NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:314
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyergapan Musuh , Nihil , Helikopter Di Sia-siakan.

Ponsel di saku , mengundang , Elesa meraihnya, menatap sekejap nama pemanggil: Markno. Ia menggeser ikon, suaranya otomatis profesional.

“Ya, Pak.”

Di seberang, Markno tak membuang waktu. Musuh berhasil dilacak: pusat kendali sementara mereka berdenyut di sebuah gedung tua di belakang bandara—mungkin menempel pada desa kecil di tepi persawahan, memanfaatkan gelap, embun, dan jarak pandang yang menipu sebagai selimut. Air-Rium sudah memanaskan heli. “Silakan—helikopter menunggumu, Rom,” tutupnya, tegas.

Elesa menaruh ponsel, dan sebelum kata-kata apa pun sempat disusun, Rom sudah berdiri. Kursi bergeser pendek; peta di meja memantul pucat ke seragamnya. Tatapannya bertemu dengan Elesa, dan ada jeda setipis kertas di udara.

“El… eh, Bu,” katanya—mencari pijakan di antara adat dan naluri. “Saya pamit bertugas.”

Elesa menahan tangan di sisi meja, memastikan suaranya tidak lebih pelan daripada tekadnya. “Pergilah. Kembali—dan jangan mati. Urusanmu belum selesai.”

Rom menahan senyum yang tak jadi, lebih mirip tarikan garis di sudut bibir. “Kembali? Urusan kita?” Satu detik, ia nyaris melangkah ke wilayah yang bukan taktik. “Apa Anda… emm—”

“Aku tidak khawatir padamu,” potong Elesa, keras yang dingin tapi jujur. “Aku khawatir kau mati tanpa menyelesaikan tugas.”

Rom mengangguk—resmi, tapi mengandung sesuatu yang bukan protokol. “Baiklah. Setidaknya ada seseorang yang memintaku tetap hidup dan kembali. Kurasa… terima kasih.”

“Pergilah,” ulang Elesa, kali ini lebih datar, seperti menutup map di dalam dada.

Rom menyambar helmet bag, mengunci headset, dan keluar. Pintu kembali ke posisi semula dengan bunyi klik yang rapi. Di belakangnya, Elesa menarik napas, memeriksa ulang daftar—liaison, frekuensi, call sign—dan memutar tubuh ke jendela. Lampu kota di kejauhan seperti papan sirkuit raksasa; di tengahnya, ada satu titik di mana malam akan diuji.

---

Lorong menuju apron adalah lorong yang selalu dingin setengah derajat lebih daripada ruangan lain di markas: bau avtur samar, jejak karet ban, dan dengung listrik yang tidak pernah padam. Rom berbelok melewati barisan locker ketika langkah lain menyatu dengan miliknya—Juliar, tinggi besar, bahu selebar pintu, masih menyimpan perban di bawah rompinya. Di samping heli yang mulai memutar rotor perlahan, seorang pilot Air-Rium mengangkat dua jari, salam singkat. Lampu posisi menyala: merah dan hijau berdenyut dalam ritme jantung besi.

“Rom,” sapa Juliar, suaranya serak yang sehat. “Aku siap.”

“Bahumu?” Rom menilai cepat—mata seorang yang menghitung bukan hanya peluru, tapi menit.

“Cukup untuk memikul apa yang perlu dipikul.” Juliar merapatkan harness, cek cepat karabiner. “Aku ingin ada di grid ketika mereka kehabisan jalan.”

Pilot menunduk singkat, tangannya sibuk di kokpit. “Garuda-Nol-Tiga, avionik hidup. Menunggu brief.”

Rom naik, satu tangan di rel, satu lagi menahan map. Kabin sempit menelan suara menjadi halus. Letda Pangalay—liaison—sudah duduk di tengah, tali pengaman melintang rapi. “Call sign siap,” katanya, menoleh sebentar ke Rom, memastikan tatapan mereka mengunci sebelum kembali ke panel.

Rom mengenakan headset. Bunyi dunia luar mengecil; bunyi dunia dalam membesar. “Tujuan: gedung tua belakang bandara. Perkiraan desa kecil dekat persawahan. Prioritas: identifikasi, kunci jalur keluar, tekan tanpa memicu pecah di permukiman. Juliar, kau mata kedua di sisi kanan. Jangan lepaskan van putih—kemungkinan relay bergerak. Pilot, minta ketinggian awal 700 kaki AGL, turun ke 300 di atas grid persawahan.”

“Disalin,” jawab pilot. “Angin barat tujuh knot. Batasan noise pada desa.”

“Kita datangi mereka dengan bayangan, bukan guntur,” kata Rom. “Tapi jika perlu—kita jadi siang.”

Juliar menyeringai tipis, menempelkan punggung ke bulkhead. “Siap jadi siang.”

“Garuda-Nol-Tiga,” suara menara masuk, bersih. “Izin tinggal landas diberikan. Koridor utara terbuka. Semoga langit bersahabat.”

“Garuda-Nol-Tiga, roger,” jawab pilot.

Rotor menaikkan irama. Apron mundur, lampu-lampu garis kuning menjadi pita. Kota membuka tangannya—bukan untuk memeluk, melainkan untuk menusukkan ujung-ujung cahaya ke perut malam. Rom mencondongkan badan, mata menyapu garis-garis gelap di pinggiran bandara yang memanjang seperti kalimat yang belum diberi titik. Pangalay mengucapkan callout singkat; Juliar menekan binokular ke alis.

“Visual sawah di depan,” ujar Pangalay. “Ada refleksi air—hati-hati ground effect.”

Pilot mengangguk—gerakan yang lebih terdengar daripada terlihat di interkom. “Menurunkan ke 500. Menjauh dari pekarangan.”

Rom memutar map kecil ke orientasi udara. “Gedung tua, kemungkinan bekas gudang atau bengkel. Sisi timur ada jalan tanah ke desa. Sisi barat parit irigasi. Kalau mereka lari ke timur, kita dorong dari utara ke selatan dan tutup dengan Tombak-Satu dari jalan tanah. Kalau mereka lari ke barat, kita paksa memantul ke parit—bukan tenggelam, hanya tersudut.”

“Masuk akal,” Juliar bergumam, sorotnya tidak keluar dari kaca. “Rom, dua titik panas di atap—mungkin lookout dengan scanner murah.”

“Lampu sorot jangan menyala dulu,” kata Rom. “Biarkan mata mereka terbiasa gelap. Ketika kita muncul, itu harus jadi hal terakhir yang mereka pelajari malam ini.”

Di seberang headset, suara Elesa masuk singkat lewat kanal bersama—dingin dan stabil. “Rom, jalur darat bergerak. Cleaner team sudah di perimeter digital. Platform pertama memotong 60% sebaran. Tetaplah rendah dan jangan memicu panik di desa.”

“Diterima,” balas Rom. “Dan Elesa—” Ia berhenti sepersekian detik, membiarkan sesuatu lewat tanpa kata. “Siaran loud-hailer pakai teks tiga baris tadi.”

“Sudah,” sahut Elesa. “Dan Rom—kembali.”

Kata itu duduk di telinga seperti jimat kecil. Rom menggeser dagu, memasukkan kembali pikirannya ke garis. “Pilot, orbit pendek, dua putaran, radius sempit. Liaison, beri tanda ke darat untuk menutup sisi selatan. Juliar, kunci atap dan pintu barat. Kalau dilihat, kita cuma bayangan.”

Heli miring persis, memotong angin yang berserakan di atas petak-petak padi. Gedung tua itu muncul dari tegakan bambu, kotak gelap dengan dua mata kuning di sisi—jendela yang tak menutup rapat. Di jalur tanah, sepasang lampu menyala ragu, kemudian mati: refleks orang yang tahu langit lebih cepat daripada rem.

“Sekarang,” ucap Rom pelan—bukan teriakan, sekadar memaku momentum. “Orbit satu tanpa sorot. Orbit dua dengan sorot setengah. Biarkan mereka melihat bayang-bayangnya sendiri di tanah.”

“Copy,” kata pilot.

Rotor menurun perlahan, seperti napas yang dipaksa tenang. Garuda-Nol-Tiga mengunci hover singkat di atas atap bergelombang seng; lampu sorot hanya separuh, cukup untuk menekan nyali tanpa mengundang teriak. Di tanah, Tombak-Satu menyelinap dari jalan tanah timur, Duri-Dua memanjang menjadi pagar manusia di tepi desa—mereka bukan pagar besi, tapi jarak yang diajarkan untuk tidak retak. Liaison Pangalay menghitung detik di interkom; Juliar menempel di pintu samping dengan sling mengunci bahu; Rom memberi isyarat dua jari: orbit selesai, breach.

Pintu belakang gedung tua digedor, lalu ditarik mundur. Bau debu lama dan listrik hangus menyambut seperti tamu yang tidak diundang. Di dalam, kosong. Bukan kosong yang rapi—kosong yang sengaja. Rak-rak besi berdiri seperti kerangka, kardus dibiarkan terbuka untuk mengelabui, kabel-kabel kecil menjuntai kehilangan jantung. Di sudut, tiga meja lipat berjajar; masing-masing memikul satu komputer kecil mungil—kotak hitam yang lebih mirip permen logam ketimbang mesin perang. Layar mereka menyala biru redup, deretan jendela browser berbanjar, tab-tab yang terbuka pada akun-akun yang namanya terlalu generik untuk jujur.

“Clear kiri,” suara Tombak-Satu, kamar-kamar kosong menyerap gema.

“Clear kanan,” menyusul. “Tidak ada manusia.”

“Jangan percaya sepi,” ujar Rom ke interkom. “Jebak mata itu kadang lebih jujur daripada jebak tangan.”

Juliar melangkah masuk duluan, barrel rendah—bukan mengancam, tapi memastikan sudut-sudut yang suka berbohong. Pangalay menunjuk ke meja komputer, memberi ruang pada petugas forensik lapangan. Satu kit portabel dibuka; sarung tangan lateks berbisik ketika dipakai; kamera mikro menelan detail dari jarak sesentimeter.

“CPU mini, model murahan, tapi konfigurasi—” teknisi menggantung kalimatnya, heran bercampur muak. “Semua headless-runner buat scheduler unggah. Jejaknya disetel memantul-mantul… mereka pakai container ringan, token login banyak, dan proxy lapis. Tidak ada keyboard.”

Rom mendekat, helm menabrak cahaya layar, membuat bayangan tajam di pipinya. Di monitor, daftar unggahan sedang antre di jam-jam berikutnya—judul yang berganti huruf setiap unggahan, pola yang baru masuk akal kalau dilihat dari jauh: sebuah ritme. “Ini bukan markas,” gumamnya. “Ini metronom.”

Juliar merogoh laci meja—kosong kecuali tumpukan receipt tinta pudar dan satu gulung lakban. Ia mengetuk pelan casing komputer. “Mereka tidak ingin kita menangkap orang. Mereka ingin kita menangkap mesin.”

“Potong sekarang,” perintah Rom ke forensik. “Tapi jangan cabut brutal. Baca napas terakhirnya dulu.”

Teknisi mengangguk. Kabel LAN dilepas dengan capture di sisi switch forensik. Arus data yang tersisa digiring ke sniffer. Di layar, peta kecil dunia digital terbuka seperti luka—panah-panah halus berlari ke titik-titik yang menolak nama; sebagian kembali ke alamat yang sengaja dibuat tampak konyol untuk memancing senyum orang awam. Pangalay menyuapkan koordinat kasar ke kanal pusat. “Rute keluar paket? Loncat ke dua VPS asing, turun di paste-dump temporary, baru meledak ke platform publik.”

“Dan seed awal?” tanya Rom.

Teknisi menggeleng, cemberut. “Jejak pertama dibersihkan. Yang tertinggal cuma alat perkalian. Pembuat lagu sudah pergi; yang tertinggal hanya metronom.”

Pilot di interkom mengingatkan angin berubah arah di atas sawah. “Kita menunggu go atau RTB?”

Rom menahan jawaban; ia membiarkan jengkel naik setinggi dada—ditampung, bukan dilampiaskan. “Tahan di atas. Orbit tinggi, hemat fuel.” Ia memutus sementara, menatap kosong ke tiga kotak hitam di meja. “Untuk ini, kita bawa langit,” ucapnya pelan—bukan sindiran pada siapapun, lebih pada ruang yang bergema. “Untuk mesin kecil yang bahkan tak punya suara.”

Dari kanal markas, suara Elesa masuk, rata namun terdengar melewati tebing. “Update.”

“Gedung kopong,” jawab Rom. “Tiga komputer kecil, otomatis, berisi akun-akun penyebar. Jejak manusia tipis. Misi… tak menyentuh orang. Hasil tak menyentuh pusat.”

Ada jeda. Elesa tidak menghela, tidak menyesali, hanya menata. “Cleaner team di sisi digital mematikan 82% cermin. Tautan primer turun. Warga di RS mulai surut—narasi loud-hailer bekerja. Tapi ini—” suaranya mengeras satu nada, “—bukan ujung.”

“Ini bukan perburuan harimau,” kata Rom. “Ini memunguti pawang bayangan.”

Juliar berdiri di ambang pintu yang menganga. Angin persawahan membawa bau lumpur basah—tenang, tak peduli pada perang komputer. “Kita pulang dengan tangan kosong,” gumamnya. “Heli… seolah jalan-jalan.”

“Jangan hina langit,” sahut Rom datar. “Langit membawa kita lebih cepat untuk menemukan ketidakadaan. Itu juga temuan.”

Ia mendekati monitor, membaca satu nama akun yang tampak biasa sekali—terlalu biasa: dua kata umum yang jika dipasangkan tidak berarti apa-apa. Scheduler menunjukkan unggahan berikutnya akan menekan tombol dalam 19 menit jika tidak ada yang mengganggu. Teknis menunjukkan jempol, memberi tanda “aman untuk mati.”

“Matikan,” ujar Rom.

Satu per satu, proses otomatis itu diputus. Terjadi kesenyapan yang bukan hening—lebih seperti ruang lama yang mendapati suara detak jamnya sendiri. Pangalay mengemas image disk ke media aman, menempelkan segel. Di sudut, kipas kecil komputer masih berputar, keras kepala, sebelum akhirnya menyerah pada listrik yang dicabut.

“Tidak ada stash lain?” tanya Rom.

“Forensik cepat bilang nol,” jawab teknisi. “Kalau ada, bukan di sini.”

Rom melangkah ke tengah ruangan. Ia memutar pelan, mencari yang tidak terlihat—tripwire, lubang intel, fragmen tulisan tangan yang sering lalai dibunuh oleh orang yang terlalu percaya pada mesin. Tak ada. Seperti panggung yang ditinggalkan pemainnya pada adegan salah.

“RTB?” pilot mengulang, sabar.

Rom menekan PTT. “Garuda-Nol-Tiga, RTB. Jalur sama. Fuel cek.”

“Disalin.”

Juliar menghela, bahunya yang lebar turun setengah inci—ekspresi kecil dari tubuh besar yang jarang mengaku letih. “Kota selamat malam ini,” katanya, seakan mengingatkan diri sendiri kenapa ‘tangan kosong’ tidak identik dengan ‘sia-sia’.

“Belum tentu selamat besok pagi,” Rom menanggapi, tidak sinis, hanya jujur. “Tapi malam ini, kita memotong jam.”

Di kanal pusat, Elesa kembali. “Aku dengar ‘RTB’. Markno di RS. Massa turun jadi satu garis tipis. Ia menyuruh kalian kembali, evaluasi ulang. Aku… akan menunggumu di ruang lantai tiga.”

Rom tidak menjawab “kembali”-nya. Ia menatap meja komputer yang kini hanya mebel, lalu memberi kode ke Tombak-Satu untuk menyegel lokasi, memasang pita, dan menyerahkan kunci kepada polisi setempat. Satu per satu prajurit mundur, langkah mereka menyisakan debu yang segera jatuh lagi. Malam menelan kembali gedung tua itu, dan sawah mengembalikan haknya atas angin.

Heli terangkat, ringan seperti kalimat yang tidak jadi marah. Di bawah, atap seng mengecil, garis parit menjadi goresan, dan lampu desa bertambah pelit. Rom menyandarkan helm ke headrest, menutup mata sekejap—dalam gelap itu, ia melihat ruang kosong dan tiga komputer terasa lebih menyakitkan daripada satu ruangan penuh musuh. Setidaknya musuh memberi bentuk untuk ditangkap; metronom hanya memberi waktu.

“Maaf,” ucap Juliar tiba-tiba, bukan karena kesalahan, tapi karena kebiasaan orang lapangan ketika hasil tidak memuaskan.

“Maaf diterima kalau membuatmu tajam,” kata Rom. “Kalau membuatmu tumpul, simpan saja.”

Pilot tertawa tanpa suara; rotor melukis lingkaran lain di langit yang mulai lengang. Pangalay mengetik ringkas, mengirim catatan ke markas.

Di interkom, Elesa menutup laporan: “Angka cermin berhenti naik. Itu kerja kalian juga.”

Rom membuka mata. “Itu kerja semua orang yang menolak menonton.”

Heli mendekati apron. Lampu-lampu kuning menunggu seperti garis bawah pada paragraf panjang. Begitu roda menyentuh tanah, getaran tubuh besi mereda, menyisakan dengung yang tahu diri. Pintu geser dibuka; udara stasioner menyambut dengan bau karet dan besi yang netral.

Turun dari heli, Rom menahan langkah setengah detik—bukan karena letih, tetapi untuk menahan marah yang tidak boleh dibawa masuk ke ruangan. Ia menatap ke arah bandara yang gelap di kejauhan; di balik sana, gedung tua masih berdiri, kini cuma alamat di berkas. Misi tidak gagal dalam arti manual—perimeter aman, seed dipotong, massa surut. Namun, bagi bagian diri yang ingin memegang kerah musuh dan melihat mata mereka—malam ini terasa seperti meninju kabut.

“Besok lagi,” kata Juliar, seolah menerjemahkan pikirannya. “Bukan kabut selamanya.”

Rom mengangguk. “Besok lagi.”

Mereka melangkah ke lorong dingin yang sama. Di ujung, ruang lantai tiga menunggu—neon, peta, dua cangkir teh yang mungkin masih di sana, dan seseorang yang tadi mengatakan “kembali” tanpa meminta penjelasan. Helikopter tidak pecah dan tidak meledak pahlawan; ia hanya menjadi kendaraan yang membuat mereka tiba cukup cepat untuk menemukan bahwa musuh telah mengubah perkelahian menjadi jam. Malam ini, langit memang terasa seperti tidak berguna—sampai orang mengingat: tanpa langit, mereka baru akan tahu ketidakadaan itu besok siang, saat semuanya sudah telanjur menjadi berita lagi.

Rom menutup pintu lorong dengan tangan kiri, membiarkan bunyi klik kecilnya menjadi tanda baca terakhir. Tidak ada sorak. Tidak ada musik kemenangan. Hanya jarum waktu yang kembali berjalan pada kecepatan biasa, dan di antara detik-detik itu, ruang tipis untuk menyusun ulang cara bertarung melawan sesuatu yang tidak ingin berbentuk.

Lampu sorot mekar, tidak meledak; ia menelusup—garis putih yang memanjat genting, memantul di parit, dan jatuh tepat di mulut pintu belakang. Dua orang terhenti—siluet dahan, bukan batang. Juliar menurunkan binokular, mengganti dengan pandangan telanjang—keterampilan prajurit yang tidak selalu percaya pada kaca.

“Gerakan di sisi timur,” lapornya. “Tiga orang. Satu bawa case. Satu lagi menendang pintu dari dalam.”

“Tutup timur,” kata Rom ke kanal darat. “Tombak-Satu, block. Duri-Dua, buffer desa—jangan biarkan penonton. Kita bukan pertunjukan.”

Heli mengambil sudut lain, nafasnya terjaga. Di bawah, sawah mengilap seperti kulit ikan raksasa. Rom menahan dorongan untuk menyelesaikan segalanya dengan satu perintah keras. Malam membutuhkan akurasi; desa membutuhkan tidur setelah gaduh. Ia mengangkat telunjuk pada Pangalay—gerak kecil, isyarat siap pada kata berikutnya.

“Jika mereka pecah ke barat,” katanya tenang, “kita garis di atas parit. Jika mereka bertahan di dalam, kita beri mereka jalan keluar yang kita pilih.”

Juliar menarik strap harness-nya sekali lagi, bibir bergerak tanpa suara—kebiasaan lama menghitung detik. Pilot menstabilkan heli, rotor mengiris udara seperti jarum jam yang menolak bergegas. Dan seluruh kegelapan di sekitar bandara—desa, bambu, hampar air—menahan napas, sejenak, saat tiga dimensi taktik bertemu diam yang sempurna.

Rom tidak menoleh ke belakang—tidak pada neon pucat ruang lantai tiga, tidak pada ponsel yang kini hening di meja, tidak pada tatap yang tadi diikat dengan kata “kembali.” Ia menatap ke bawah, ke satu gedung tua yang sedang menunggu definisi baru: markas musuh atau sekadar bangunan yang salah berdiri di malam yang salah. Di interkom, suara Elesa turun setingkat, nyaris seperti bisik yang menyeberang tanpa kaki: “Jangan mati.”

Rom tidak menjawab. Ia menempatkan telapak di peta, menutupi satu kotak kecil, lalu melepasnya; garis-garis itu tetap di sana—jalur yang tidak menunggu restu, hanya menunggu komando yang tepat. Heli melingkar untuk putaran berikutnya, dan waktu, seperti rotor, berputar pada poros yang untuk sekali ini mereka kuasai.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!