Hidup bersama dengan keluarga yang tidak peduli dengan kehadirannya, kemudian memiliki seorang adik yang akhirnya meninggal dunia dan menjadi kesalahannya. Ditinggal pergi oleh orang tuanya karena dianggap pembawa sial, lalu hidup sendirian dalam rasa bersalah pada apa yang bukan menjadi kesalahannya. Hidup dengan keras hingga membuatnya lupa akan arti kebahagiaan, akankah suatu saat Cassie menemukan kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gemini Pride, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangat! Benar-benar Membenci Kalian!
"Tidak mungkin, kamu pasti Cassie anak ku kan?" ucap wanita itu yang langsung memegang tangannya Cassie, hal itu justru membuat Cassie terdiam mematung namun tubuhnya justru bergetar dengan hebat.
"Apa anda sudah gila? Kau pikir anak itu akan bertahan jika tidak makan dan minum, kalian memang meninggalkan beberapa bahan makanan saat pergi. Lalu kenapa? Kalian pikir bahan makanan itu tidak akan habis? Sudah sepuluh tahun loh, itu bukan waktu yang singkat. Bahkan untuk orang dewasa saja kadang tidak bisa makan, apa lagi anak sekecil itu bu" ucap Evelin dengan emosi.
"Dia bereaksi seperti ini, itu artinya dia memang anak ku" ucap wanita itu dengan tidak tahu malunya.
"Lalu?" ujar Cassie secara tiba tiba.
"Apa maksudnya?" tanya wanita.
"Kalau seandainya aku adalah anak mu seperti yang kau katakan, memangnya apa yang akan anda lakukan? Berdasarkan cerita sahabat ku barusan, anak itu ditinggalkan saat berusia sepuluh tahun. Kenapa sekarang masih mencarinya? Ah, untuk menyalahkannya? Kali ini siapa di antara keluarga mu yang meninggal? Bahkan sampai sebegininya mencari orang lain untuk dimintai tanggung jawab?" ujar Cassie.
"Bukan begitu, kami ingin meminta maaf!" ucap wanita itu.
"Buat apa? Aku rasa itu sudah sangat terlambat, anak mu sudah tiada. Bukankah tadi dia sudah mengatakannya? Mereka menemukannya dalam keadaan yang tidak bernyawa! Lucu sekali sekarang kalian terlihat seperti orang tua yang baik setelah apa yang dilakukan, benar-benar menjijikan!" ujar Cassie.
"Kamu berbohong! Kamu pasti adalah Cassie anak ku kan?" ujar wanita itu bersikeras.
"DIA SUDAH MATI!!" seru Cassie meninggikan suaranya tanpa sadar, badannya bergetar karena terlalu emosi.
Jackson meraih tangannya Cassie untuk menenangkannya, perempuan itu menatap pria yang tengah menenangkannya. Beberapa saat kemudian pun dia mulai tenang, Cassie menghela nafas yang panjang.
"Bahkan meski anda yakin kalau anak mu masih hidup, aku rasa dia sudah melupakan kalian dan tidak membutuhkan kalian. Buat apa? Saat dimana dia paling membutuhkan orang tuanya adalah saat masa pertumbuhannya, namun apa yang kalian lakukan? Meninggalkannya sendirian! Jika aku jadi anak itu, aku sangat yakin kalau tidak ingin bertemu dengan kalian selamanya. Jika di masa lalu pernah memutuskan hubungan seperti itu, bukankah selamanya harusnya begitu saja?" ujar Cassie.
"Kamu Cassie kan? Kamu sangat membenci kami kan? Makanya tidak mau mengakui identitas mu kan? Apa kamu sebenci itu pada kami?" ujar wanita itu.
"Sangat! Sangat-sangat benci! Karena itulah, jika sudah tahu siapa aku. Menghilanglah dari hadapan ku, jangan pernah saling menghampiri bahkan meski saling melihat keberadaan masing-masing. Seorang pembawa sial, tidak pantas untuk didekati. Aku sangat membenci kalian, karena itu aku mohon jangan menemui ku" ucap Cassie, air matanya langsung mengalir membasahi pipinya.
Cukup lelah dia berpura-pura dan akhirnya mau mengakui, tembok pertahanannya pun langsung runtuh.
Jackson langsung menarik tubuh perempuan itu dan memeluknya, dia ingin menyembunyikan wajahnya sebab Jackson tahu kalau Cassie sangat benci orang lain melihatnya yang terlihat lemah.
~ ~ ~
"Bu, pergilah! Sekarang dalam hidupnya, Cassie sudah tidak membutuhkan kalian. Sudah cukup penderitaan yang kalian beri, selama hidupnya selama sepuluh tahun ini dia sudah cukup menderita. Tolong jangan tambahkan lagi penderitaannya, aku mohon!" ucap Evelin.
Suami wanita itu pun menghampirinya dan menariknya untuk menjauh dari situ, sebab situasi di situ sudah tidak bagus karena atensi orang-orang sudah tertuju ke situ.
"Hah, sialan!" ucap Evelin dengan emosi.
"Sebaiknya kita keluar dulu dari sini, tidak baik dilihat oleh orang orang" ucap Richardo.
"Yah, kita cari tempat yang sedikit saja untuk menenangkan diri" ucap Olivia.
Mereka pun segera keluar dari situ untuk menghindari atensi yang sudah banyak terarah pada mereka.
. . .
"Kau, duduklah juga!" seru Richardo pada Evelin.
"Tsk! Abaikan saja keberadaan ku" sahut Evelin dengan ketus, suasana hatinya masih belum membaik sejak kejadian tadi.
"Hah! Aku hanya khawatir kaki mu akan terasa sakit besok hari karena terus berdiri saja sedari tadi" ucap Richardo.
"Huh? Baiklah" sahut Evelin, akhirnya dia pun segera duduk.
"Untuk menghibur suasana hatinya Kak Cassie, bagaimana kalau kita pergi ke tempat karaoke saja?" seru Tirsa dengan bersemangat.
"Dia tidak akan setuju, selama hidupnya sampai sekarang ini belum pernah pergi ke tempat seperti itu" ucap Evelin.
"Lalu kita harus apa?" tanya Tirsa.
"Rumah siapa yang paling besar, yang hanya ditinggali sendirian tanpa ada kehadiran orang tua" tanya Evelin.
"Kenapa bertanya soal itu?" celetuk Richardo.
"Kita akan minum bersama sampai tertidur dengan nyenyak" ujar Evelin.
"Kenapa kita harus minum sampai tertidur? Aku sudah mengantuk" ujar Richardo.
"Jika biasanya Cassie selalu kesulitan untuk tidur, setelah kejadian yang terjadi barusan pasti akan membuatnya semakin kesulitan untuk tidur. Mimpi buruk itu pasti akan datang menghampirinya, dan lebih parah dari sebelumnya" ucap Evelin.
"Keadaannya sudah seperti ini, kenapa tidak membawanya ke dokter psikolog?" tanya Olivia.
"Dia tidak pernah mau pergi, kami pun tidak mau memaksanya karena takut membuatnya tersinggung" ucap Evelin.
"Hah! Kalau begitu memang sedikit sulit" ucap Olivia.
~ ~ ~
"Kita pergi ke apartemen ku saja, di sana bisa menampung kita semua" ujar Richardo.
"Mari kita beli alkohol sebanyak mungkin" ucap Tirsa dengan bersemangat.
"Jangan kebanyakan, nanti kita tidak dapat menghabiskannya" ucap Olivia.
"Cassie pasti akan minum yang banyak malam ini, beli saja sebanyak mungkin" ucap Evelin.
"Kau tidak akan melarangnya? Itu tidak akan baik untuk kesehatannya" ucap Richardo.
"Hah! Dari pada melihatnya menangis seperti dulu lagi, sebaiknya ku biarkan saja dia minum sebanyak yang dia mau" ucap Evelin.
"Yah terserah saja, lagian hanya kau yang paling memahami nya" ucap Richardo.
# # #
Evelin pun mendekat pada Jackson dan Cassie, mereka duduk sedikit jauh dari mereka.
"Aku belum puas minum bir tadi, jadi malam ini kita akan lanjut di rumahnya Richardo. Bagaimana?" ujar Evelin.
"Mn!" sahut Cassie.
Mereka pun segera bergegas ke apartemennya Richardo, lalu tidak lupa juga mereka membeli alkohol untuk mereka minum.
Setibanya di sana, mereka langsung ambil posisi. Cassie dan Evelin seakan berlomba minum seperti menentukan siapa yang paling kuat dalam menerima alkohol.
"Apa mereka sudah gila?" bisik Tirsa pada Olivia.
"Setelah melihat apa yang terjadi tadi kau masih bertanya?" ujar Olivia.
"Hah! Kalau begitu aku akan bergabung dengan mereka untuk berbagi perasaan itu" ucap Tirsa.
Jackson dan Richardo tidak bergabung dengan mereka, sedari tadi mereka hanya fokus pada ponsel mereka. Jackson sibuk memberi tahu ayahnya kalau dia meminta izin untuk tidak menerima pekerjaan besok hari, sedang Richardo sibuk memeriksa email yang masuk untuk hari itu.