Kolaborasi kisah generasi Hikmat dan Ramadhan.
Arsy, cucu dari Abimanyu Hikmat memilih dokter sebagai profesinya. Anak Kenzie itu kini tengah menjalani masa coasnya di sebuah rumah sakit milik keluarga Ramadhan.
Pertemuan tidak sengaja antara Arsy dan Irzal, anak bungsu dari Elang Ramadhan memicu pertengkaran dan menumbuhkan bibit-bibit kebencian.
"Aduh.. maaf-maaf," ujar Arsy seraya mengambilkan barang milik Irzal yang tidak sengaja ditabraknya.
"Punya mata ngga?!," bentak Irzal.
"Dasar tukang ngomel!"
"Apa kamu bilang?"
"Tukang ngomel! Budeg ya!! Itu kuping atau cantelan wajan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taktik Dimulai
Pagi hari sebelum sarapan, Irzal tengah memanaskan kendaraannya. Aqeel yang juga tengah memanaskan mobil berjalan menghampiri Irzal setelah menyalakan mesin kendaraan. Rumah mereka hanya terhalang satu rumah saja, yaitu kediaman Ega atau yang sekarang dihuni oleh Azriel.
Melihat kedatangan Aqeel, Irzal keluar dari kendaraannya. Dia segera menghampiri sepupunya itu. Mereka berdua segera menuju tersa untuk berbincang sejenak. Karena kesibukan, keduanya jadi jarang bertemu.
“Gimana keadaan Aidan?”
“Masih dirawat. Arsy bilang dia harus bed rest sekitar dua minggu. Lambungnya luka gara-gara pukulan benda tumpul.”
“Arsy?”
“Iya, dia yang periksa Aidan di IGD.”
“Hmm.. syukurlah kalau keadaannya ngga terlalu parah. Kamu sendiri gimana?”
Aqeel melihat pada Irzal. Di pipi pria itu masih menempel plester yang kemarin diberikan oleh Arsy. Irzal meraba pipinya, menyadari arah tatapan saudara sepupu yang usianya 2 tahun di atasnya. Dengan cepat dia menarik plester tersebut.
“Ngga apa-apa, cuma lecet dikit. Katanya Iza udah pulang?”
“Hem..”
“Kapan mau diresmiin?”
“Apaan sih.”
“Jangan kelamaan, bang. Mending langsung nikah aja. Kan Iza juga punya perasaan yang sama ke abang.”
“Kamu lupa bang Rakan belum nikah?”
“Ngga apa-apa kali, cowok ini. Coba aja omongin ke dia, paling minta hadiah dilangkahin hahaha…”
“Kampret!”
Sebuah toyoran mendarat di kepala Irzal. Namun begitu Aqeel memikirkan juga perkataan sepupunya ini. Dia memang harus segera berbicara dengan Rakan. Niatnya memang langsung mempersunting Iza begitu gadis itu selesai kuliah.
“Kamu sendiri sama Arsy gimana?”
“Apa hubungannya aku sama Arsy?” tanya Irzal bingung.
“Ya kamu sama dia kan udah kaya Tom and Jerry kalo ketemu. Awas jangan benci-benci, nanti malah jadi cinta.”
“Ck.. cewek bar-bar gitu. Abang tuh yang jangan kemanisan sama dia, tar kalo dia baper kan berabe.”
“Buat gue Arsy tuh ngga lebih dari adik. Lo tau sendiri gue ngga punya adik cewek.”
“Kan ada Iza.”
“Dia ngga pernah jadi adik gue, ya. Tapi calon makmum, hahaha..”
“Yang dah bucin. Buruan ketemu penghulu.”
“Tar gue jadwalin dulu. Katanya si penghulu mau nikahin lo dulu, hahaha…”
Aqeel segera berdiri dari duduknya melihat mata Irzal yang mendelik padanya. Dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sebuah mobil mewah berhenti di depan kediaman Elang. Irzal yang juga melihatnya segera bangun dan mendekati sepupunya.
Seorang supir turun kemudian membukakan pintu belakang. Dari dalamnya turun seseorang yang usianya sudah tidak muda lagi, namun masih terlihat cukup gagah dan di wajahnya masih tergambar sisa-sisa ketampanannya. Menyadari siapa yang datang, Irzal dan Aqeel segera menghampiri.
“Kakek..” panggil Irzal.
Secara bergantian kedua pria itu mencium punggung tangan Abi. Kakek dari Arsy itu hanya tersenyum melihat dua orang pria yang terlihat begitu sopan padanya. Dia menepuk pundak Irzal dan Aqeel bergantian.
“Kakek ke sini sendiri?” tanya Irzal bingung.
“Iya. Tadi kakek jalan-jalan, di tengah jalan kakek keingetan kamu. Mau ya temani kakek sarapan. Kakek udah beli bubur ayam tadi di jalan.”
Baru saja Abi selesai dengan kata-katanya, supirnya datang membawakan bungkusan berisi bubur ayam dari penjual langganannya. Irzal melihat pada Aqeel sebentar, sepupunya itu hanya mengendikkan bahunya saja. Dia bingun kenapa sepagi ini Abi datang ke rumahnya dengan alasan ingin sarapan bersama.
“Kamu mau ikut sarapan bersama?” Abi melihat pada Aqeel.
“Ngga, kek. Aku harus berangkat ke rumah sakit sekarang. Aku permisi dulu, kek. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aqeel bergegas kembali ke rumahnya. Sebentar lagi dia akan berangkat ke rumah sakit. Sementara itu Irzal mempersilahkan Abi untuk masuk. Sebelum menyusul Abi masuk, terlebih dulu pria itu mematikan mesin kendaraannya. Abi sendiri memilih duduk di teras. Irzal masuk ke dalam untuk membawakan minuman untuk Abi.
Abi menyerahkan wadah Tupaiware berisi bubur pada Irzal setelah pria itu datang membawakan segelas tes manis untuknya. Elang yang mendengar kedatangan Abi ikut keluar untuk menyambutnya.
“Om..” sapa Elang seraya mencium punggung tangan Abi.
“Aku pinjam anakmu ya, buat nemenin sarapan,” kekeh Abi.
“Silahkan, om. Mau makan di dalam?” tawar Elang.
“Ngga usah. Di sini saja, sambil menghirup udara segar.”
Elang mengangguk lalu menarik kursi ke dekat Abi. Pria itu memandangi Abi yang tengah memakan buburnya, dia memberi isyarat pada Irzal untuk segera memakan sarapannya.
“Kamu tahu, El. Penjual bubur ini sudah ada sejak om masih muda. Sekarang usahanya diteruskan oleh cucunya. Dulu dia masih keliling kompleks pakai roda. Sekarang sudah maju, sudah ada kedainya di beberapa tempat.”
“Alhamdulillah ya, om. Usahanya semakin maju. Mungkin karena rasa buburnya enak.”
“Bisa jadi. Rasanya tidak berubah sejak dulu. Cuma topingnya aja yang lebih banyak variannya.”
Irzal menyuapkan bubur ke mulutnya. Rasa bubur itu memang enak, pantas saja kalau sampai memiliki beberapa cabang. Pria itu menghabiskan buburnya sambil menyimak pembicaraan antara Elang dengan Abi. Abi menceritakan awal pertemuannya dengan Irzal, ayah dari Elang. Namun pertemanan mereka tidak berlangsung lama karena Irzal lebih dulu dipanggil sang Maha Kuasa.
“Anakmu sudah menikah semua, kecuali Irzal ya?”
“Iya, om. Masih belum punya calon katanya. Padahal di usia dia sekarang, Aslan sudah menikah.”
“Hahaha… namanya jodoh kita ngga tau kapan datangnya. Benar, Zal?”
“Iya, kek.”
“Cucu kakek juga belum ada yang menikah. Maunya Arsy yang lebih dulu menikah. Tapi.. sepertinya dia juga belum punya calon. Kakek masih harus bersabar.”
“Kan ada Zar, kek.”
“Hah.. anak itu tidak bisa diharapkan. Sepertinya dia masih suka berpetualang, seperti akinya. Sayang kamu ngga punya anak perempuan yang masih lajang, El. Kalau ada om jodohkan dengan Zar.”
“Biarkan anak-anak mencari jodohnya masing-masing, om.”
“Iya, om setuju. Tapi.. ngga taulah, om kok pengen berbesan dengan keluargamu, hahaha…”
Elang tersenyum menanggapi pernyataan Abi. Dia melirik pada Irzal, sepertinya anaknya itu tak mau ambil pusing dengan ucapan Abi. Pria itu melirik jam di pergelangan tangannya, sudah waktunya dia berangkat ke kantor.
“Om.. maaf, saya harus ke kantor sekarang. Kalau ditemani Irzal tidak apa-apa?”
“Silahkan, El. Sebentar lagi juga om pulang. Niat ke sini cuma mau sarapan bareng Irzal.”
Mendapat ijin dari Abi, Elang berdiri kemudian masuk ke dalam. Tak lama dia kembali dengan tas kerja di tangannya. Setelah berpamitan dengan Abi, pria itu segera berangkat ke kantor. Kini hanya menyisakan Irzal dan Abi saja di sana.
“Rumahmu selalu sepi seperti ini?”
“Iya, kek. Kadang kak Yumna datang sama anak-anak ke sini. Tapi ngga tiap hari juga.”
“Masih untung kakek, ya. Ada om Kenan yang tinggal sama om, jadi suasana rumah masih rame sama Abrisham, Geya dan Gilang.”
“Alhamdulillah ya, kek. Jadi ngga kesepian.”
“Iya. Makanya kamu buruan nikah terus punya anak, biar rumahmu rame.”
“In Syaa Allah, kek. Kalau udah ada jodohnya.”
“Jodoh itu dicari bukan ditunggu. Mau kakek carikan?”
“Hahaha.. terima kasih, kek. Aku bisa cari sendiri.”
Abi terkekeh mendengar jawaban Irzal. Tapi kemudian tawanya berubah menjadi rintihan. Tiba-tiba saja pria itu merasakan rasa sakit di perutnya. Irzal yang terkejut segera mendekati pria tersebut.
“Kek.. kakek ngga apa-apa?”
“Aduh.. perut kakek, Zal.. aduh sakit, Zal..”
“Masuk dulu, kek. Tiduran di kamar.”
“Tolong bawa kakek ke IGD Ibnu Sina. Perut kakek sakit banget.”
“I.. iya, kek.”
Abi terus merintih sambil memegang perutnya. Irzal segera memapah Abi menuju mobilnya. Melihat majikannya kesakitan, sang supir segera membukakan pintu mobil. Setelah memasukkan Abi, Irzal langsung masuk ke dalam.
Dengan kecepatan tinggi, sang supir menjalankan kendaraannya. Irzal mengusap perut Abi, mencoba sedikit mengurangi rasa sakitnya. Mata Abi terpejam seolah berusaha menahan rasa sakit yang begitu menderanya. Dalam waktu sepuluh menit, mereka akhirnya tiba di rumah sakit Ibnu Sina.
Sang supir segera mengambilkan kursi roda untuk Abi. Dengan hati-hati Irzal mendudukkan Abi di kursi roda lalu mendorongnya. Seorang suster yang melihat kedatangannya segera mendekat. Daffa yang baru saja kembali dari ruang tindakan, segera berinisiatif memeriksa Abi. Dia menutup tirai pembatas bilik pemeriksaan. Irzal menunggu di luar dengan perasaan was-was.
“Bagian mana yang sakit, kek?” Daffa hendak memeriksa Abi. Namun pria itu malah bangun lalu menaruh telunjuk di bibirnya.
“Ssstt.. kakek ngga apa-apa. Mana Arsy?”
“Arsy masih di ruang istirahat.”
“Kamu bisa drama bareng kakek kan?”
Abi mengedipkan sebelah matanya pada Daffa. Awalnya pria itu terkejut, namun kemudian menganggukkan kepalanya begitu tahu kalau Abi hanya berpura-pura saja. Abi menggerakkan tangannya meminta Daffa mendekat, dia membisikkan sesuatu di telinga anak dari Reyhan itu.
“Ok, kek. Sip,” Daffa mengangkat ibu jarinya.
Irzal langsung menghampiri Daffa begitu sepupunya itu keluar dari bilik pemeriksaan. Dia melihat sekilas ke arah blankar Abi. Nampak pria itu tengah tertidur.
“Kakek Abi gimana?”
“Udah kukasih obat pereda nyeri. Sebentar lagi kakek dipindahin ke ruang perawatan.”
“Sakitnya parah?”
“Belum tau juga, bang. Nanti kalau kakek udah bangun baru diperiksa lebih lanjut.”
Mata Irzal terus memandangi Abi yang masih terpejam di atas blankar. Kenapa kondisinya tiba-tiba drop, padahal tadi masih baik-baik saja. Daffa segera memerintahkan suster memindahkan Abi ke ruang perawatan VVIP.
Dari arah dalam rumah sakit, Arsy muncul. Dia baru saja selesai berganti pakaian dan bersiap untuk bertugas. Matanya langsung menangkap Irzal yang tengah berdiri di dekat bilik pemeriksaan. Melihat kedatangan Arsy, Daffa segera menghampirinya.
“Sy.. kakek kamu baru aja masuk IGD,” ujar Daffa.
“Hah? Mana, dok?”
Telunjuk Daffa mengarah pada bilik di mana ada Irzal di dekatnya. Dengan cepat gadis itu menghampiri. Matanya membelalak melihat Abi yang tengah tertidur. Dia segera menghampiri kakek tersayangnya itu.
“Kakek.. kakek..”
“Dia baru diberi obat. Sepertinya langsung tidur,” ujar Irzal.
“Kakek kenapa? Kok tiba-tiba masuk rumah sakit?” tanya Arsy pada Irzal.
“Aku juga ngga tau. Tadi kita abis sarapan bareng, tiba-tiba dia ngeluh kalau perutnya sakit.”
“Kamu kasih makan apa kakekku? Jangan-jangan kamu kasih racun ya?!”
“Eh jangan sembarangan kalau ngomong!”
Mata Irzal menatap tajam pada Arsy. Dia tidak terima dituduh telah meracuni Abi. Namun bukan Arsy kalau dia takut dengan tatapan itu. Gadis tersebut balas menatap Irzal tak kalah tajam. Diam-diam Abi membuka matanya, melihat pada dua orang yang tengah bersitegang karenanya.
Aduh punya cucu mulutnya pedes amat. Gimana Irzal mau terkesan kalau kaya gini. Arsy.. Arsy.. bisa gagal rencanaku.
“Terus kenapa kakek jadi sakit begini?”
“Mana kutahu! Tanya sama Daffa, dia yang periksa tadi!”
“Euuunghh..”
🍁🍁🍁
**Abi mau bikin drama apa nih?
Si Arsy seenak jidatnya aja ya kalo nuduh orang🤣🤣🤣
Untuk beberapa hari ke depan, jadwal up ngga teratur. Mamake masih belum pulang ke rumah, jadi masih atur waktu up nya. Harap maklum ya🤗**