Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Bagas menepuk pundaknya. "Tenang. Kalau kamu nggak bisa, biar aku yang mulai."
Anara menatapnya, ragu. “Gas… kalau dia nggak mau jawab gimana?”
“Ya kita coba dulu. Jangan takut ditolak sebelum berusaha,” jawab Bagas sambil meraih ponsel Anara.
Ia mengetik pesan singkat, sederhana tapi penuh tanda tanya:
Hai, apa benar ini akun Syafira? Aku butuh bicara sama kamu tentang seseorang.
Anara menahan napas, jantungnya berdetak tak karuan. Ia terus menatap layar ponsel, menunggu tanda read. Namun beberapa menit hanya berlalu dengan hening.
Bagas mencoba menenangkan. “Sabar, mungkin dia lagi sibuk. Atau… bisa jadi dia memang sengaja ngacangin.”
Belum sempat Anara menjawab, layar ponsel tiba-tiba menyala. Pesan balasan masuk.
Kamu siapa? Kenapa cari aku?
Anara dan Bagas saling pandang, keduanya sama-sama tegang.
“Aku jawab ya?” tanya Bagas.
Anara menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. “Ya… tapi jangan langsung sebut nama Fino. Aku nggak mau dia kabur.”
Bagas tersenyum miring. “Kamu pintar juga.” Lalu ia mulai mengetik lagi:
Aku temannya seseorang yang dulu pernah dekat sama kamu. Ada hal penting yang harus kami tahu.
Balasan datang lebih cepat kali ini.
Seseorang? Maksud kamu… Fino?
Jantung Anara serasa berhenti berdetak. Ia menatap Bagas dengan mata melebar. “Gas… dia langsung sebut nama Fino.”
Bagas menghela napas panjang. “Berarti bener… Syafira ini ada hubungannya sama masa lalu Fino.”
Balasan dari Syafira muncul lagi, cepat dan singkat.
Kalau soal Fino… aku nggak mau ikut campur. Jangan hubungi aku lagi.
Anara langsung panik, tangannya gemetar memegang ponsel. “Gas! Dia nolak! Gimana dong?”
Bagas buru-buru menahan. “Sst… jangan panik dulu. Coba kasih dia alasan kuat. Orang kayak gini biasanya lari karena takut ngungkit masa lalu. Tapi kalau dia tau kita serius, mungkin dia bakal buka pintu sedikit.”
Dengan cepat Bagas mengetik balasan:
Kami nggak berniat ganggu kamu. Tapi kalau kamu benar-benar peduli sama Fino, kamu pasti ngerti kenapa kami butuh tau. Dia butuh ditolong.
Anara menatap layar tanpa berkedip. Beberapa menit berlalu, lalu titik-titik typing… muncul.
Balasan masuk.
Kalian… di mana? Aku nggak bisa janji banyak, tapi kalau kalian benar-benar mau tau… ketemu aku langsung. Jangan bahas ini lewat pesan.
“Gas, dia mau ketemu.”
Bagas tersenyum tipis, "Syukurlah, kalau gitu cepat kirim lokasinya."
Anara mengangguk segera mengirim lokasinya.
Terimakasih Syafira. Besok kita bertemu di kafe***
**
Besok harinya, Anara dan Bagas sudah duduk di sebuah kafe kecil—tempat yang sebelumnya mereka sepakati dengan Syafira.
Anara tampak gelisah. Ia memainkan ujung sedotannya, pandangannya tak pernah tenang.
“Kamu kenapa, Nar?” tanya Bagas pelan.
“Aku takut Syafira nggak datang, Gas.”
Bagas tersenyum tipis, berusaha menenangkannya. “Dia akan datang. Kalau dia memang nggak berniat ketemu, dia nggak mungkin berubah pikiran kemarin.”
Anara mengangguk pelan. Jawaban Bagas sedikit menenangkannya, meski hatinya masih berdebar tak karuan.
“Gas…” panggilnya ragu.
“Hm?”
“Apa sempat ketemu Fino di rumah?”
Bagas menggeleng. “Udah tiga hari ini dia selalu pulang malam. Bahkan waktu berangkat sekolah juga aku nggak pernah lihat. Kayak sengaja ngatur biar aku nggak ketemu dia.”
Jawaban itu membuat Anara semakin sadar—Fino bukan hanya menghindarinya, tapi juga Bagas.
Tak lama kemudian, suara pintu kafe berdering. Seorang wanita berambut panjang masuk.Anara langsung tahu: itu pasti Syafira.
Syafira akhirnya melihat mereka, lalu perlahan melangkah mendekat. Ia duduk di kursi berseberangan, meletakkan tasnya di pangkuan.
“Jadi kalian yang menghubungiku?” suaranya dingin, meski samar-samar bergetar.
“Iya,” jawab Anara sambil tersenyum sopan. “Aku Anara, ini Bagas. Terima kasih kamu mau ketemu sama kami.”
Syafira hanya mengangguk singkat.
“Jadi… apa yang sebenarnya ingin kalian tahu tentang Fino?” tanyanya, to the point.
Anara menarik napas dalam, berusaha merangkai kata.
“Aku nggak begitu tahu apa yang terjadi sama Fino sebelum aku bertemu dengannya. Aku cuma ingin lihat dia bahagia. Menemukan dirinya lagi. Bukankah semua orang pantas bahagia?”
Syafira menatap Anara dalam-dalam. Bibirnya melengkung tipis, senyum getir yang lebih mirip luka.
“Ya, semua orang pantas bahagia… tapi nggak semua orang tahu caranya, Anara.”
“Termasuk Fino.” Ia melanjutkan, suaranya semakin berat. “Banyak luka yang dia terima sampai dia nggak percaya kebahagiaan itu ada buat dia.”
Anara menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. “Justru karena itu aku harus bikin dia percaya lagi. Percaya sama mimpinya, sama kebahagiaannya.”
Kali ini Syafira tersenyum lebih jelas, meski tetap pahit. “Kamu yakin bisa mengubahnya, setelah semua yang bikin dia trauma, Anara?”
“Aku yakin.” Jawaban Anara mantap, tanpa ragu.
Hening sejenak, lalu Syafira mulai membuka cerita.
“Fino… sejak kecil selalu disebut pembawa sial. Nggak ada yang mau berteman sama dia—kecuali aku. Aku teman pertamanya. Tapi keadaan makin buruk setelah kebakaran itu terjadi. Mamanya meninggal… dan semua orang makin membencinya. Bahkan papahnya sendiri.”
Anara membeku, air matanya hampir jatuh.
“Sejak kejadian itu, aku nggak pernah bertemu dia lagi,” lanjut Syafira lirih.
“Tapi kenapa dia berhenti memanah?” tanya Anara cepat, berharap ada jawaban.
“Aku nggak tahu. Sejak malam itu, aku dan dia nggak pernah ketemu lagi.”
Anara terdiam, berusaha mencerna. Namun Bagas menatap Syafira penuh selidik. Ada sesuatu yang janggal.
“Tunggu,” katanya akhirnya. “Ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
Syafira menoleh. “Apa?”
“Kenapa kamu nggak menemui Fino saat itu?”
Wajah Syafira langsung tegang. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Jemarinya mencengkram erat tali tas, seolah berusaha menahan sesuatu.
“Itu…” suaranya parau, ragu.