Cherry Yang, yang dipaksa mendonor darah sejak kecil untuk adik tirinya, setelah dewasa ginjalnya diambil paksa demi menyelamatkan sang adik.
Di malam itu, ia diselamatkan oleh Wilber Huo—pria yang telah mencarinya selama delapan tahun.
Kehidupan Cherry berubah drastis setelah pertemuan itu. Ia bahkan terpaksa menikah dengan Wilber Huo. Namun, tanpa Cherry sadari, Wilber menikahinya dengan alasan tertentu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Mansion Wilber Huo.
Malam itu, lampu kristal besar di ruang tengah memancarkan cahaya temaram ke seluruh ruangan. Wilber duduk tegak di sofa kulit hitam dengan ekspresi datar, sementara adiknya, Vivian, duduk di seberangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Kakak, apakah Kakak akan selalu membantu Cherry… dan apakah Kakak menyukainya?” tanya Vivian, suaranya lembut namun jelas mengandung rasa penasaran.
Wilber menoleh sekilas, alisnya terangkat. Ia menarik dasinya dan kemudian diletakan di sofa.
“Kenapa malam ini tiba-tiba saja kau banyak pertanyaan?” tanyanya tenang, namun sorot matanya tajam.
“Siang tadi aku melihat reaksi Kakak berbeda dari biasanya. Kakak sangat perhatian pada Cherry. Bahkan hidangan yang Kakak pesan khusus untuknya. Mana mungkin aku tidak curiga?” jawab Vivian sambil menatap kakaknya dengan senyum samar.
Wilber menarik napas dalam, pandangannya mengeras.
“Aku yang menyelamatkannya, tentu saja aku ingin dia cepat sembuh.”
Vivian tersenyum tipis, lalu menundukkan kepala.
“Apakah dia akan menjadi calon kakak iparku? Cherry adalah gadis ceria dan baik. Dia punya impian… namun sayang sekali, dia tidak bisa lagi mengejar impiannya.”
Wilber menatap Vivian tajam,
“Pemain biola?” tanyanya dingin.
Vivian terkejut, matanya membesar.
“Bagaimana Kakak bisa tahu? Apakah Cherry yang memberitahu Kakak?”
Wilber langsung berdiri. “Sudah malam, kalau tidak ada hal lain, pergilah istirahat.” Suaranya terdengar seperti perintah, bukan saran.
Namun Vivian belum menyerah. Ia mencoba menahan Wilber.
“Kakak… apa aku bisa meminta bantuanmu?”
Wilber menoleh, tatapannya menelisik.
“Ada apa?”
“Cherry bilang padaku dia akan mencari rumah dan pindah setelah sembuh. Dia merasa sungkan kalau tinggal di sini terlalu lama. Aku hanya ingin Kakak membiarkan Cherry tetap di sini, agar keluarganya tidak menemuinya lagi,” pinta Vivian tulus.
Wilber membeku sesaat. Matanya meredup, kemudian ia menunduk sedikit.
“Dia ingin pindah?” tanyanya dengan suara berat.
“Iya. Cherry merasa sangat berhutang budi padamu, sehingga dia tak berani mengganggu terlalu lama,” jawab Vivian jujur.
Sorot mata Wilber tiba-tiba dingin, penuh tekad.
“Menghilang delapan tahun… dan masih ingin pergi. Cherry Yang, jangan harap kau bisa ke mana pun tanpa izinku,” batinnya.
“Kalau Kakak keberatan… bagaimana kalau Cherry tinggal di tempatku saja?” Vivian mencoba menawar.
“Kalau terjadi sesuatu, apakah kau bisa melindunginya? Kau harus bekerja di siang hari dan pulang sore. Meninggalkan Cherry sendirian di rumah… apa kau tidak takut dia ditemukan oleh mereka? Atau jatuh sakit lagi? Kondisinya masih lemah, dia butuh dokter dan obat teratur. Semua itu harus dijaga. Kau tidak akan sanggup. Biarkan saja Cherry di sini!” jawab Wilber.
Vivian menatap kagum pada kakaknya.
“Terima kasih, Kakak. Aku tidak menyangka dirimu yang begitu dingin ternyata punya hati yang baik,” ucapnya tulus.
Wilber menatap adiknya sekilas.
“Tidak perlu memujiku,” ucapnya singkat, lalu melangkah menuju kamarnya.
Vivian menghela napas panjang, senyum tipis tersungging di wajahnya.
“Sepertinya Kakakku banyak berubah. Walau aneh, tapi ini nyata. Tidak apa-apa… yang penting sahabatku aman.”
Kamar Cherry.
Di sisi lain, Cherry masih kesakitan. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, tubuhnya meringkuk kecil. Nafasnya terengah, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan. Wilber masuk dengan langkah mantap. Aura dingin yang biasa menyelimutinya kali ini bercampur dengan kekhawatiran.
“Cherry, ada apa? Apakah kau sedang sakit?” tanya Wilber sambil duduk di tepi kasur, tangannya tanpa ragu menyentuh dahi Cherry untuk memastikan suhunya.
Cherry menunduk, menahan rasa malu.
“Aku… sakit perut,” jawabnya lirih.
Wilber menatapnya lebih lekat, nada suaranya lembut namun langsung menusuk.
“Menstruasi?”
Cherry tersentak, pipinya memerah. Dengan canggung, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak sanggup menatap mata Wilber.
“Tunggu aku, aku akan membuatkan goji berry untukmu,” kata Wilber, tangannya terulur sebentar menyentuh lembut kepala Cherry. Sentuhan sederhana itu membuat dada Cherry hangat.
Seketika, rasa sakitnya seolah mereda sedikit. Ia menunduk, matanya berkaca.
“Sentuhan yang hangat… bahkan Mama sendiri tidak pernah melakukan ini padaku.”
Ia menatap kosong ke arah langit-langit. “Papa, aku merindukanmu… bagaimana kabarmu sekarang?” batinnya lirih.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Wilber masuk kembali, kali ini dengan semangkuk minuman hangat beraroma manis. Uapnya mengepul, memenuhi ruangan dengan rasa nyaman.
“Minumlah selagi hangat. Perlu aku menyuapimu?” tanya Wilber, suaranya tenang namun penuh perhatian.
“T-tidak perlu, aku bisa sendiri. Terima kasih…” Cherry cepat-cepat mengambil mangkuk itu, wajahnya memerah.
Dengan sendok keramik, ia menyesap perlahan. Hangatnya langsung menjalar dari tenggorokan hingga ke perutnya.
Wilber duduk kembali di sisi ranjang, lalu menarik selimut menutupi kaki Cherry dengan rapat. “Ingat, jangan sampai kedinginan. Kondisimu sekarang harus selalu dijaga tetap hangat. Setelah minum, tidurlah. Aku akan menjagamu di sini.”
Cherry menoleh dengan canggung. “Tuan Huo… tidak perlu menjagaku. Aku tidak apa-apa. Ini sudah biasa bagiku,” ucapnya pelan.
Wilber mengerutkan kening, matanya menajam. “Apakah selama ini tidak ada yang membuatkan minuman goji berry untukmu?”
Cherry menggeleng, senyumnya pahit. “Tidak ada… Bagaimana Anda bisa tahu soal ini?”
“Saat Vivian menstruasi, aku yang merawatnya. Hanya saja dia tidak pernah sakit sepertimu,” jawab Wilber dengan nada datar, namun ada kelembutan yang jarang sekali terdengar darinya.
Cherry menunduk. “Vivian beruntung… memiliki seorang kakak yang baik.” Ia lalu menghabiskan minumannya sampai tetes terakhir.
Wilber bangkit, mengambil mangkuk dari tangannya. “Mulai hari ini, panggil saja aku Kakak Huo. Kau adalah teman Vivian. Sekarang aku mandi dulu, nanti aku kembali.”
Ujung jarinya sekali lagi menyentuh kepala Cherry, mengelus pelan sebelum ia berbalik keluar.
Cherry membeku di tempat, wajahnya memanas. Ia segera menutupi wajah dengan selimut. “Kakak Huo? Kenapa jantungku berdebar begitu kencang? Canggung sekali… dia bukan keluargaku, tapi justru merawatku di saat seperti ini..."
Wil kata nak bikin perhitungan come on sat set ke ,,tuh Kunti bisa ga di kuliti atau ga cabut kuku ya gitu
ambil darah tiap hari per botol gt sumbngknn ke pmi lakukan itu ddpnn mm mu dan papa trimu dan mike,,biar mrk sengsara liat org tersayang mrk menderita lbh bagus sii klo perlu darah mrk semuy di ambil biar mrk merasakan gmn tangan ditusuk jarum,,biar impas si 😁😁😁klo di penjara takutt bundir gk ngerasain penderitaan lgg,, viral jg kn biar pd tau kelakuan busuk mrk,,