NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Pengakuan

Gudang bawah tanah itu hening, hanya suara rantai berderit pelan. Adam—atau Adom, begitu ia menyebut dirinya—terikat di kursi besi, senyum lebarnya terukir seperti ukiran menyeramkan di wajah.

Aku melangkah perlahan, bayangan topengku memanjang di dinding.

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum di balik topeng. Aku sudah tahu cara masuk ke dalam jiwa rapuh itu. Bukan dengan pukulan, bukan dengan penyiksaan fisik—tapi dengan membangkitkan hantu masa lalu.

Aku berdiri menatap wajah Adam dengan pandangan meremehkan. Ia membalas tatapanku sambil tersenyum kecil. Keningku mengernyit, bingung, namun kedatanganku kali ini memang untuk bermain gila dengannya.

"Sepertinya kau sudah siap, ya?" godaku sambil tertawa kecil.

Adam ikut tertawa, seolah benar-benar siap. Aku mulai bersemangat, mengusap kedua tanganku seperti seseorang yang tak sabar memulai permainan.

Aku menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya. Dari saku, aku mengeluarkan ponsel dan memutar rekaman suara anak kecil. Volume kuperbesar, agar Adam bisa mendengarnya dengan jelas.

Beberapa detik setelah suara itu terdengar, wajah Adam mulai panik. Ia menggeleng kuat, matanya berkaca-kaca, penuh ketakutan.

Aku tertawa keras, puas melihat reaksinya. Ia mencoba menutup telinganya, namun sia-sia. Suara itu seperti kaset rusak yang terus berputar di kepalanya.

"ARGGGGG!"

Aku semakin memperbesar volume itu. Mengulanginya. Lagi. Dan lagi. Hingga suara tubuh terhempas dan jeritan Adom bergema tanpa henti.

Adam berteriak keras, "BERHENTI!!!" Tapi justru di sanalah letak asyiknya.

Adam semakin berteriak histeris, lagi dan lagi. Awalnya aku tak peduli, justru menikmati setiap detiknya. Namun semakin lama, Adam tampak murka. Ia memberontak, menggeliat, menutup matanya.

"Diam... Diam... Diam..." teriaknya frustasi.

"Kau... Kau sudah mati, Adam! Jangan ganggu aku lagi!" suaranya menggema di ruangan sunyi itu.

Aku membuka mataku perlahan, menatapnya tajam. "Hey... Apa kau sudah lupa siapa dirimu?" tanyaku dingin.

Adam terdiam, lalu menunduk. Tiba-tiba ia tertawa, tawa yang absurd dan menyeramkan.

"Hahaha... Aku Adam, bukan... Aku Adom... Aku Adom... Hahaha!" ucapnya di tengah tawa yang mengguncang suasana.

"aku Adom yang hidup… aku Adom yang dicintai semua orang!" Lanjutnya.

Aku tersenyum, ingin menantangnya lebih jauh.

L

"Bukankah Adom itu sudah meninggal?" godaku.

"Kau tahu tidak? Aku dengar-dengar Adom dibunuh oleh saudaranya sendiri. Namanya siapa, ya? Aduh, aku lupa... Tapi sebentar, aku coba ingat," ucapku sambil berpura-pura berpikir, jari telunjuk menyentuh bibir.

Adam menggeleng kuat, memejamkan mata, seolah sedang menggali masa lalu yang kelam.

"Oh ya! Aku ingat... Namanya itu..." Aku menjeda, ingin melihat reaksinya. "Ehmm... Ad—"

"CUKUP! ARGGGG!" teriaknya histeris.

Aku tertawa puas lalu, mataku menoleh ke kiri dan kanan, mencari benda yang bisa memperparah kekacauannya. Pandanganku tertuju pada sebuah cermin besar yang retak.

Aku berdiri, mengambil cermin itu, lalu menggeser kursi dan meletakkannya di hadapan Adam. Ia membuang muka, memberontak, tak ingin melihat pantulan wajahnya yang terpecah-pecah. Ia berteriak, seolah tak sanggup menatap dirinya sendiri.

Aku sengaja menjauhkan cermin agar ia tak bisa menyingkirkannya.

Di dalam cermin itu, Adam seolah melihat wajahnya seolah berganti-ganti—kadang Adam kecil yang murung, kadang Adom kecil yang tersenyum. Wajah itu berubah terus tanpa henti, hingga Adam kehilangan kepastian siapa dirinya.

Aku lalu menyalakan rekaman suara ayah Adam, yang sudah aku rekayasa. Suara itu begitu kasar, penuh kebencian.

"Adam, kau anak sial! Bukan anakku! Kau pembunuh! Adom yang seharusnya hidup, bukan kau!"

Suara itu diputar berulang kali, semakin keras, menggema memenuhi ruangan. Adam menjerit, berusaha menutup telinganya, tapi borgol menahannya. Ia mengguncang tubuhnya sendiri hingga pergelangan tangannya berdarah.

Aku berdiri tegak, menatapnya.

"Inilah hukumanmu. Kau akan terjebak dalam dirimu sendiri, Adam. Kau ingin jadi Adom? Maka kau akan mendengar tawa Adom setiap malam. Kau ingin lari dari Adam? Maka kau akan melihat wajah ayahmu memandangmu dengan benci selamanya. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada akhir."

Adam akhirnya meledak dalam tawa histeris bercampur tangis. Matanya kosong, bibirnya tetap menyunggingkan senyum aneh, tapi dari tenggorokannya keluar suara terputus-putus.

"Adom… aku Adom… aku… bukan… Adam…"

Aku tahu, saat itu Adam sudah pecah. Jiwa dan pikirannya hancur, terjebak di labirin masa lalu yang tak akan pernah berhenti. Ia

Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Pengadilan selesai." Gumamku pelan.

Namun dalam hati, ia sendiri mulai merasa… semakin lama ia menghukum para pendosa, semakin ia menyerupai mereka—mungkin bahkan lebih gila daripada orang yang ia hukum. Namun lion menghiraukannya.

"Lihat wajahmu sepuasnya. Aku pergi dulu..." ucapku sambil berbalik, melambaikan tangan.

Adam menggeliat brutal, tubuhnya bergerak liar. Tapi aku tetap melangkah pergi, seolah tuli, tak peduli.

Ia kini terjebak di dunia baru yang telah kuciptakan untuknya.

***

Malam itu, aku duduk santai di depan televisi, ditemani secangkir kopi hangat. Dengan satu sentuhan pada remote, layar menampilkan berita tentang seorang pemuda yang hilang selama seminggu tanpa kabar. Aku memfokuskan pandangan ke layar sambil menyeruput kopi perlahan.

"Breaking news. Seorang pemuda berusia 20 tahun bernama _Adam Stroyoga Putra_ dilaporkan hilang selama satu minggu tanpa jejak."

Aku meletakkan gelas ke meja, lalu tersenyum samar. Tiba-tiba Rafael datang berlari dan duduk di sampingku ketika mendengar berita itu. Matanya terpaku pada berita itu.

"Paman... Itu Adam! Paman nggak takut ketangkap?" tanya Rafael sambil menunjuk layar televisi.

Aku menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Takut? Untuk apa?"

Rafael terdiam sejenak, lalu menatapku dengan ekspresi bingung.

"Benar paman nggak takut? Kalau polisi tahu kejahatan paman gimana? Paman nggak takut masuk penjara?"

Aku tertawa kecil, senyum sinis mengembang di wajahku.

"Kalau kejahatan aku terbongkar, berarti..." Ucapku sambil mencodongkan tubuh ke arahnya, menatap tajam.

"Kamu... pengkhianatnya," bisikku lirih namun tajam.

Rafael yang tadinya tersenyum lebar langsung berubah ekspresi. Wajahnya kaku, matanya menatapku dengan canggung. Ia tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

"Hehehe... Paman bisa aja. Nggak mungkin lah! Kalau paman ketangkap, berarti aku juga dong ikut tertangkap. Aku kan bersekongkol sama paman..." ucapnya antusias, mencoba menutupi kegelisahan dengan senyum lebar.

Aku hanya diam, membuang muka sambil terkekeh geli.

"Paman... Paman... Lalu kapan paman bebaskan Adam?" tanya Rafael penasaran.

Aku menoleh sebentar. "Kamu lihat saja nanti," jawabku dingin, lalu beranjak pergi. Sebelum benar-benar melangkah keluar, aku berhenti sejenak dan melirik Rafael yang kini menatapku penuh tanya.

"Jangan lupa besok pagi kamu beri makan Adam sebelum ke sekolah. Aku ada urusan," ucapku datar. Baru saja Rafael hendak bicara, aku langsung memotong. "Jangan banyak tanya. Kerjakan saja."

Aku pun pergi, meninggalkan Rafael yang masih duduk terpaku, penuh kebingungan dan rasa ingin tahu.

Malam semakin larut. Udara dingin menyelimuti rumah itu, hanya suara jangkrik di luar jendela yang terdengar samar. Rafael masih duduk terpaku di sofa, matanya menatap kosong layar televisi yang kini menayangkan acara lain. Namun pikirannya berputar—tentang Adam, tentang pamannya, dan tentang dirinya sendiri.

"Kalau paman ketangkap… aku juga ikut terseret…" gumamnya dalam hati. Senyum tipisnya memudar, digantikan dengan kecemasan yang sulit ia sembunyikan.

***

Keesokan paginya, Rafael menuruni tangga tak lupa mengenakan topeng dan switer hitam. Ia membawa nampan berisi bubur dan air putih, langkahnya ragu menuju gudang bawah tanah. Setiap kali ia mendekat, jantungnya berdetak lebih kencang, seolah tubuhnya sendiri menolak untuk masuk. Dia masih ingat jelas sosok Adam yang begitu menyeramkan dari pada Aaron.

Saat ia membuka pintu ruang bawah tanah, bau pengap bercampur darah kering menyambutnya. Lampu redup menggantung, memantulkan bayangan rantai berayun.

Adam masih di kursi besi, tubuhnya kurus, rambutnya acak-acakan. Tapi yang paling menakutkan adalah senyum lebarnya yang tak pernah hilang.

Rafael menelan ludah, lalu menaruh nampan di lantai, mencoba tidak menatap langsung.

Adam tertawa kecil. "Kau takut padaku?”

"A-aku tidak takut…" jawab Rafael terbata.

Adam menundukkan kepala, lalu perlahan mengangkatnya. Matanya merah, penuh kegilaan.

"Kalau begitu… bebaskan aku. Pamanmu itu… gila. Dia bukan pahlawan. Dia hanya monster yang haus darah. Jika kau bebaskan aku, kau akan jadi pahlawan kecil. Dan aku… akan jadi temanmu."

Rafael membeku. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Kata-kata Adam menusuk pikirannya.

Namun sebelum ia sempat menjawab, suara langkah berat terdengar dari atas tangga. Lion berdiri di ambang pintu, menatap tajam dengan topeng hitamnya.

"Rafael…" suaranya dingin, menusuk. "Kau sedang bicara apa dengan dia!"

Rafael tersentak, tubuhnya kaku. Ia berusaha tersenyum, tapi suaranya bergetar.

"T-tidak, paman… aku hanya memberinya makan…"

Aku menatap Adam yang masih menyeringai lebar.

"Oh, aku tahu Adam pandai bicara. Dia suka meracuni pikiran orang. Tapi ingat, Rafael…" aku menuruni tangga perlahan, matanya tak lepas dari Rafael. "Orang yang paling mudah dipatahkan bukanlah mereka yang lemah… melainkan mereka yang mulai meragukan siapa yang harus dipercaya."

Rafael menunduk, gemetar. Adam tertawa histeris, suaranya menggema di ruangan pengap itu.

"Lihat! Kau akan jadi aku yang baru. Kau akan mengerti nanti. Karena pada akhirnya… dia akan membuatmu gila juga!"

Aku mendekat ke Rafael, menepuk bahunya dengan tangan dingin.

"Kau percaya padaku, kan?" tanyanya lirih, namun tajam. "Aku tak pernah memintamu untuk bergabung, kamu sendiri yang memaksaku." Lanjutku.

Rafael mengangguk cepat. "Bukannya paman lagi ada urusan yah?" Tanya Rafael penasaran.

Aku hanya mengangguk. "Aku hanya ingin melihat perkembangan dirimu."

Rafael mengangguk paham lalu dia menaruh Napan di lantai. "Kau makan sendiri, aku tak mau mengurusmu." Ucap Rafael datar lalu bergegas pergi.

Aku tersenyum kagum, menatap Rafael yang sudah bergegas pergi. "Bagus." Gumamku.

Aku kemudian terdiam sejenak lalu, beralih menatap Adam sambil tertawa mengejek. "Kau lihat sendiri bukan!"

Adam menatapku dengan tatapan tajam, sambil sedikit menunduk. "Kau... Lepasin aku..." Teriaknya.

Aku yang malas menanggapi akhirnya meninggalkan Adam yang berteriak minta dilepaskan sambil memberontak. "Lepaskan..."

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!