NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang tamu rumah Cathesa, menyoroti wajah lelah tapi bingung dari perempuan muda itu. Ibu Cathesa duduk di sofa dengan segelas teh hangat, tatapan tajamnya tertuju pada anaknya.

“Cathesa, kamu nggak boleh terus-terusan begini. Bos kamu itu datang sampai rumah tengah malam? Apa maksudnya?”

Suara ibunya serius tapi juga sedikit was-was.

Cathesa mengusap wajahnya, mencoba menyusun kata.

“Aku juga nggak ngerti, Bu. Dia datang, mabuk, terus bilang… ‘mikirin aku.’ Aku kaget, Bu. Dia biasanya dingin dan gak pernah dekat. Apa dia sedang… berubah?”

Ibu Cathesa menggeleng pelan.

“Hati-hati, Nak. Di balik sikap dingin dia, bisa jadi ada sesuatu yang kamu nggak tahu. Jangan sampai kamu yang terluka.”

Sementara itu, di kantor Alejandro Group, suasana mulai berubah. Gosip tentang “CEO mabuk datang ke rumah sekretaris” mulai menyebar dengan cepat.

Adeline, calon tunangan Nagendra, mendapat kabar dari salah satu pegawai kantor dengan tatapan dingin.

“Gila, dia sudah gila! Apa maksudnya datang ke rumah si sekretaris? Ini kesempatan bagus buat aku, harus aku manfaatkan.”

Di sisi lain, Nagendra yang baru sadar akibat peristiwa malam tadi, duduk di ruang kerjanya dengan kepala pening dan kesal pada dirinya sendiri.

“Kenapa aku harus bodoh seperti ini? Ini bukan aku.”

Tapi hatinya tetap tak tenang, bayangan Cathesa terus mengganggu pikirannya.

Ketiga sahabatnya juga mulai mendapat panggilan dari HR yang mengeluh soal “CEO yang aneh” dan diminta memastikan Nagendra tidak membuat ulah lagi.

Kenzo: “Wah, bro, kamu sekarang bintang gosip kantor nih. Kapan ulang tahun biar kita bikin pesta?”

Ilham: “Mungkin ini saatnya kamu belajar lebih santai, Ndra.”

Ravel: “Atau belajar bilang ‘tidak’ pada club malam…”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Keesokan harinya di kantor Alejandro Group, suasana terasa berbeda. Pekerja sibuk, tapi mata-mata selalu mengarah ke arah Nagendra. Bisik-bisik tentang malam sebelumnya sudah seperti angin lalu yang tak bisa dihentikan.

Di ruang kerja Nagendra, Cathesa mengetik dokumen sambil sesekali mencuri pandang ke arah pria dingin itu. Nagendra masuk dengan ekspresi datar, tapi ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya—sedikit lebih lembut, tapi masih penuh rahasia.

Nagendra duduk dan tanpa basa-basi berkata,

“Kamu sudah dengar gosip tentang aku?”

Cathesa mengangguk pelan, menahan senyum kecil.

“Iya, agak susah nggak dengar, Pak CEO.”

Nagendra menatapnya tajam.

“Kamu yakin nggak ada yang salah paham?”

Cathesa menjawab santai tapi dengan mata bersinar,

“Kalau salah paham, ya aku yang akan jelaskan.”

Mereka berdua saling diam sejenak. Ada ketegangan tapi juga ada kehangatan yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.

Di koridor, Adeline berjalan dengan langkah cepat, wajahnya penuh kemarahan. Dia melihat Nagendra dan Cathesa di ruang kerja, kemudian bergumam sinis,

“Mereka berdua pasti sudah merencanakan sesuatu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Ketiga sahabat Nagendra nongkrong di pantry kantor, tertawa sambil membicarakan kejadian malam sebelumnya.

Ilham: “Gue nggak nyangka CEO yang dingin bisa mabuk sampai dateng ke rumah sekretaris.”

Kenzo: “Ini saatnya kita jaga Ndra biar gak kebablasan lagi.”

Ravel: “Iya, atau kita siap-siap jadi bodyguard pribadinya.”

Nagendra muncul dari ruangan, mendengar pembicaraan mereka tanpa mengalihkan pandangannya.

“Cukup. Aku nggak butuh bodyguard.”

Tapi senyumnya—meski tipis—membuat sahabatnya tahu ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Hari semakin siang, suasana kantor semakin panas oleh bisik-bisik yang tak berhenti. Cathesa sedang menyusun laporan saat pintu ruangannya diketuk pelan.

Ternyata Adeline berdiri di depan pintu, wajahnya dingin tapi senyumnya penuh arti.

“Cathesa, kita perlu bicara.”

Cathesa mengangkat alis, mencoba tetap tenang.

“Ada apa, Bu Adeline?”

Adeline masuk tanpa permisi, duduk di kursi dan menatap tajam.

“Aku tahu tentang kedekatanmu dengan Nagendra, dan aku tak suka itu.”

Cathesa tersenyum kecil,

“Saya juga tahu Anda calon tunangan beliau. Tapi saya hanya menjalankan tugas sebagai sekretaris.”

Adeline mendekat, suaranya jadi rendah.

“Kalau begitu, kamu harus tahu tempatmu, dan jangan coba-coba mengganggu rencana kami.”

Cathesa menatap lurus,

“Rencana siapa? Dan apa yang membuat Anda yakin saya mau mengganggu?”

Adeline berdiri,

“Aku sudah memperingatkan. Jangan sampai aku harus mengambil langkah lebih tegas.”

Cathesa menghela napas,

“Saya paham, Bu Adeline. Tapi saya bukan orang yang mudah diintimidasi.”

Adeline keluar dari ruangan dengan langkah mantap, meninggalkan Cathesa yang tersenyum tipis tapi penuh waspada.

Di sisi lain, Nagendra yang baru kembali dari rapat, bertemu dengan Adeline di lorong.

“Kamu sudah dengar kabar?”

“Kabar apa?” tanya Nagendra dingin.

“Tentang ‘kunjungan’ kamu ke rumah sekretarismu.”

Nagendra memandang tajam,

“Aku tidak perlu penjelasan dari kamu.”

Adeline melirik,

“Aku hanya ingin kamu ingat janji kita.”

Nagendra berjalan menjauh tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Adeline yang tersenyum licik.

Di ruang kerja, Cathesa dan Nagendra bertukar pandang—ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka, seperti pertempuran halus antara rasa dan kewajiban.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di ruang mewah rumah keluarga Alejandro, Adeline duduk di hadapan Nyonya Anneliese dan Tuan Alejandro. Wajahnya serius, penuh tekad.

“Nyonya, Tuan Alejandro, saya ingin meminta agar acara tunangan saya dengan Nagendra dipercepat. Bulan depan, jika memungkinkan.”

Nyonya Anneliese menatap tajam, lalu tersenyum dingin.

“Memang sudah saatnya. Kami juga merasa ini bisa menguatkan posisi keluarga.”

Tuan Alejandro mengangguk setuju.

“Kami setuju dengan usulan Adeline. Nagendra harus segera mendapatkan pendamping yang tepat. Semua demi kelangsungan bisnis dan kehormatan keluarga.”

Adeline tersenyum puas, merasa telah mendapatkan dukungan penuh.

“Terima kasih, Nyonya, Tuan. Saya akan pastikan Nagendra mengikuti semua rencana ini.”

Namun, dalam hati Nyonya Anneliese, ada kekhawatiran terselip tentang sikap Nagendra yang semakin sulit ditebak.

Sementara itu, di tempat lain, Nagendra menerima kabar ini dari asistennya dengan ekspresi dingin.

“Mereka ingin mempercepat tunangan,” gumam Nagendra pelan.

Ia menatap keluar jendela, pikirannya kacau.

Di kantor, Cathesa mendengar bisik-bisik tentang rencana itu dan merasa tertekan.

“Kalau begitu aku harus lebih kuat…”

gumamnya, menyiapkan diri menghadapi badai yang semakin dekat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Nagendra berdiri di balkon ruang kerjanya, memandangi langit senja yang mulai menggelap. Angin sore menyapu dasinya yang rapi, tapi pikirannya kacau.

“Tunang bulan depan? Apa mereka pikir aku ini robot yang tinggal ikut naskah?”

Ia masuk kembali ke dalam ruangan dan menemukan Cathesa sudah membereskan dokumen. Suasana hening, tapi tegang.

Nagendra memecah keheningan dengan suara datar,

“Kamu udah dengar?”

Cathesa menoleh pelan.

“Soal pertunangan bulan depan? Ya, gosip kantor nyebarnya lebih cepat dari wifi.”

Nagendra sedikit tersenyum, tapi tawanya hambar.

“Aku bahkan belum diminta pendapat.”

Cathesa menatapnya sejenak, lalu kembali menunduk pada berkas.

“Kadang hidup memang begitu. Kita nggak selalu punya pilihan.”

Kalimat itu membuat dada Nagendra terasa sesak. Ia menatap Cathesa lama, ingin bicara, ingin jujur… tapi ada tembok tinggi bernama status dan keluarga yang menghalangi.

“Cathesa…,” ucapnya perlahan, tapi suara itu menggantung di udara.

Cathesa menoleh, menunggu kelanjutan, namun Nagendra memilih diam. Ia hanya menatapnya seperti ingin bicara banyak hal—tapi semua tertahan.

Di sisi lain, Adeline tengah merancang detail acara pertunangan bersama Nyonya Anneliese. Gaun, undangan, dan media. Ia memaksakan senyum anggun di depan calon mertuanya, tapi dalam hati… ia sedang bersorak.

“Setelah ini, Cathesa cuma bayangan. Aku yang menang.”

Namun, ia tak tahu… bahwa yang dingin bisa mencair, dan yang terlihat diam bisa meledak.

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!