NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:579
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Keesokan paginya, sinar mentari menyusup pelan dari celah-celah jendela rumah kayu di Magelang.

Embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, dan aroma tanah basah masih melekat di udara.

Di dapur, suara panci yang bersentuhan dengan tungku terdengar lirih, sesekali diselingi dengan dengung pelan dari ketel air mendidih.

Sri terbangun lebih awal dari biasanya. Ia membereskan tikar dan menata bantal-bantal kecil yang berserakan.

Tak lama kemudian, terdengar suara panggilan lembut dari luar kamar, suara yang membuat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.

“Sri, ayo ikut ibu ke pasar,” ajak Ibu Grilyanto dari balik pintu, dengan nada yang tak biasa, hangat dan tanpa jarak.

Sri menyahut pelan, “Iya, Bu, sebentar.” Senyum kecil merekah di wajahnya, ada harapan yang tumbuh pelan-pelan di dadanya.

Mereka berjalan berdua menyusuri gang kecil, melewati rumah-rumah tua dengan pagar bunga sepatu dan anjing-anjing kampung yang masih bermalas-malasan di emperan.

Ibu mengenakan kebaya abu-abu dan kain batik berwarna coklat tua.

Sri mengenakan baju kurung warna hijau lembut yang dibelikannya sendiri sebelum ke Magelang.

Pasar pagi di Magelang telah ramai. Aroma kembang telon, jajanan pasar, dan rempah-rempah tercampur menjadi satu, menguar di antara celoteh para pedagang dan ibu-ibu pembeli yang sibuk menawar.

Sesampainya di deretan penjual sayur, Ibu menggandeng tangan Sri pelan dan mulai memperkenalkannya.

“Bu Marni, kenalkan ini mantu saya, Sri,” ucap ibu kepada penjual sayur tua dengan senyum tulus.

Bu Marni mengangguk sambil memperhatikan Sri dari ujung kepala hingga kaki.

“Wah… cantik sekali Bu, mantunya. Ayu, sopan, halus. Beruntung sekali si Grilyanto.”

Sri tersenyum malu, menunduk pelan sambil mengucap salam. Ibu hanya terkekeh kecil, matanya tak lepas memandangi Sri yang tersipu.

Lalu, mereka lanjut ke lapak lain penjual bumbu, penjual tempe, tukang jamu gendongbdan setiap kali ibu akan berkata dengan nada bangga, “Ini mantu saya, Sri.”

Di setiap perkenalan, ada senyum dan pujian yang Sri terima. Dan meskipun kecil, sapaan hangat itu membasuh hatinya yang semalam diliputi ketegangan dan kecanggungan. Ibu bahkan sempat berhenti sejenak di warung dawet kesukaannya.

“Sri, kamu mau dawet?” tawar Ibu.

“Mau, Bu.” Jawab Sri cepat, mengangguk dan duduk bersisian dengan ibu di bangku kayu kecil.

Saat menyeruput dawet dingin yang manis, Sri merasa ada yang berubah.

Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Hubungan yang semalam seperti terkatung tanpa pegangan, pagi ini mulai menemukan akarnya.

Di antara genggaman tangan ibu saat menawar, atau tatapan bangga saat memperkenalkan dirinya, Sri tahu: ia mulai diterima.

Dan itulah pasar pagi yang paling berarti dalam hidupnya.

Sebuah pagi yang tidak hanya menyuguhkan sayur dan bumbu, tetapi juga harapan, penerimaan, dan awal dari hubungan menantu dan mertua yang tumbuh tidak dengan cepat, tetapi dengan ketulusan satu demi satu langkah kecil.

Angin pagi di Pasar Magelang mulai bertiup lembut, membawa serta aroma tanah basah, bumbu dapur, dan ketenangan yang jarang hadir.

Sri dan Ibu Grilyanto duduk berdampingan di bangku kayu warung dawet, di bawah tenda sederhana yang menaungi para pengunjung dari panas matahari yang perlahan naik.

Di depan mereka, dua mangkuk dawet tersaji dengan santan yang kental, gula merah yang harum, dan butiran cendol hijau yang menggoda.

Sri menyendok perlahan, mencicipi dawet dengan hati yang mulai tenang. Ibu Grilyanto, yang duduk di sampingnya, tampak tak langsung menyentuh mangkuknya.

Pandangannya tertuju ke jalanan pasar, seolah sedang memikirkan sesuatu yang telah lama tertahan.

Beberapa saat mereka menikmati keheningan di antara keramaian. Anak-anak kecil berlari, para pedagang sibuk menata dagangan, dan ibu-ibu asyik menawar.

Tapi di dunia kecil antara Sri dan ibu, suasana terasa seperti berhenti sejenak.

Lalu, dengan suara yang pelan namun sangat jujur, Ibu mulai berbicara.

“Sri… Ibu minta maaf ya, Nak.”

Sri menghentikan sendoknya. Ia menoleh pelan ke arah ibu, matanya mencari maksud dari kalimat itu.

“Dulu… waktu kamu datang ke rumah, Ibu memang menolak. Ibu terlalu takut. Takut kamu tidak bisa bahagiakan Grilyanto, takut karena kamu janda, takut karena kamu bukan dari keluarga yang kami kenal.”

Sri menunduk, hatinya mencubit pelan. Ia sudah tahu itu. Ia sudah merasakan penolakan itu sejak awal, tapi mendengarnya langsung dari mulut ibu membuatnya terasa lebih nyata.

“Ibu menilai kamu dari luar. Padahal sekarang… setelah melihat kamu mendampingi Gril, Ibu tahu, kamu perempuan yang kuat. Sabar. Kamu mencintai dia dengan tulus. Dan ibu... ibu menyesal.”

Sri menarik napas dalam, lalu tanpa banyak kata, tangannya perlahan meraih tangan tua yang mulai bergetar di pangkuan ibu. Ia menggenggamnya erat dengan rasa hangat dan penuh rasa hormat.

“Tidak apa-apa, Bu,” ucap Sri lirih, hampir seperti bisikan.

“Saya mengerti. Saya tahu semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya.”

Ibu tertegun sejenak, lalu air mata kecil menetes dari sudut matanya.

Tangannya membalas genggaman Sri. Tidak ada pelukan, tidak ada ratapan, hanya genggaman yang menjembatani perasaan yang selama ini terpendam.

Di hadapan semangkuk dawet dan keramaian pasar, dua perempuan dari generasi berbeda itu saling memahami.

Bukan karena banyak kata, tapi karena hati mereka telah melalui ujian, dan kini dipertemukan kembali dalam keikhlasan.

Untuk pertama kalinya, Sri merasa bahwa ia benar-benar diterima.

Bukan sebagai istri Grilyanto saja, tapi sebagai anak bagi seorang ibu. Dan bagi Ibu Grilyanto, pagi itu bukan hanya tentang belanja sayur atau menikmati dawet, tapi tentang menghapus kesalahan dan membuka hati untuk keluarga baru yang datang bukan membawa beban, tapi kasih yang tulus.

Di bawah langit Magelang yang mulai hangat oleh sinar matahari pagi, suasana pasar semakin riuh oleh suara tawar-menawar dan derap kaki para pembeli.

Namun di antara semua itu, ada pemandangan yang membuat beberapa pedagang menoleh dengan senyum ramah seorang wanita tua menggandeng tangan menantunya dengan lembut, seperti seorang ibu yang tak ingin kehilangan putrinya.

“Ikut Ibu sebentar, ya, Sri,” ucap Ibu Grilyanto sambil menarik pelan tangan Sri.

Sri mengangguk, sedikit terkejut tapi bahagia. Sudah lama ia tak merasakan digandeng seperti itu oleh seorang ibu. Ada rasa hangat yang menyelinap ke dalam dadanya, seperti sejuk embun pagi yang meresap perlahan.

Mereka berjalan menyusuri jalan sempit antara lapak-lapak, hingga sampai di sebuah toko pakaian sederhana yang sudah lama berdiri di pojok pasar.

Toko itu kecil, tapi penuh dengan warna kebaya warna pastel tergantung rapi, daster-daster motif bunga tersusun di rak, dan aroma kapur barus bercampur wangi kain baru memenuhi udara.

“Bu, kita mau beli apa?” tanya Sri lembut.

“Ibu mau beliin kamu kebaya. Biar nanti kalau ke pengajian atau kondangan, kamu pakai ini. Biar cantik,” jawab Ibu sambil tersenyum, matanya berbinar. “Sama daster juga, buat di rumah. Enak kalau tidur pakai kain adem.”

Sri tersenyum kecil, lalu mengikuti Ibu masuk ke dalam. Pemilik toko menyambut mereka dengan hangat, mengenali Ibu Grilyanto sebagai pelanggan lama.

“Wah, Ibu bawa calon pengantin ya?” canda pemilik toko.

“Bukan, ini mantu saya. Cantik, kan?” jawab Ibu dengan bangga.

Sri hanya bisa tersenyum malu-malu, pipinya memerah mendengar pujian yang begitu tulus.

Di dalam, Ibu memilihkan satu per satu model kebaya ada yang merah marun, biru muda, dan kuning keemasan. Setelah menimbang cukup lama, Ibu mengambil satu kebaya berwarna hijau zamrud dengan bordiran halus di bagian dada.

“Nah, ini cocok buat kamu. Lembut, tapi tegas. Kayak kamu.”

Sri memegang kain itu, merasakan teksturnya yang lembut.

Ia tak menyangka akan dibelikan sesuatu yang begitu indah oleh perempuan yang dulu sempat menolaknya. Rasanya seperti mimpi yang hangat.

Setelah itu, mereka beralih ke rak daster. Ibu memilihkan dua motif bunga, satu berwarna ungu tua dan satunya lagi biru langit.

“Ini buat di rumah. Jangan lupa, ibu mertua juga bisa manjain mantunya, ya,” ucap Ibu sambil terkekeh.

Sri tak kuasa menahan haru. Ia memeluk Ibu dengan lembut, memeluk tanpa banyak kata.

Pelukan yang sebelumnya mungkin tak pernah ia bayangkan, kini menjadi nyata.

Hari itu, mereka pulang membawa dua daster, satu kebaya, dan lebih dari itu membawa pulang kehangatan yang baru saja tumbuh antara ibu dan menantu. Dan Sri tahu, perjalanan hidupnya mungkin tak selalu mudah, tapi hari itu adalah salah satu hari terindah: saat cinta dan penerimaan akhirnya menemukan jalannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!