Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Lima Belas
***
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah enam, Serena dikejutkan oleh suara ketukan keras di pintu kontrakannya. Ia baru saja selesai salat Subuh dan masih mengenakan mukena ketika membuka pintu.
Di hadapannya berdiri Bibi Nani, dengan wajah kusut dan mata sembab. Serena terkejut, sama sekali tidak menyangka akan melihat sosok itu di depan rumahnya.
"Bibi...? Kok bisa tahu alamat Serena?" tanyanya, bingung.
"Bibi cari tahu dari tetangga kamu yang di rumah lama," jawab Bibi Nani cepat. "Maaf, Serena. Bibi nggak ada pilihan lain. Bibi minta tolong..."
Serena mempersilahkannya masuk, meski perasaan dalam hatinya belum sepenuhnya tenang. Mereka duduk di kursi plastik ruang tamu kontrakan yang sederhana itu.
"Ada apa, Bi?"
"Bibi butuh uang... tiga puluh juta."
Serena terdiam.
"Rumah kita mau disita, Serena. Ada utang ke rentenir. Totalnya enam puluh lima juta. Tapi mereka mau proses hukum kalau nggak dibayar setengahnya minggu ini juga."
"Untuk apa utang sebanyak itu, Bi...?"
"Untuk nikahan Vina kemarin. Biayanya membengkak, sedangkan keluarga Rama cuma kasih lima puluh juta. Bibi terpaksa pinjam, pikir nanti bisa dicicil. Tapi bunganya... besar banget."
Serena menelan ludah, sulit berkata-kata. Ia tidak pernah diberi tahu tentang utang sebesar itu, dan kini... ia diminta menyelamatkan rumah orang-orang yang tak pernah menganggapnya sebagai keluarga.
"Tolong ya, Serena. Bibi janji nanti diganti..." ujar Bibi Nani, suaranya nyaris seperti memelas.
Serena menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Maaf, Bi... Serena nggak bisa bantu. Serena juga sedang butuh uang untuk urusan penting. Dan maaf, itu hal yang nggak bisa Serena jelaskan sekarang.”
Bibi Nani terdiam. Ekspresi di wajahnya berubah, dari harap menjadi kecewa, lalu perlahan berubah menjadi kesal.
"Jadi kamu nggak mau bantu keluarga sendiri? Padahal kamu udah enak sekarang, kerja bagus, dekat sama orang penting..."
"Bukan begitu, Bi," potong Serena pelan tapi tegas. "Serena cuma... nggak bisa."
Bibi Nani berdiri, wajahnya mengeras. "Kamu lupa ya siapa yang ngebesarin kamu dari kecil? Kamu lupa budi baik keluarga ini?" ucapnya tajam.
Serena hanya menatap diam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia tak ingin berdebat, dan tak ingin kembali mengungkit masa lalu yang penuh luka.
Akhirnya Bibi Nani memutar badan dan melangkah keluar dari kontrakan. Pintu tertutup pelan. Serena menghela napas berat, tubuhnya bersandar di daun pintu yang dingin. Ia tahu keputusan ini berat, tapi untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar lagi. Serena mengangkat tubuhnya dan berjalan pelan ke arah pintu. Kali ini yang berdiri di ambang pintu adalah Delina.
"Serena? Aku tadi lihat ada ibu-ibu keluar dari arah rumahmu. Itu Bibi kamu kan?" tanya Delina penasaran sambil melirik ke dalam.
Serena mengangguk pelan. "Iya. Bibi Nani."
"Lho... dia tahu alamatmu dari mana? Kamu kan nggak pernah kasih tahu.”
Serena mengangkat bahu lemah. "Katanya dia tahu dari tetangga di rumah lama. Aku juga nggak nyangka dia bisa sampai kemari.”
“Tunggu, kenapa tetangga kamu itu tahu?”
“Nggak sengaja pernah ketemu, ternyata salah satu anaknya ada yang kontrak disini juga.” Jawab Serena.
Delina masuk dan duduk di atas tikar, Tatapannya masih tak percaya. "Ngapain dia datang pagi-pagi gini?"
Serena menarik napas panjang. "Mau pinjam uang. Tiga puluh juta. Katanya buat bayar setengah dari total utang ke rentenir. Kalau nggak, rumah mereka bisa disita."
"Ya ampun..." Delina menutup mulutnya dengan tangan. "Dan kamu...?"
"Aku bilang nggak bisa. Aku juga lagi butuh. Dan... ada alasan pribadi yang nggak bisa aku jelaskan."
Delina menatap Serena lekat-lekat, lalu mengangguk pelan. "Kamu udah cukup sabar, Ren. Kamu berhak bilang tidak."
Serena hanya diam, menatap lantai. Dalam diamnya, ia merasa berat—tapi juga sedikit lega.
“Tapi, kalau nanti benar Rumahnya di Sita gimana? Nanti mereka tinggal dimana? Kalau Vina pasti ikut suaminya.” Lirih Serena.
Delina menghela nafasnya, “Dengerin aku, kamu nggak perlu mikirin mereka. Mungkin ia mereka yang rawat kamu dari kecil, tapi nggak benar-benar dirawat, kamu tinggal disana itu seperti lagi nge Babu tapi nggak dibayar.”
“Langian mereka juga bisa ngontrak, atau jual dulu aja rumahnya. Sisanya kan bisa bayar hutang sampai lunas.” Lanjut Delina.
“Benar kata kamu, tapi…. Ngejual Rumah nggak akan langsung lunas, butuh waktu cukup lama.”
“Udahlah jangan kamu pikirkan nanti kamu malah jadi sakit, lebih baik sekarang siap-siap berangkat kerja.” Ucap Delina, ia berdiri dari duduknya. “Aku juga mau siap-siap.”
Setelah Delina kembali ke kontrakan sebelah, Serena hanya bisa menghela nafasnya. Ia sudah mandi dan sudah masak juga, sekarang tinggal sarapan sebelum berangkat kerja.
.
Serena sampai di kantor. Wajahnya masih menyimpan sisa kelelahan emosional dari pertemuannya dengan Bibi Nani pagi tadi. Namun, ia mencoba tetap tenang dan profesional seperti biasa.
Begitu membuka pintu ruangan Divisi Umum, Serena langsung disambut oleh suasana yang jauh lebih riuh dari biasanya. Di meja kerja bagian tengah, Mbak Rina dan Fifi tampak sibuk menghadap layar ponsel masing-masing sambil berdiskusi heboh.
"Kamu lihat yang warna biru royal ini nggak? Cutting-nya cantik banget! Tapi takutnya kependekan, ya?" ujar Mbak Rina sambil menunjukkan foto gaun dari marketplace online.
"Eh iya, tapi lihat ini, Mbak... Yang ini ada payetnya dikit, terus lengan panjang. Cakep, ya?" Fifi menimpali sambil menyodorkan ponselnya ke arah Rina.
Sementara itu, di sudut ruangan, Jaja dan Andra hanya memperhatikan dari balik monitor mereka. Sesekali saling melempar pandang dan tersenyum kecil melihat kehebohan dua rekannya itu.
"Pagi, Serena!" sapa Fifi dengan semangat ketika melihat Serena masuk.
"Eh iya, pagiii Serena! Kamu udah dapet gaun buat besok malam, Ren?" tanya Mbak Rina sambil melirik Serena.
Serena tersenyum kecil dan menggeleng. "Belum. Aku baru tahu soal acaranya tadi malam, jadi belum sempat nyari."
"Ya ampun, kamu harus cari hari ini, dong! Nanti kita kasih rekomendasi ya," sahut Fifi cepat.
Serena hanya mengangguk sopan. Ia duduk di kursinya dan mulai membuka laptop, mencoba fokus pada pekerjaan, walau obrolan ringan tentang pesta dan pilihan gaun masih terdengar dari seberang meja.
Di tengah hiruk pikuk itu, Serena merasa sedikit hangat. Setidaknya, di tempat baru ini, ada suasana yang lebih manusiawi. Tak ada tatapan sinis seperti dulu, tak ada suara merendahkan. Hanya percakapan-percakapan kecil yang... walaupun tak penting, tapi membuatnya merasa diterima.