Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Perjalan mengantarkan Sinta, Dion melihat Sinta yang memegangi perutnya.
"Kamu kenapa, Sin? Apa perlu kita ke rumah sakit?" tanya Dion.
Sinta menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia sekarang sedang datang bulan.
Dion yang mendengarnya langsung meminggirkan mobilnya dan turun dari mobil.
"Tunggu sebentar dan jangan kemana-mana." ucap Dion yang kemudian masuk kedalam supermarket.
Dion masuk ke supermarket dan membeli sesuatu untuk Sinta yang sedang datang bulan.
Tak berselang lama Dion kembali masuk kedalam dan memberikan belanjaannya kepada Sinta.
Dion membukakan roti coklat dan minuman herbal untuk Sinta.
"Kamu makan dulu, ya. Setelah itu kamu minum ini buat menghilangkan rasa nyeri." ucap Dion sambil menyuapi Sinta.
"Maaf, aku malah merepotkan kamu." ucap Sinta dengan suara lirih.
Dion memintaku Sinta untuk tidak berkata seperti itu lagi.
Ia mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Karan kalau hari ini ia libur satu hari
"Mas, kamu tidak perlu libur kerja." ucap Sinta.
Dion menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis sambil tetap memperhatikan Sinta yang sedang memegangi perutnya.
“Sin, jangan bilang gitu. Aku nggak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku senang bisa ada buat kamu,” ucap Dion pelan namun tegas.
Sinta terdiam, wajahnya memerah menahan malu.
Ia menunduk, jemarinya menggenggam roti yang tadi diberikan Dion.
“Mas, pekerjaan kamu kan masih banyak. Aku nggak enak kalau gara-gara aku, semua jadi ketunda.”
Dion menghela napas, lalu menepuk lembut punggung tangan Sinta
“Denger ya, Sin. Aku sudah izin sama Tuan Karan. Beliau pasti mengerti. Lagi pula, aku lebih milih nemenin kamu sekarang daripada mikirin kerjaan. Kamu jauh lebih penting.”
Sinta menoleh pelan, matanya berkaca-kaca mendengar ucapan itu.
“Kenapa kamu selalu baik sama aku, Dion?” bisiknya lirih.
Dion menatapnya dalam, bibirnya sedikit bergetar menahan kata-kata yang sudah lama ia pendam.
“Karena aku peduli… sama kamu. Dari dulu, aku cuma peduli sama kamu, Sin.”
Sinta terkejut, jantungnya berdegup kencang. Ia tak langsung menjawab, hanya menunduk dengan wajah memerah.
Dion tersenyum kecil melihat reaksinya, lalu mengambil botol minuman herbal dan memberikannya.
“Sudah, minum dulu. Nggak usah mikirin yang lain. Aku cuma mau kamu merasa lebih baik sekarang.”
Dion melajukan mobilnya menuju ke rumah Sinta yang ada di jalan Jambu.
Sesampainya disana, ia memapah tubuh Sinta yang lemas.
"Di mana kamar kamu?" tanya Dion.
Sinta menunjuk tangannya ke arah pintu kamarnya.
Dion memapah pelan-pelan dan membuka pintu kamar Sinta.
"M-maaf agak sedikit berantakan," ucap Sinta.
Dion menatap sekeliling kamar Sinta yang memang agak berantakan, namun ia sama sekali tidak terganggu.
“Sin, kamu jangan mikirin berantakan atau apa pun. Yang penting sekarang kamu istirahat dulu, ya,” ucap Dion lembut sambil membantu Sinta berbaring di tempat tidurnya.
“Tapi, rumahku kotor. Aku nggak enak kalau kamu lihat.”
Dion tersenyum tipis, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Sinta.
“Kamu nggak usah khawatir. Biar aku yang beresin semua. Tugas kamu sekarang cuma satu: tidur, istirahat, sampai perutmu nggak sakit lagi.”
Sinta terdiam, matanya berkaca-kaca melihat perhatian Dion. Ia mengangguk pelan.
“Terima kasih, Dion…” bisiknya sebelum memejamkan mata.
Setelah memastikan Sinta tertidur, Dion bangkit dari sisi ranjang.
Ia membuka jendela agar udara kamar lebih segar, lalu mulai merapikan barang-barang yang berserakan di ruang tamu.
Pelan-pelan ia menyapu lantai, menata bantal sofa, hingga merapikan meja yang penuh dengan kertas dan gelas kosong.
Setelah itu, Dion masuk ke dapur, membuka kulkas sederhana milik Sinta.
Ia menemukan beberapa sayuran, telur, dan sedikit daging ayam.
“Sepertinya cukup untuk buat bikin sup hangat,” gumam Dion pelan.
Dengan cekatan ia mencuci bahan-bahan, memotong sayur, lalu mulai memasak.
Aroma kaldu ayam yang hangat perlahan memenuhi rumah.
Dion sesekali menengok ke arah kamar, memastikan Sinta masih tertidur dengan tenang.
Tak butuh waktu lama, semangkuk sup ayam hangat dengan irisan wortel dan kentang siap tersaji.
Dion menuangkannya ke mangkuk, menaruhnya di atas nampan bersama segelas air hangat, lalu membawanya ke kamar.
Ia duduk di kursi kecil di samping ranjang, menatap wajah Sinta yang masih terlelap.
Dion tak kuasa menahan senyum, melihat sisi lembut wanita yang sejak lama ia kagumi.
“Semoga kamu cepat sembuh, Sin. Aku janji nggak akan ninggalin kamu sendirian,” bisiknya pelan, meski Sinta tak mendengarnya.
Dua jam kemudian, mata Sinta perlahan terbuka dimana wajahnya matahari sore yang masuk lewat jendela membuatnya harus mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya jelas.
Perutnya masih agak kram, tapi terasa lebih ringan dibanding sebelumnya.
Ia mengerling ke arah kursi di samping ranjang—kosong.
Namun suara riuh halus dari luar kamar membuatnya menoleh pelan.
Dengan hati-hati, Sinta bangkit dan berjalan ke luar kamar.
Pemandangan yang ia lihat membuat langkahnya terhenti.
Dion berdiri di ruang tamu, kaosnya sedikit basah di bagian lengan karena keringat.
Di tangannya ada kain lap, sementara meja yang tadi berantakan kini sudah rapi. Lantai yang tadi berdebu juga tampak bersih.
Dari dapur, aroma sup hangat masih tercium, menambah suasana rumah yang tadinya kacau kini terasa nyaman.
Sinta menutup mulutnya dengan tangan, terkejut sekaligus haru.
“Dion, kamu ngapain?” tanyanya dengan suara lirih.
Dion menoleh, kaget melihat Sinta sudah berdiri di depan pintu kamar.
“Sin, kamu sudah bangun? Kenapa keluar? Harusnya kamu istirahat dulu.”
“Kamu bersihin rumahku?”
Dion mengusap keningnya dengan tangan, tersenyum kecil.
“Rumahmu cuma butuh sedikit dirapikan. Aku juga masak sup biar kamu bisa makan hangat-hangat. Jadi jangan mikir yang aneh-aneh, ya.”
Sinta menggigit bibirnya, perasaan campur aduk. Ia mendekat perlahan, lalu menatap Dion dengan mata berkaca.
“Kenapa kamu repot-repot begini, Dion? Aku aja nggak biasa ada orang lain ngurusin aku seperti ini.”
Dion meletakkan kain lap di meja, lalu menatapnya dalam.
“Karena aku mau kamu tahu kalau kamu nggak sendirian. Selama aku ada, kamu nggak akan pernah sendirian lagi.”
Sinta terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk, wajahnya memerah, lalu tersenyum tipis.
“Dion, terima kasih. Aku nggak tahu harus ngomong apa.”
Dion mengangkat nampan berisi sup ayam hangat yang sudah ia siapkan.
“Nggak usah ngomong apa-apa. Duduk aja, makan dulu. Aku pengen lihat kamu sehat lagi.”
Sinta tersenyum lembut, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia pun duduk di sofa, membiarkan Dion menyuapi sendok pertama sup hangat itu dengan hati-hati.
“Aku kayak mimpi,” bisik Sinta.
“Kalau ini mimpi, aku harap kamu nggak usah bangun lagi,” jawab Dion pelan, membuat wajah Sinta semakin merah.
Dion menatap Sinta sambil tersenyum tipis, tetap memegang sendok sup di tangannya.
“Sin, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Dion pelan dengan suaranya sedikit canggung.
Sinta mengerjap, lalu menatap Dion dengan penasaran.
“Tentu, Dion. Apa itu?”
Dion menarik napas sejenak, lalu menatap wajah Sinta.
“Apakah kamu sudah punya kekasih?”
Sinta menggeleng pelan, wajahnya masih memerah setelah tersuapi sup hangat.
“Belum, Dion. Aku nggak punya siapa-siapa,” jawabnya lirih.
Dion menatapnya lebih lama, bibirnya tersenyum kecil.
“Memang nggak ada yang mau sama kamu?”
Sinta terkekeh pelan, lalu menundukkan kepalanya.
“Dion, aku ini seorang janda. Siapa sih yang mau sama aku?” jawab Sinta.
Dion menggenggam jemari Sinta lembut, menatapnya dengan tatapan penuh perhatian dan hangat.
“Kalau kamu mau, aku mau jadi orang itu, Sin. Aku mau ada buat kamu, selalu.”
Sinta menatap Dion dengan mata berkaca-kaca, jantungnya berdegup lebih cepat.
“Dion, kamu serius?”
Dion mengangguk pelan, senyumannya tulus dan lembut.
“Sangat serius. Aku nggak peduli statusmu, Sin. Yang penting aku bisa jaga kamu dan bikin kamu bahagia.”
Sinta menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis sambil mengusap air matanya.
“Dion, terima kasih. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi.”
Dion memeluk tubuh Sinta dan memintanya untuk tidak pergi darinya.