NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Aletta?

Bagas berdiri di depan kelas lagi dan memulai pelajaran. Tapi atmosfer sudah tidak sama. Aruna mencoba mencatat soal matematika, tapi malah menggambar wajah Bagas... yang ia coret dengan pulpen.

Aruna menguap kecil sambil menuruni tangga asrama.

"Duh, pagi-pagi banget udah matematika. Siapa sih yang bikin jadwal ini?" gerutunya sambil menenteng tas selempangnya.

Langkahnya makin cepat menuju kelas, tapi terdengar suara dari belakang.

"Pagi, Non Aruna."

Aruna menoleh. Bagas berdiri dengan jaket biru navy dan map di tangan, tersenyum santai seperti biasa. Aruna berdecak pelan.

"Pagi, Pak Raden," jawabnya datar.

Bagas berjalan sejajar. "Gimana Aletta? Cocok di kelasmu?"

Aruna mengangkat bahu. "Belum tahu. Dia baru sehari, belum ngobrol banyak juga."

Bagas mengangguk. "Kalau bisa, ajak ngobrol ya. Dia anaknya agak tertutup, butuh waktu. Tapi dia baik, kok."

Aruna menoleh curiga. "Kok tahu banget? Pak Raden kenal Aletta sebelumnya, ya?"

Bagas menahan napas sejenak. "Iya, dulu pernah ketemu beberapa kali. Dia anak Pak Raffi, salah satu donatur sekolah. Kamu pasti tahu."

Aruna diam sejenak. "Jadi selain aku dan Atta, Aletta juga anak donatur... Sekolah kita ini elit banget, ya."

Bagas terkekeh. "Bisa dibilang begitu."

Aruna melirik Bagas sambil berjalan. "Tapi kalau cuma pernah ketemu, kok kayaknya akrab banget."

Bagas pura-pura tidak mendengar dan malah menunjuk jam tangannya. “Tuan Putri!” serunya dengan suara jernih. “Cepat masuk kelas, bel sudah bunyi.”

"Iya, ya, aku tahu."

"Aku masuk pas bel ketiga."

Aruna mengangguk pelan, tapi pikirannya sibuk merangkai teori baru: “Jadi mereka sudah saling kenal sejak lama. Atau... mereka pernah dekat?”

Sambil masuk kelas, Aruna menepuk pipinya pelan. "Aruna, fokus. Kenapa malam memikirkan laki-laki aneh itu."

Tapi ekspresinya saat duduk... jelas-jelas seperti detektif yang sedang bersiap menginterogasi saksi baru bernama Aletta.

Bel ketiga berbunyi. Para siswa mulai tenang. Pintu kelas terbuka, Bagas masuk dengan map di tangan dan senyum khas "guru galak tapi misterius".

"Selamat pagi. Hari ini kita akan bahas koordinat kartesius, dan—" Bagas menyelipkan mapnya ke meja, "—info penting soal kegiatan hari Jumat nanti."

Suasana kelas langsung hidup.

"Kita akan berkemah," lanjut Bagas. "Pesertanya kelas XI, termasuk kalian. Semua wajib ikut, kecuali ada surat keterangan resmi dari orang tua."

Beberapa murid langsung ribut. Aruna memutar mata, sementara Windi menepuk dahinya pelan. Dari belakang, tangan terangkat rapi.

"Pak," suara Aletta terdengar.

Bagas mengangguk. "Ya, Aletta?"

"Saya kan murid baru. Apa tetap harus ikut berkemah juga?"

Bagas mengangguk tenang. "Boleh ikut. Malah bagus buat adaptasi. Di sana kamu bisa kenalan lebih dekat sama teman-teman."

Aletta tersenyum manis. "Baik, Pak."

Bel tanda akhir pelajaran berbunyi. Beberapa siswa mulai berkemas, berharap bisa langsung kabur ke kantin atau ruang ekstrakulikuler.

Tapi Bagas menepuk papan tulis pelan dengan spidol.

"Tunggu dulu. Sebelum kalian keluar, saya kasih PR. Halaman 78, nomor 3 sampai 10."

Satu kelas langsung terdengar "Huuuuu..."

"Pak! Itu banyak!" keluh salah satu siswa.

"Besok kan udah mulai persiapan kemah!" seru yang lain.

Bagas tersenyum tipis, "PR tetap PR. Latihan itu bekal, sama kayak kemping. Biar nggak nyasar."

Aruna mengangkat tangan setengah malas. "Kalau nggak ngerjain, hukumannya apa, Pak?"

Beberapa siswa langsung bersorak, “Nah! Itu penting, Pak!”

Bagas memandangi Aruna yang menantangnya dari tempat duduk, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.

“Tugas dari saya bukan dibuat untuk menghukum. Tapi untuk melatih otak kalian… yang selama ini hanya digunakan buat nyimpan drama kehidupan.”

Tawa meledak di kelas. Aruna mencibir sambil membuang muka. Tapi senyumnya sulit ditahan.

“Jadi,” lanjut Bagas, membuka map dan mulai membagikan lembar tugas. “Kalau nggak dikerjakan… ya kalian akan rugi sendiri.”

“Tapi nggak dihukum, kan?” Aruna mengulang, dengan nada menggoda.

Bagas menatapnya, sejenak ada jeda seolah ia mempertimbangkan jawabannya. "Kita lihat besok. Tapi... saya ingat yang suka bandel." Tatapannya sekilas ke arah Aruna, lalu cepat-cepat dialihkan ke siswa lain.

Aletta yang duduk di belakang Aruna, memiringkan kepala, ekspresinya tajam tapi tersenyum samar. Ia memperhatikan interaksi itu.

"Menarik," bisik Aletta pelan, tapi cukup untuk Windi yang duduk di sebelahnya melirik curiga.

Sementara itu Bagas membereskan mapnya dengan cepat.

"Oke, kelas bubar. Jangan lupa PR!"

Ia keluar lebih cepat dari biasanya.

Windi merapikan bukunya dan menatap Aruna yang sedang memandangi jendela dengan wajah lesu. Bel istirahat baru saja berbunyi, tapi suasana kelas masih hangat oleh obrolan seputar persiapan kemah yang akan berlangsung akhir pekan ini.

“Menurut kamu, kemah nanti bakal kayak apa?” tanya Windi sambil menyenggol lengan Aruna.

Aruna menoleh pelan, ekspresinya seperti habis disedot semangat hidup. “Kayak masuk rumah hantu,” gumamnya.

“Lah? Serem banget,” Windi tertawa kecil. “Tapi sih iya ya, guru killer satu itu... udah kayak penjaga neraka.”

Aruna memutar bola matanya. “Aku nggak ngerti kenapa harus kemah segala. Tidur bareng teman-teman yang doyan ngegosip, makan mie cup tengah malam, terus pagi-pagi disuruh senam ceria… sambil diawasi Mas Guru Penuh Aturan.”

“Yang juga tunanganmu,” tambah Windi sambil mengedipkan mata nakal.

“Garis bawahi: hanya tunangan di atas kertas,” Aruna menjawab cepat. “Bukan realita.”

Windi terkekeh geli melihat temannya terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri.

Aruna berdiri, mengambil ponselnya dari meja. “Udah ah, daripada mikirin kemah kayak mikir ujian nasional, mending ke kantin.”

Windi langsung mengikuti langkah Aruna. “Setuju. Siapa tahu di sana kita dapat pencerahan—atau setidaknya gorengan isi tahu.”

Keduanya pun berjalan keluar kelas, bersiap menuju kantin sambil terus berceloteh, tak sadar bahwa dari lantai atas, sepasang mata memperhatikan mereka dengan tenang—Bagas, yang berdiri di balik jendela ruang guru, tersenyum kecil mendengar gelak tawa Aruna.

Sementara itu, di sudut kelas, Aletta duduk dengan Laras, membolak-balik bukunya dengan malas.

"Yang duduk di depanku itu namanya Aruna, ya?" tanya Aletta datar, seolah cuma iseng padahal matanya tadi sempat memicing saat Aruna bicara di kelas.

"Yang rambutnya diikat pita biru? Itu Aruna," jawab Laras.

"Dia murid spesial ya? Tadi semua orang nyapa dia duluan."

Laras mengangguk. "Dia anak donatur sekolah. Putri tunggalnya Agam Grup. Tapi dia nggak sombong kok. Baik malah. Ramah sama siapa aja."

Aletta mencibir pelan, "Baik ya..." gumamnya tidak meyakinkan.

"Kenapa? Kamu pengin tahu lebih banyak soal Aruna?"

"Cuma pengin tahu aja, kayaknya dia populer."

Laras berdiri sambil menggantungkan tas kecil di bahunya. "Udah yuk, kita ke kantin. Nanti kehabisan tahu bakso."

Aletta tersenyum kecil dan mengangguk. "Oke."

Tapi sebelum benar-benar melangkah, Aletta sempat menoleh ke arah jendela, matanya kosong sejenak, lalu kembali seperti biasa.

Laras menunjuk satu per satu menu kantin sambil berjalan pelan bersama Aletta.

"Yang itu ayam kremes favorit anak-anak, sebelahnya ada soto, terus pojokan itu bakso. Tapi kalau kamu anak baru, wajib coba donat gula buatan Bu Inah. Legendaris."

Aletta mengangguk sopan. "Oke, aku coba ayamnya dulu deh."

Setelah selesai mengambil makanan dan minuman, Aletta menyambar nampan dan berbalik.

"Kita duduk di mana?" tanyanya.

Laras melirik ke salah satu sudut kantin. "Hmm, itu ada meja kosong… tapi di sebelahnya ada Aruna." Nada suaranya berubah sedikit canggung.

Aletta menoleh ke arah yang dimaksud. Di sana, Aruna duduk bersama Windi, tiga siswi yang lain dan Atta, tertawa ringan sambil mengaduk es teh mereka. Semuanya terlihat dekat. Terlalu dekat.

"Kenapa nggak duduk di situ aja? Kelihatannya seru."

Laras cepat-cepat menggeleng. "Enggak ah. Aku… kurang nyambung kalau ngobrol sama mereka. Terlalu rame. Lagi pula, ada Atta."

"Atta?"

"Iya, itu dia. Selain Aruna, dia juga murid populer di sini. Anak band, anak donatur juga, pintar, bla bla bla. Semua orang tahu dia deket banget sama Aruna."

Aletta mengerutkan dahi. "Mereka pacaran?"

Laras mengangkat bahu. "Nggak ada yang tahu pasti. Tapi dari cara mereka jalan bareng, ketawa-ketawa, kayak... ya gitu deh. Dan katanya orang tua mereka juga sahabatan."

Aletta melirik lagi ke arah meja itu. Ia tersenyum kecil dan merapikan rambutnya. "Aku mau duduk sama mereka, deh."

"Serius?" tanya Laras.

"Iya. Masa sih jadi anak baru nggak boleh ramah?"

Laras buru-buru mengangkat nampannya. "Aku ke tempat lain aja ya. Aku takut awkward."

Sebelum Laras sempat membantah lebih banyak, Aletta sudah melangkah penuh percaya diri menuju meja Aruna.

"Hai, Atta, kan?"

Atta yang sedang mengangkat sendok soto hampir tersedak. Ia menoleh cepat.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!