NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:917
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 14

Didalam kediaman Gustro yang minimalis namun tetap meninggalkan kesan mewah, suasana mendadak ramai.

Gustro yang biasanya lebih tenang dari danau beku di kutub utara, hari ini malah berputar kesana-kemari seperti kipas angin yang kehilangan kendali. Ia berdiri di ruang musik—sebuah ruangan megah yang terletak di lantai dua, lengkap dengan karpet merah marun, rak alat musik dari kayu mahoni, dan satu grand piano lama tertutup kain putih.

“Jangan letakkan amplifier di situ! Itu tempat suci gitar klasikku!” seru Gustro sambil menunjuk sudut ruangan.

Seorang pria kekar berambut cepak—salah satu pelayan rumah, mengangkat alis. “Tapi Tuan muda, kemarin anda sendiri yang bilang amplifier-nya boleh di sini.”

“Waktu itu aku belum tercerahkan,” ujar Gustro santai, lalu menunjuk sisi lain. “Taruh sana. Pojok situ lebih cocok.”

Di belakangnya, berdiri sesosok pemuda dengan kemeja santai dan rambut agak acak, dialah Andrew—asisten pribadi Gustro sejak sepuluh tahun lalu, sekaligus semacam figur kakak yang seringkali jadi suara nalar di tengah keanehan hidup majikannya.

Andrew menatap Gustro dengan ekspresi takjub sekaligus heran, seperti melihat kucing memakai sepatu roda.

“Tuan muda... kenapa hari anda kelihatan lebih bersemangat dari biasanya?” tanyanya sambil melipat tangan.

Gustro, yang sedang menyapu debu dari keyboard elektriknya, menoleh singkat. “Hari ini... ada temanku yang mau berkunjung.”

Andrew nyaris terbatuk saking kagetnya. Ia langsung menoleh cepat, memastikan ia tidak salah dengar. “Teman? Tunggu, tunggu... TEMAN?”

Gustro mengangguk ringan, lalu kembali fokus menata stand mikrofon.

Andrew termenung, “sejak kecil sampai sedewasa ini, tuan muda adalah anak yang anti-sosial kelas berat. Layaknya... manusia es. Tapi sekarang—temannya datang ke rumah? Ini... fenomena langka. Seperti gerhana matahari ketemu pelangi.”

Andrew melirik Gustro yang tampak tersenyum tipis. Senyuman kecil yang lebih langka dari bonus tahunan Andrew.

Mata Andrew menyipit curiga. Ia mencondongkan tubuh. “Temannya... perempuan atau laki-laki?”

Gustro menoleh pelan, “Perempuan.”

Andrew terpental ke belakang seolah ditabrak kenyataan. “Apa? Pe—perempuan?!” Jantungnya berdentum seperti drum pesta. Wajahnya mencorong lebih terang dari lampu LED 100 watt.

Dengan reflek, Andrew langsung menggerakkan jari-jemarinya dan berbicara bak seorang jenderal pasukan elite, “seluruh unit! Bersiap di posisi masing-masing. Kita kedatangan tamu super penting! Siapkan hidangan utama, tata ruang tamu ulang, dan jangan lupakan lilin aroma terapi! Target adalah perempuan!"

Para pelayan rumah pun panik. Ada yang membawa taplak baru, memoles lantai hingga kinclong sampai bahkan menyemprotkan parfum ruangan mewah seolah hendak menyambut kunjungan kerajaan.

Di dapur, suara denting panci berdentum dengan irama kacau. Seorang pria kekar lainnya yang bertugas sebagai koki berteriak, “Cepat! Siapkan lasagna, sup krim, dan ayam panggang madu! Hari ini merupakan perang harga diri Tuan muda!”

Sementara semua sibuk berlarian, Gustro masih dengan ekspresi tenangnya menata gitar ke tempatnya, lalu memoles bodi drum dengan hati-hati.

Andrew kembali menghampiri, kali ini membawa satu dasi kupu-kupu.

“Tuan muda, pakai ini. Biar lebih charming. Mana tahu dia suka pemuda elegan.”

Gustro menatap dasi itu. “Ini ruang musik, bukan aula pernikahan.”

Andrew ngedumel, “Justru karena bukan acara nikahan, anda harus membuat gadis itu menginginkannya.”

Gustro menghela napas dan menoleh ke arah jendela. Sinar matahari sore menerobos masuk, menciptakan pantulan lembut di alat-alat musiknya yang kini tertata rapi.

Senyumnya terbit perlahan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa hangat.

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak sekian lama—ia merasa hidupnya menggebu-gebu. Mungkin tidak drastis. Tapi cukup untuk membuat hatinya berdegup seperti tempo lagu pop ceria.

Gustro membatin, “Kurasa, aku sedikit berlebihan. Tapi sudahlah— semoga dia menyukai tempat ini.”

...****************...

...****************...

Wislay duduk dengan tenang di boncengan tukang ojek online, matanya fokus pada layar ponselnya yang menampilkan aplikasi peta digital. Angin sore menyibak sebagian anak rambutnya, tapi ia tetap menjaga posisi duduk tegak penuh percaya diri. Sedangkan sang tukang ojek mulai memperlambat laju motor ketika memasuki kawasan perumahan elite bernama Velgrant Residence.

"Blok R1 nomor 23 kan, nona?" tanya sang tukang ojek sambil melirik ke spion.

"Iya, Pak. Yang itu sepertinya," jawab Wislay, menunjuk sebuah rumah dua lantai yang tampak mencolok meskipun arsitekturnya sederhana. Ada aura kemegahan yang menyelinap dari setiap lekuk desain rumah tersebut. Halamannya rapi, tanaman pot tampak terawat, dan pagar kayu bergaya modern menambah kesan hangat namun berkelas.

Begitu motor berhenti tepat di depan pagar, Wislay segera turun. Ia merapikan rambutnya cepat-cepat, menyisirkan jari ke sisi kanan seperti biasa. Kemudian ia menepuk-nepuk bajunya yang berwarna nude beige lembut, dipadukan dengan celana bahan krem terang. Penampilannya sederhana tapi memberi kesan anggun dan... mahal. Bahkan tote bag putih berisi bolu lembut yang ia bawa pun terlihat seperti persembahan seorang tamu bangsawan.

"Aduh, semoga penampilanku tidak mencolok," gumamnya lirih.

Ia berdiri di depan rumah nomor 23, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ada kegugupan di dadanya, tapi juga semangat yang aneh. Ia mendongak menatap rumah megah itu, karena ini kali pertama ia bertamu ke rumah Gustro.

Tangannya terulur. Ding dong.

Bunyi bel pintu yang pelan namun tegas memecah sunyi halaman.

Tak butuh waktu lama. Pintu kayu besar terbuka dari dalam, dan muncullah Gustro... dalam balutan kemeja putih bersih yang dilipat sampai siku serta celana panjang berwarna krem. Persis seperti warna pakaian Wislay. Dan seketika, waktu seperti berhenti sesaat.

Keduanya saling memandang.

Gustro terdiam, pupil matanya membesar. Cahaya matahari sore menyentuh wajah Wislay, memantul di bola matanya yang kecokelatan dan senyumnya yang ringan tapi memesona. Rambutnya dibiarkan tergerai sedikit bergelombang, memberi kesan lembut dan dewasa. Totebag yang ia tenteng pun seolah tak penting dibanding aura yang dipancarkannya.

Gustro tertegun, "Apa ini... film? Kenapa rasanya baju kami senada? Dia juga kelihatan cantik."

Pipi Gustro memanas. Ia buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura batuk ringan.

“Eh... kau sudah sampai. Masuk, masuk.” Suaranya nyaris serak, tapi tetap cool.

Wislay tersenyum sambil menundukkan kepala sedikit. “Maaf ya, lama.”

Gustro mengangguk. “Nggak masalah. Kau... nampak beda hari ini.”

“Beda gimana?” Wislay menaikkan alisnya menggoda.

“Ya... dewasa. Elegan. Tapi tetap... aneh.” Ucapan itu spontan. Gustro langsung mengunyah lidahnya sendiri dalam hati.

Wislay terkekeh pelan. “Anehnya di mana, kalau boleh tahu?” tanyanya menjinjit kaki.

Gustro mengalihkan pandangan ke langit, ke burung, ke dedaunan—ke mana pun asal bukan ke mata Wislay. “Nggak tahu. Pokoknya... kau tetap kau.”

Dalam hati, Gustro menambahkan, "dan itulah yang entah mengapa membuatmu unik dari antara wanita lain."

Wislay melangkah masuk. Di dalam, aroma harum kayu dan parfum rumah kelas atas menyambutnya. Rumah itu hangat, mewah, namun tidak membuat risih. Dinding penuh lukisan musik, rak-rak berisi album dan buku seni, serta dari kejauhan... terdengar sayup-sayup petikan gitar.

“Rumahmu...” Wislay menatap sekeliling. “...kaya rumah di film.”

“Biasa aja,” ucap Gustro kalem.

Baru saja mereka melangkah ke ruang tengah, terdengar suara gaduh dari dapur.

“Cepat sajikan teh bunga! Dan jangan lupa sendok emas kecilnya! Ini bukan tamu biasa!”

Itu suara Andrew, yang langsung membeku begitu melihat Wislay masuk bersama Gustro.

Andrew mendekat sambil tersenyum lebar, tapi matanya memicing penuh analisis seperti intel negara. “Aha... jadi ini gadis yang diisukan dekat dengan tuan muda? Gadis yang katanya mampu membuat tuan muda Gustro bisa senyum dua kali dalam sehari.”

Gustro mengerutkan kening, “Andrew... jangan mulai.”

Wislay tertawa pelan. “Halo... Saya Wislay. Teman Gustro," ujarnya mengulurkan tangan.

“Andrew. Asisten, sekaligus saksi hidup perubahan tuan muda es ini menjadi... anak manusia.” Andrew menjabat tangan Wislay.

"Tuan muda es?"

"Benar, nona. Ke depan mohon bantuannya."

Wislay tersenyum geli, lalu kemudian menatap Gustro. “Ruang musiknya mana?”

Gustro tersentak. “Oh! Iya, ayo aku tunjukkan.”

"Eits, tunggu dulu," Andrew menyela. "Sebelum ke lantai dua, nona manis harus menikmati hidangan yang sudah kami persiapkan, terlebih dahulu."

Wislay mengangguk, "umm—baiklah kalau begitu."

Selepas menyantap hidangan mewah yang disuguhkan oleh para pelayan, mata Wislay tampak berbinar-binar. Ia menghela napas panjang, seolah tidak percaya bahwa dirinya baru saja mencicipi makanan yang biasanya hanya bisa ia saksikan dalam tayangan kuliner di televisi atau media sosial. Suasana meja makan yang megah, piring-piring porselen putih elegan, aroma truffle lembut dari sup, dan potongan daging wagyu yang meleleh di lidah, membuat Wislay membatin dengan penuh decak kagum.

"Inikah rasanya berada di surga? Orang-orang kaya benar-benar hidup di dunia yang berbeda," batinnya lirih.

Ia menatap hidangan yang hampir tandas di hadapannya. Di dalam hati, ia bergumam bahwa hidup para orang berada seperti Gustro sangatlah mengagumkan. Mereka tidak perlu ragu untuk menyuguhkan makanan-makanan dengan bahan mentah berkualitas tinggi, sekelas restoran bintang lima. Tidak ada yang ditahan... tak ada yang dipikir dua kali—semuanya tampak begitu mudah.

Gustro yang memperhatikannya sedari tadi, tersenyum simpul.

"Bagaimana?" tanyanya lembut, sambil menyandarkan tubuh santai di kursinya. "Apa kau menyukai makanannya?"

Wislay mengangguk cepat, matanya masih berbinar. “Sangat. Rasanya seperti mimpi.”

Ekspresi polos nan bahagia yang ditunjukkan Wislay sontak membuat jantung Gustro berdetak lebih cepat. Ia merasa, gadis itu terlihat... imut. Sangat imut. Pipi Wislay yang sedikit merona karena semangat, membuatnya terdiam sesaat. Gustro buru-buru memalingkan wajah ke arah lain, menyembunyikan rona merah yang perlahan menyebar di wajahnya.

Ia berdehem pelan, mencoba menguasai dirinya yang hampir kehilangan kendali.

"Kalau begitu," ucapnya seraya bangkit, "ikut aku ke ruang musik."

Wislay mengangguk, lalu mengikuti langkah Gustro menyusuri lorong rumah yang sepi namun berisi aura kehangatan. Setelah menaiki beberapa anak tangga, mereka pun tiba di sebuah ruangan yang begitu estetik dan tertata indah. Dinding-dindingnya dihiasi panel akustik dan rak berisi berbagai jenis alat musik, dari gitar, keyboard, hingga biola. Di sudut ruangan, terdapat lampu gantung kaca kecil yang menyinari ruang musik dengan lembut.

Wislay mematung beberapa detik. “Astaga... ruang ini... luar biasa!” serunya kagum. "Seperti studio rekaman profesional."

Tatapannya kemudian terhenti pada sebuah gitar akustik berwarna cokelat tua dengan kilau yang menenangkan. Tanpa ragu, ia melangkah mendekat dan mengambil gitar tersebut dengan penuh kehati-hatian. Ia duduk di kursi panjang di tengah ruangan, tangannya menyentuh senar-senar dengan lembut. Suara gitar yang keluar begitu bersih dan merdu. Wislay tersenyum lebar.

"Suaranya... indah sekali. Gitar ini benar-benar hidup," ujarnya penuh kekaguman.

Gustro yang sejak tadi memperhatikan, ikut tersenyum. Tanpa sadar, ia melangkah dan duduk tepat di sebelah Wislay. Bahkan, saking dekatnya, tidak ada celah satu senti pun di antara mereka.

Wislay sempat terkejut namun tidak bergerak. Hatinya mendadak berdegup lebih cepat.

Gustro menoleh padanya, senyum masih tersungging di bibirnya. "Gimana kalau... kita langsung duet saja sekarang?" bisiknya nyaris tak terdengar.

Deggg.

Wajah mereka begitu dekat. Bahkan, ujung hidung keduanya nyaris bersentuhan. Nafas Gustro terasa hangat di wajah Wislay. Gadis itu menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya mendadak membeku. Mata Gustro menatap lekat ke arah matanya, lalu turun perlahan... menuju bibirnya.

Dalam keheningan yang menggantung itu, dunia seolah lenyap. Yang tersisa hanya mereka berdua. Hanya napas yang saling bersahut... dan detak jantung yang semakin liar.

“Apakah... dia akan menciumku?” gumam Wislay dalam hati.

Namun sebelum momen itu benar-benar terjadi, Wislay tersentak. Dengan cepat, ia mengalihkan wajah—pipinya memerah seperti habis dikecup matahari sore.

“E-Eh... alangkah baiknya kalau kita segera merekam videonya,” ucapnya terbata-bata, berusaha mencairkan suasana yang terlalu panas bagi hatinya. "Astaga Wislay, lagi-lagi kau berpikiran yang aneh-aneh."

Gustro pun terdiam sesaat, lalu mengembangkan senyum seringainya sambil mengangguk. Ia juga merasa wajahnya hangat tak terkira.

“Baiklah... ayo kita buat,” balasnya.

Namun dalam hati, Wislay masih terguncang. Ia menyentuh bibirnya sekilas sambil membatin penuh gejolak, "tapi tadi, hampir saja... aku berciuman dengannya. Astaga Gustro, kenapa kau harus punya wajah dan bibir semenggoda itu?"

Dan demikianlah... alunan gitar dan nyanyian pun mengalun, mengiringi dua insan yang hatinya diam-diam saling terikat dalam ikatan manis tetapi menyimpan seluk-beluk berbahaya.

Selang beberapa waktu...

Usai merekam video duet mereka, Wislay dan Gustro masih duduk berdampingan di kursi panjang dalam ruang musik yang sunyi namun penuh getar kehangatan. Keduanya memandangi layar ponsel, memperhatikan hasil rekaman mereka sambil tersenyum-senyum seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun.

"Sepertinya, aku kelihatan keren." Kata Gustro seraya mengibaskan poni seakan-akan angin panggung sedang menerpanya.

Wislay mencibir manis. “Iya, keren seperti tahu bulat digoreng dadakan. Tapi suaramu... yah, lumayanlah.”

“Lumayan?” Gustro mengangkat alis. “Tunggu sampai kau melihat komentar para fansku nanti. Mereka pasti menulis: 'Kakak, suaramu kayak mentega meleleh di tengah padang lavender musim semi!’”

Wislay tertawa kecil sambil memelototinya manja. “Pede sekali, ya? Tapi memang harus kuakui... kita cocok. Suara kita nyatu banget.”

Gustro terdiam sejenak, menatap rekaman yang mereka tonton ulang untuk ketiga kalinya. Ia tampak bahagia, tetapi juga seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa menoleh, ia bertanya dengan suara yang lebih pelan, “Wislay, apa kau punya impian?”

Pertanyaan itu membuat Wislay ikut terdiam. Ia menoleh pada Gustro, kemudian mengalihkan pandangan ke arah jendela ruang musik yang memantulkan cahaya bulan. Ia tidak langsung menjawab. Matanya seolah mencari-cari sesuatu di langit gelap.

Butuh beberapa detik sebelum ia berucap pelan, “Impian terbesarku... adalah melindungi orang-orang yang aku sayang. Aku ingin memastikan mereka tetap hidup, tersenyum, dan tidak mengalami musibah.” Ia berpaling memandang kembali pada Gustro. “Aku mau menjadi alasan mereka bisa bahagia.”

Gustro menatap Wislay dalam diam. Kata-kata itu begitu tulus, sejuk, dan tidak dibuat-buat. Hatinya mencelos mendengar ketulusan gadis di sampingnya.

Kemudian Wislay membalikkan pertanyaan. “Kalau kau sendiri? Apa impianmu, Gustro?”

Gustro menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. “Aku mau menjadi seorang idola. Seperti yang dulu ibuku impikan. Aku ingin bernyanyi, menari, membuat orang lain bahagia dengan penampilanku. Bukan demi ketenaran... tapi demi satu impian yang dulu tidak bisa ibu wujudkan.”

Wislay tersenyum penuh haru. Ia tahu jawaban itu. Ia tahu bahwa di kehidupan sebelumnya, Gustro memang menjadi seorang idol yang sukses, dicintai banyak orang. Dan kini, mendengar keinginannya secara langsung, membuat hatinya tentram.

Tanpa sadar, Wislay memegang punggung tangan Gustro yang tergeletak di pangkuan. Ia menatap Gustro dalam-dalam, bibirnya tersenyum lembut. “Kau pasti bisa, Gustro. Aku yakin. Sebab... aku pernah melihatmu bersinar di atas panggung.”

Gustro terbelalak. “Apa? Melihatku?”

Wislay terkesiap, menyadari bahwa ia nyaris keceplosan. Ia pun cengengesan cepat, menutupi dengan gaya dramatis ala presenter televisi. “Maksudku... secara bayangan. Kamu tuh punya aura panggung. Tinggal menunggu waktu saja.”

Gustro terdiam. Jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan karena kata-kata manis itu, melainkan... ini kali pertama dalam hidupnya seseorang memegang tangannya dan berkata bahwa ia mampu. Ia merasa mendapatkan dukungan, meski sesederhana apapun.

Dan tangan itu... tangan kecil Wislay yang hangat, terasa seperti pelindung. Seolah ia tidak sendiri.

Perlahan wajahnya memerah. Ia menunduk, lalu pura-pura batuk pelan. “Aku akan menyimpan videonya sebagai kenang-kenangan.”

Wislay tersenyum nakal. "Aku ngarepnya sih, kau segera mengupload video itu di media sosialmu. Biar kau cepat-cepat jadi idol."

Gustro nyengir, mencoba menutupi rasa malunya. “Kalau gitu... jangan lupa siapkan banyak kertas kosong, ya. Biar nanti saat aku sudah terkenal, kau bisa jual ke fansku dengan harga mahal.”

Wislay tertawa, menepuk pelan bahu Gustro. “Hahaha, belum apa-apa udah sombong duluan. Tapi ya... kalau kau jadi terkenal, jangan lupakan aku, ya.”

Gustro menatapnya. “Mustahil. Aku malah memperkirakan kau yang lupa padaku duluan.”

Mereka saling beradu pandang beberapa waktu. Diam-diam, hati keduanya mulai menuliskan kisahnya sendiri. Tidak terburu-buru dan berlebihan. Hanya dua insan yang tidak menyadari mulai timbul rasa... lewat gitar, suara, dan impian yang saling terhubung.

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!