NovelToon NovelToon
Whispers Of A Broken Heart

Whispers Of A Broken Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)

Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Bramantya kembali melajukan mobilnya menuju ke penjual mie ayam lainnya.

Rianti masih menggenggam kedua tangannya dan ia tidak menyangkut akan bertemu dengan Prabu.

"Apakah kamu masih mencintai, Prabu?" tanya Bramantya sambil menyetir.

Rianti menghela nafasnya sambil melirik ke arah suaminya.

"Bram, aku hanya ingin makan mie ayam. Jangan bahas tentang Prabu lagi." jawab Rianti dengan raut wajah sedikitpun kesal.

Bramantya tersenyum kecil dan ia meminta maaf kepada istrinya.

"Aku minta maaf dan sekarang apa kamu masih mau makan mie ayam?"

Rianti menoleh ke arah suaminya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Tentu saja aku masih mau makan mie ayam dan sekarang aku mau mie ayam yang enak dan yang banyak isinya." jawab Rianti.

Bramantya mengajak istrinya untuk menuju ke sebuah Mall dimana ada food court mie ayam yang sangat enak.

Lima belas menit kemudian mereka telah sampai di sebuah Mall.

Bramantya mengajak istrinya untuk turun dari mobil.

"Ri, boleh aku menggenggam tangan kamu?" tanya Bramantya.

Rianti menatap wajah suaminya yang tampak hati-hati, seolah takut ditolak.

Sudut bibirnya terangkat pelan, lalu ia mengulurkan tangannya.

“Boleh, Bram. Trauma aku nggak akan muncul jika kamu hanya menggenggam tanganku,” jawab Rianti dengan nada lembut disertai senyum kecil.

Bramantya tertawa lirih, kemudian menggenggam tangan istrinya erat hangat, tapi penuh kehati-hatian.

Mereka berdua berjalan beriringan memasuki mall. Rianti menatap sekeliling dengan tatapan yang mulai cerah kembali.

Suasana food court ramai dengan aroma menggoda dari berbagai makanan.

“Di sana, Bram,” ucap Rianti sambil menunjuk salah satu kios bertuliskan Mie Ayam Bakso Siomay 99.

Bram mengangguk dan membimbingnya ke arah sana.

Setelah melihat menu, Rianti langsung memesannya.

“Aku mau mie ayam toping siomay bakso, dan satu es teler besar,” ucap Rianti dengan semangat sekali.

“Kamu yakin bisa habisin semua itu?” tanya Bramantya.

Rianti menatapnya tajam, lalu mengangguk dengan gaya percaya diri.

“Lihat saja nanti. Aku kan baru sembuh, jadi harus isi tenaga.”

“Baik, kalau begitu. Aku pesan yang sama, biar adil,” jawab Bram sambil menatap pelayan.

Mereka duduk di salah satu meja dekat kaca besar yang menghadap ke taman mall.

Tak lama kemudian dua mangkuk mie ayam dengan topping melimpah datang bersama dua gelas es teler berwarna cerah.

Rianti menatap mie ayamnya seperti anak kecil melihat mainan baru.

“Akhirnya, ini yang aku mau dari tadi,” ucapnya sambil mengambil sumpit.

Bram menatap istrinya sambil tersenyum bahagia.

“Kalau kamu bahagia begini, rasanya semua capekku hilang,” ucap Bram pelan.

Rianti menatapnya sekilas, lalu tersenyum sambil mengunyah mie.

“Kalau gitu, jangan bikin aku marah lagi, biar kamu nggak capek.”

“Siap, Bu Polwan.”

Rianti menggeleng sambil tertawa, lalu melanjutkan makannya dengan penuh semangat.

Untuk pertama kalinya setelah lama, mereka bisa makan bersama tanpa air mata dan hanya tawa kecil.

Rianti mengambil tisu saat melihat saos yang ada di bibir suaminya.

"T-terima kasih," ucap Bramantya.

"Iya, Bram."

Setelah selesai makan, Rianti menyandarkan punggungnya di kursi sambil menepuk perutnya pelan.

“Hmm, mie ayamnya enak banget. Aku kenyang sampai besok pagi,” ujar Rianti sambil tersenyum puas.

Bramantya menatap wajah istrinya yang tampak lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir.

“Kalau kamu kenyang dan bahagia, aku juga ikut senang,” ucapnya pelan.

Mereka berjalan keluar dari food court sambil bergandengan tangan.

Suasana mall masih ramai, lampu-lampu toko berkilauan, menambah suasana hangat di antara mereka.

Namun tiba-tiba Bram menghentikan langkahnya di depan sebuah toko lingerie wanita.

Rianti spontan menatap papan nama toko itu, lalu cepat-cepat memalingkan wajah dengan pipi memerah.

“B-Bra, ngapain kamu berhenti di sini?” tanya Rianti dengan suaranya bergetar, campuran antara malu dan bingung.

“Aku cuma kepikiran satu hal, mungkin, kalau kamu pelan-pelan belajar berdamai dengan tubuhmu sendiri, kamu juga bisa mulai percaya diri lagi.”

“Maksudmu?” tanya Rianti dengan wajah kebingungan.

“Aku tahu kamu masih takut sama sentuhan, Ri. Tapi kadang, rasa percaya diri bisa dimulai dari hal kecil. Dari cara kamu memandang dirimu sendiri. Ini bukan soal aku tapi soal kamu.”

Rianti terdiam sejenak saat mendengar perkataan dari suaminya.

“Aku belum siap untuk hal seperti itu,” ucap Rianti lirih.

“Nggak apa-apa, Ri. Aku juga nggak maksa. Tapi mungkin kita bisa mulai dengan hal yang bikin kamu nyaman. Kamu pilih aja, apa pun yang kamu suka. Kalau nggak mau lingerie, bisa baju tidur atau piyama yang kamu suka.”

Mendengar itu, Rianti menghela napas lega setelah mendengar perkataan dari Bramantya.

“Kalau gitu, kamu aja yang pilih lingerie-nya,” ujarnya setengah menggoda, setengah menutupi rasa malunya.

“Yakin? Aku bisa pilih yang lucu tapi elegan, janji nggak aneh-aneh.”

Rianti menatapnya seolah ingin memastikan, lalu tersenyum malu.

“Ya udah, aku percaya. Tapi aku juga mau pilih sesuatu buat kamu.”

Mereka akhirnya masuk ke dalam toko dan Bramantya memilih dengan hati-hati.

Rianti hanya tersenyum kecil saat melihat suaminya yang sedang memilih Lingerie.

“Rasanya aneh, tapi aku senang kamu nggak bikin aku canggung.”

“Aku cuma mau kamu pelan-pelan sembuh. Bukan buat aku, tapi buat kamu sendiri.” ujar Bramantya sambil mengambil lingerie warna hitam yang sangat cocok untuk Rianti.

Selesai memilih Lingerie, Rianti menepuk bahu Bram.

“Sekarang giliranku.”

Ia melangkah ke rak pakaian tidur pria, lalu mengambil piyama berbahan lembut berwarna hitam.

“Ini buat kamu. Biar kamu juga bisa istirahat tenang. Katanya tadi mau adil, kan?” ujar Rianti sambil tersenyum manis.

“Wah, kalau begini aku nggak bisa nolak. Kita jadi pasangan piyama nih.”

“Asal kamu janji, malam ini nggak usah bahas hal berat. Kita cuma istirahat dan nonton film, ya?”

Bram mengangguk sambil mengulurkan tangannya lagi.

“Janji. Hari ini cuma tentang kita, dan tentang mulai dari awal.”

Rianti menggenggam tangan suaminya erat-erat dan Bramantya membayar belanjaan yang ia beli bersama dengan istrinya.

Setelah membayar dan begitu keluar dari toko, Rianti dan Bramantya berjalan bergandengan tangan melewati deretan butik.

Langkah mereka ringan, tawa kecil masih terdengar samar dari keduanya.

Namun semua itu berhenti ketika mendengar suara langkah berdecit di belakang mereka, diikuti nada suara perempuan yang sudah sangat dikenali Rianti.

“Wah, wah, wah. Ternyata dunia memang sempit, ya.”

Rianti spontan berhenti. Tubuhnya menegang.

Bramantya juga langsung menoleh.

Linda berdiri anggun di depan mereka, mengenakan blazer putih dan celana panjang hitam.

Tatapannya tajam, bibirnya tersungging dengan senyum sinis yang sudah lama tidak berubah.

“Linda…” ucap Rianti pelan.

“Eh, Kak Rianti.”

Nada suara Linda terdengar manis, tapi matanya menyimpan sindiran.

“Belanja lingerie, ya? Lucu juga ya, akhirnya kakak bisa juga belanja hal yang dulu aku yang belikan buat mantan suamiku.”

Bramantya langsung menegakkan tubuhnya, menatap Linda dengan wajah datar.

“Linda, cukup!"

Namun Linda justru melipat tangannya di dada dan melangkah lebih dekat.

“Cukup? Aku bahkan belum mulai, Mas.”

Ia menatap Rianti dari atas ke bawah dengan tatapan penuh kebencian.

“Dulu aku kira Kakak itu korban. Tapi ternyata, kakak pintar juga ya, bisa dapat suami dari hasil ‘perpindahan status keluarga’. Dari kakak ipar jadi istri. Nggak semua orang seberuntung itu.”

Rianti menundukkan kepalanya dan mencoba menahan napas agar tak terbawa emosi.

Bram melihat wajah istrinya mulai memucat, lalu berdiri sedikit di depannya.

“Linda, kalau kamu mau bicara tentang aku, silakan. Tapi jangan hina Rianti. Dia nggak pantas diperlakukan kayak gitu.”

Linda tertawa pelan dengan perasaannya yang sakit.

“Mas, melindungi dia, ya? Dulu waktu aku yang jadi istri, nggak pernah ada perlakuan selembut itu. Lucu, ya? Mungkin karena Kak Rianti lebih pandai memerankan diri sebagai korban?”

Perkataan dari Linda membuat Rianti sangat sakit hati.

Bramantya mengepalkan tangannya, namun menahan diri.

Ia menarik napas panjang, lalu menatap Linda tajam.

“Linda, kamu boleh benci aku. Tapi kamu nggak punya hak merendahkan dia. Kamu sudah pergi, kamu sudah punya hidupmu sendiri. Jadi berhenti menyeret masa lalu.”

Linda mendengus dengan air matanya yang mengalir.

“Pergi? Kamu yang usir aku, Mas. Kamu lupa siapa yang minta cerai waktu itu? Dan sekarang kamu berdiri di sini, memegang tangan kakakku, seolah kamu suami paling setia di dunia?”

Suasana di sekitar mereka mulai diperhatikan beberapa orang.

Rianti yang sudah tidak bisa sabar akhirnya angkat bicara.

“Linda, aku tahu kamu sakit hati. Tapi aku juga terluka. Hidupku hancur, sama seperti hidupmu dulu. Bedanya, aku memilih untuk memaafkan.”

Linda menatap Rianti dengan tatapan tajam, namun suara Rianti terus berlanjut.

“Bram bukan hadiah, dan aku nggak merebutnya. Kami sama-sama hancur dan berusaha memperbaiki diri. Kalau kamu nggak bisa mengerti, nggak apa-apa. Tapi jangan terus menuduh seolah aku menikmati semua luka ini.”

Keheningan tiba-tiba melingkupi mereka bertiga dan Linda langsung malu ketika banyak orang yang melihatnya.

“Ya sudah. Selamat, Kak. Semoga kali ini kamu nggak ditinggalkan juga.”

Ia membalik badan dengan cepat, meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.

Rianti memejamkan mata, menahan air mata yang tersisa.

Bram menggenggam tangannya lagi, lembut tapi kuat.

“Sudah. Jangan biarkan dia menganggu kamu lagi.”

Rianti mengangguk pelan, menatap suaminya dengan senyum yang masih goyah tapi tulus.

“Bram, terima kasih sudah nggak membalas dia tadi.”

Bram tersenyum, mengusap punggung tangannya.

“Kalau dulu aku akan marah. Tapi sekarang aku cuma pengen jagain kamu.”

Setelah itu Bramantya mengajak istrinya untuk pulang ke rumah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!