilar ruang dalam.
Di kamar utama, aroma obat hangat masih samar di udara.
Shen Hua Xuan menggeliat pelan di atas ranjang, kepalanya berdenyut hebat, mulutnya kering. Ia memejamkan mata erat berusaha mengingat apa yang terjadi semalam,tapi hanya kilasan cahaya lentera, suara kecapi, dan… wajah seorang gadis berkulit pucat dengan mata yang jernih seperti air musim semi.
Tanda di pergelangan tangannya.
Bentuknya seperti teratai.
Persis seperti tanda di tangan ibunya.
Hanya sebuah ingatan yang tidak jelas, terbayang dipikiran nya pagi ini.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir pusing, tapi kemudian tubuhnya menegang.
Di tepi ranjang, seseorang duduk membelakanginya. Sosok itu diam, tidak bergerak, namun hawa yang dipancarkannya begitu tenang dan dingin seakan menyembunyikan amarah dalam diamnya.
Rambut hitamnya disanggul rapi dengan tusuk giok putih.
Jubahnya berwarna hijau pudar, sederhana namun anggun.
Nyonya Shen.
“...Ibu?” suara Hua Xuan parau, masih berat oleh kantuk dan sisa arak.
Perempuan itu tidak segera menoleh. Ia hanya mengusap ujung lengan bajunya perlahan, seolah menimbang sesuatu. Saat akhirnya berbicara, suaranya tenang tapi tajam seperti pisau yang disembunyikan di balik sutra.
“Jadi, putraku sekarang menghabiskan malam di rumah hiburan.”
Hua Xuan terdiam, tenggorokannya terasa kering. “Aku hanya... diundang teman, ibu. Tidak ada yang—”
“Tidak ada yang perlu kau jelaskan?”
Nyonya Shen berbalik perlahan, menatapnya. Wajahnya tampak cantik walaupun diusia empat puluh di bawah cahaya pagi, namun mata itu,mata yang dingin dan tajam menembus dirinya tanpa ampun.
“Namamu membawa nama keluarga Shen, Hua Xuan. Setiap langkahmu di luar istana membawa bayangan ayahmu dan keluargamu. Dan kau memilih untuk mabuk di Yue zhi, bagaimana orang akan menilai putra perdana menteri ikut bersenang-senang dengan sekumpulan tuan manja di rumah bordil.Apa tidak ada tempat lain selain disana?”
Nada suaranya tak meninggi, tapi justru karena itu, membuat dada Hua Xuan terasa sesak.
Ia menunduk. “Aku…aku sebenarnya tidak ingin ikut,tapi mereka memaksaku.Aku hanya minum saja,kalau tidak percaya tanya Gao zu.”
Gao zu yang berdiri tidak jauh dari ranjang tuan nya, mengiyakan ucapan Hua xuan. “Benar nyonya, tuan muda hanya minum saja dan tidak tergoda dengan wanita penghibur disana. ”
Keheningan panjang mengisi ruang.
Suara burung pagi di taman terdengar sayup, tapi di dalam kamar itu, udara seakan membeku.
Lalu, perlahan, ekspresi Nyonya Shen berubah.
Ia menatap wajah anaknya yang tampak lelah dan dalam sorot matanya, sesaat saja, muncul bayangan lembut yang jarang terlihat.
“Apa kamu tidak ingat pesan ayahmu?,” katanya lirih. “Satu malam saja, katanya. Tapi satu malam bisa mengubah seluruh hidup seseorang.”
Hua Xuan mengangkat pandangannya. “Ibu…”
Nyonya Shen bangkit dari tempat duduk, berdiri di sisi ranjang. Jemarinya yang halus bergerak menata kerah baju Hua Xuan, gerakan yang begitu lembut tapi terasa jauh.
“Gao zu bantu tuan mu bersiap,jangan biarkan berita tuan muda pergi ke Yue zhi terdengar oleh tuan besar!. ”
“Baik nyonya. ”
Perintah itu tidak boleh dilanggar ataupun di tunda, jika tuan besar Shen tahu masalah putranya pergi ke rumah hiburan. ia akan menghukum putranya dengan keras, nyonya Shen berusaha melindungi putranya tersebut.
Suara langkah kaki berat bergema di lorong batu.
Gao Zu baru saja merapikan sabuk sutra di pinggang tuannya ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka keras dari luar. Suara benturan itu menggema, membuat ketiga orang di dalam ruangan menoleh bersamaan.
Di ambang pintu berdiri Tuan Besar Shen, mengenakan jubah hitam berpinggiran emas, rambutnya disanggul tinggi dengan hiasan giok gelap yang menandakan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Dua pelayan laki-laki berdiri di belakangnya, masing-masing membawa pemukul kayu panjang.
Dan di sisi kanan, berdiri Yun Xin, saudara kembar Hua Xuan wajahnya tampak tenang, tapi di sudut bibirnya terselip sesuatu yang menyerupai senyum puas.
“...Ayah?” suara Hua Xuan tercekat, mencoba bangkit, tapi Gao Zu menahan lengannya dengan khawatir.
Tuan Besar Shen melangkah masuk. Setiap langkahnya berat dan berwibawa, seakan lantai batu sendiri menunduk di bawah pijakannya.
“Jadi ini benar.” Suaranya dalam dan dingin. “Putra yang kubanggakan semalam pulang dari Yue Zhi dalam keadaan mabuk, diseret pelayan karena tak bisa berjalan.”
Nyonya Shen menunduk cepat, matanya menatap lantai. “Tuan besar, biarkan saya menjelaskan—”
“Tidak perlu,” potongnya cepat. “Aku sudah mendengar semuanya dari Yun Xin.”
Hua Xuan memandang ke arah saudaranya, mata merah oleh emosi yang tertahan. “Kau mengadu pada Ayah?”
Yun Xin menatapnya datar. “Aku hanya melakukan kewajibanku. Tidak pantas anak keluarga Shen mempermalukan nama besar kita di depan umum.”
“Cukup!” suara Tuan Besar menggema seperti guntur.
Ia menatap anak laki-lakinya dengan sorot mata yang tajam bagai bilah pedang. “Hua Xuan, kau pikir karena ibumu selalu menutup-nutupi kesalahanmu, aku tidak tahu apa-apa? Kau pikir aku akan membiarkan namaku dijadikan bahan tertawaan pejabat lain?”
Hua Xuan membuka mulut, namun tak satu pun kata keluar.
Tuan Besar Shen menoleh ke pelayan yang membawa pemukul kayu.
“Lima kali.”
Gao Zu terperanjat. “Tuan besar! Tuan muda masih belum sepenuhnya pulih dari—”
“Lakukan!”
Dua pelayan maju ke depan. Nyonya Shen melangkah cepat, berdiri di antara mereka dan putranya. “Tuan besar! Dia masih anak kita! Ini hanya kesalahan kecil, tak perlu sampai—”
Tatapan tajam suaminya membuat suaranya terhenti di tenggorokan.
“Kesalahan kecil?” katanya perlahan. “Satu malam di rumah bordil bisa menghapus nama baik yang kubangun selama dua puluh tahun.”
Suasana di kamar mendadak membeku.
Akhirnya, Nyonya Shen mundur selangkah, wajahnya pucat, tangan yang menggenggam lengan bajunya bergetar halus.
Hua Xuan menatap ibunya, lalu berdiri tegak.
“Tidak apa, Ibu,” katanya pelan. “Aku akan terima hukuman ini.”
Pelayan pertama mengangkat pemukul kayu. Suara hantaman pertama terdengar keras dan berat, menembus keheningan pagi.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Hua Xuan menggertakkan giginya, urat di lehernya menegang.
Keempat.
Kelima.
Setelah suara kelima reda, pemukul itu dijatuhkan ke lantai. Bau darah samar bercampur dengan aroma obat sisa semalam.
Tuan Besar Shen menatapnya lama.
“Mulai hari ini,” katanya datar, “kau tidak diizinkan keluar rumah selama tiga bulan. Belajarlah menjaga kehormatan sebelum kau bicara tentang nama keluarga.”
Ia berbalik tanpa menoleh lagi, diikuti Yun Xin dan kedua pelayan.
Begitu pintu tertutup, Nyonya Shen segera berlutut di samping ranjang, memeluk putranya yang kini terhuyung lemah.
“Hua Xuan… kenapa kau tidak menolak?” bisiknya lirih, suaranya bergetar antara marah dan pilu.
Hua Xuan tersenyum samar meski wajahnya pucat.
“Lebih baik aku yang terluka… daripada Ibu yang disalahkan,semua ini gara-gara mulut Yun xin.Ibu sebenarnya dia itu kembaran ku atau tidak?kenapa aku tidak merasakan ikatan seperti saudara kembar yang lain?.”
Pertanyaan Hua xuan tidak bisa dijawab dengan jujur, karena dirinya harus berpura-pura untuk mencari kebenaran yang ia rasa selama ini disembunyikan oleh selir Wu.
Air mata akhirnya jatuh di pipi Nyonya Shen, menetes ke baju putranya yang sudah bernoda darah.
Dan di luar kamar, di bawah sinar pagi yang baru menembus pepohonan, Yun Xin berhenti sejenak, menatap langit dengan senyum tipis.
Di balik sikap tenangnya, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar iri sebuah rencana yang baru saja mulai bergerak.