Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Mobil berhenti di depan sebuah butik modern dengan papan nama elegan bertuliskan “Riana & Co. Wedding & Gift Boutique.” Senja menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk gugup sekaligus antusias. Ini hari pertama bekerja di butik tantenya Rara.
Begitu Senja melangkah masuk, lonceng kecil di atas pintu berdenting halus. Aroma bunga segar langsung menyambutnya, berpadu dengan wangi lilin aroma vanilla yang menenangkan. Rara yang sedang memeriksa daftar pesanan segera menoleh.
“Senjaaa!” seru Rara gembira. Ia bergegas menghampiri dan memeluk sahabatnya. “Aduh, aku senang banget kamu jadi kerja di sini. Kita bakal seru bareng, deh!”
Senja tertawa kecil. “Makasih ya, Ra, udah nerima aku.”
“Ya ampun, jangan ngomong gitu. Kamu malah bantu aku banget! Nih, hari ini kita lagi sibuk banget. Ada pesanan souvenir pernikahan super mewah dari keluarga pengusaha besar. Kamu bantu aku ngemasnya, ya.”
Senja mengangguk semangat. “Boleh banget, aku bantu.”
Rara menuntunnya ke meja panjang di tengah ruangan, di mana puluhan kotak perhiasan kecil berbalut pita emas sedang ditata. Souvenirnya tampak mahal, setiap detailnya begitu rapi dan elegan.
“Cantik banget, ya,” ucap Senja sambil menatap kagum. “Siapa yang menikah, Ra? Kayaknya istimewa banget ini.”
Rara membuka catatan di tangannya. “Hmm, bentar… namanya….oh, ini dia! Riko Prawito dan Amanda .”
Senja yang tengah mengikat pita tiba-tiba berhenti. “Riko?” tanyanya memastikan.
Rara mengangguk. “Iya, kenapa? Kamu kenal?”
Senja terdiam beberapa detik. Tatapannya kosong menatap kotak di tangannya. Lalu ia menghela napas pelan. “Riko itu… sepupunya Saka. Om Prawito itu kan adiknya papa mertua ku.”
Rara membelalakkan mata. “Serius? Ya ampun, dunia sempit banget!”
Senja tersenyum kaku, mencoba menutupi kegelisahan kecil yang tiba-tiba muncul di dadanya. “Iya… aku juga nggak nyangka dia akan menikah.”
“Emang keluarga Saka gak ngasih tau kamu?”
Senja menggeleng lemah. “Gak ada.”
“Ah belum mungkin, acaranya dua minggu lagi loh.”
“Gak ngabarin juga gak apa-apa, toh aku hanya numpang sementara di keluarga itu, gak akan jadi keluarga beneran,” ujarnya sambil mengikat pita.
“Aih jangan bicara seperti itu lah, dapat keluarga terhormat itu susah loh, siapa tahu kamu dan Saka bisa bersatu selamanya.”
Senja tersenyum kecil. “Kayaknya gak mungkin deh, aku juga gak berharap.”
Rara menatap sahabatnya itu sejenak. “Kok kamu berubah begitu, padahal baru kemarin kamu sedih karena disakiti suamimu, kayaknya kamu juga cinta sama dia.”
Senja menarik napas panjang. “Yah.. begitulah Ra! Awalnya aku berpikir untuk belajar mencintai suamiku, karena aku ingin menikah sekali seumur hidup, tapi… “ Kata katanya terputus dan menggantung ragu. Ia memandang Rara yang tampak antusias mendengarnya.
“Tapi kenapa?” tanya Rara.
“Tapi aku sadar, aku dan mas Saka itu jauh berbeda, ibarat bumi dan langit, matahari dan bulan, yang gak akan bisa bersama.”
Rara mengerucut bibirnya. Hmmm, aku tahu ini, pasti kamu gagal mengambil hati Saka, ya?”
Sambil mengikat pita di salah satu kotak souvenir, Senja tersenyum kecil, seolah mengingat sesuatu yang menyenangkan. “Aku gak tahu ini tergolong berhasil atau gak?”
Senja meletakkan kotak yang baru selesai dibungkus, lalu menopang dagunya dengan kedua tangan. “Pagi tadi, aku bangun lebih awal. Aku dandan, beres-beres, terus minta izin sama Saka buat kerja.”
“Dan dia bolehin?” Rara terlihat terkejut. “Biasanya kamu bilang dia dingin banget.”
Senja mengangguk pelan. “Iya. Tapi entah kenapa, tadi dia nggak seperti biasanya. Emang jawabannya masih datar, tapi… ada sesuatu yang beda. Tatapannya, caranya ngomong. Aku bahkan minta bareng berangkat kerja, dan dia …” Senja berhenti sejenak, senyum kecilnya melebar, “ …dia nganterin aku.”
Rara langsung berseru pelan. “Wah, itu kemajuan besar! Jadi, ‘misi’ kamu berhasil juga ya?”
Senja tertawa kecil, lalu menunduk malu. “Belum sepenuhnya, tapi setidaknya dia mulai kelihatan agak… lunak. Biasanya kan dia kayak robot, ditanya apapun…jawabannya template, iya… aja.”
Rara ikut tersenyum lebar, senang melihat semangat Senja kembali muncul. “Sen…, itu bagus banget. Artinya usahamu tidak sia-sia. Kadang cowok yang tertutup itu cuma butuh waktu buat terbiasa. Kamu udah di jalur yang benar.”
Senja menarik napas lega, matanya menerawang lembut. “Sekarang justru aku gak berniat lagi mengejar cintanya.’
“Loh kenapa?”
“Entahlah, mungkin saja aku sadar, cinta tak harus memiliki,” jawab Senja sambil tersenyum dan bercanda.
Rara menatap sahabatnya dengan curiga
“Jangan jangan kamu malah ngincer temannya Saka, sekarang?”
Senja tersenyum tipis. “InsyaAllah, gak. Pokoknya seperti apapun mas Saka, aku akan tetap setia sama dia, sampai waktunya kami berpisah nanti.*
Rara menepuk tangan Senja pelan. “Mantap!”
Senja menatap Rara sambil tersenyum tulus, lalu kembali bekerja tapi kali ini, dengan hati yang terasa jauh lebih ringan daripada sebelumnya.
Menjelang sore, setelah semua pekerjaan di butik selesai, Senja pamit pada Rara. Hari itu terasa produktif pikirannya lebih tenang, hatinya lebih ringan. Sebelum pulang, ia memutuskan mampir ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan dapur.
Lorong demi lorong ia lewati dengan tenang. Tangannya sibuk memilih sayuran segar, beberapa bumbu dapur, dan bahan untuk makan malam. Ia ingin memasak sesuatu yang enak untuk dirinya sendiri, setelah sekian lama terpuruk dalam kesedihan, perayaan itu perlu, pikirnya.
Ketika sedang asik memilih buah, tiba tiba terdengar suara deheman dari belakang.
“Hmm!”
Senja nyaris terlonjak dan kaget, reflek dia menoleh. Di belakangnya, berdiri sosok yang sangat ia kenal. Zein.
Pria itu tampak santai dengan kemeja lengan digulung dan senyum hangat di wajahnya. Namun yang paling mengejutkan, di lengannya ia menggendong seorang gadis kecil berusia sekitar dua tahun.
‘Mas, Zein,” gumamnya dengan pelan, pandangannya tertuju pada gadis kecil di sampingnya.
“Aku gak nyangka loh, bisa bertemu kamu di sini.”
Senja terpaku di tempat, hampir tak percaya, jika ini sebuah kebetulan belaka. “I-iya Mas, tadi aku baru pulang kerja di butik sebelah, jadi singgah ke sini.”
“Oh.. Begitu, rumahku juga dekat dari sini. Mampir yuk!” Ajak Zein dengan antusias.
Sementara gadis kecil yang digendongnya mulai tampak gelisah. “Ayah… mau beli boneka,” rengeknya dengan manja.
Senja tersenyum ke arah gadis kecil itu.’Ini anaknya, Mas, ya?”
“Iya,” Jawab Zein sambil mencium pipi tembem gadis itu. “Kenalan dulu sama tante,” bisik Zein yang terdengar di telinga Senja.
Gadis itu pun mengulurkan tangannya, meskipun ia terlihat bete karena sesuatu. Dengan semangat Senja mengulurkan tangannya.”Namanya siapa, Sayang?”
“Syifa!” Jawab gadis kecil itu.
“Nama yang bagus,” ujar Senja.
Setelah melepaskan tangannya, gadis kecil itu memandang Zein. “Ayah mau beli boneka!”
“Iya, sebentar ya!” bujuk Zein.
Senja jadi semakin canggung. “Gak apa-apa, mas lanjut saja belanjanya,” ucap Senja.
“Oke, aku permisi dulu, ya! Oh ya… kamu pulang sama siapa?” tanya Zein.
Senja kembali salah tingkah. “Hmm, saya pulang sendiri, Mas, emangnya kenapa ya?”
“Ya sudah, bagaimana kalau nanti pulangnya singgah ke rumah saya, dulu. Nanti saya dan Syifa antar.”
“Oh… gak usah,” sahut senja cepat.
“Loh kenapa?” tanya Zein. “Kita bertiga loh, sama Syifa.”
“Iya, sih mas, tapi aku gak bisa, aku harus pulang tepat waktu, nanti mas Saka… “
“Nanti biar aku yang bilang pada Saka, dia gak akan marah kok. “
Hmm… Senja pun meragu…
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you