Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13
Happy Reading...
.
.
.
Sudah satu minggu Raka menghindari Naira.
Bukan hanya menjaga jarak. Lelaki itu benar-benar berusaha tidak berada di ruangan yang sama terlalu lama dengannya. Setiap kali Naira masuk ke dapur, Raka keluar ke teras. Ketika Naira duduk di ruang keluarga, Raka akan berpura-pura harus menyelesaikan pekerjaan di lantai atas.
Awalnya Naira mencoba memahami. Ia tahu Raka pasti masih terkejut mendengar kabar kehamilannya. Namun lama-kelamaan, hatinya terasa semakin sesak.
Setiap hari ia memegang perutnya yang perlahan mulai membesar, berharap Raka sekadar bertanya, “Kau baik-baik saja? Atau apa ada yang kamu inginkan?" Tapi pertanyaan itu tidak pernah datang.
Malam itu, saat rumah sudah sunyi dan hanya suara detik jam yang terdengar, Naira tidak bisa lagi menahan semuanya. Raka baru saja keluar dari kamar kerja ketika Naira berdiri di ambang pintu ruang tengah, menatapnya dengan wajah yang dipenuhi rasa kecewa.
“Raka… bisakah kita bicara sebentar?”
Raka berhenti, namun ia tidak mendekat. “Aku lelah, Naira. Kita bicarakan lain kali.” Tolak Raka.
“Kapan? Besok? Lusa? Atau minggu depan lagi?” Nada Naira mulai bergetar. “Sudah satu minggu kamu menghindariku.” Keluhnya.
Raka menghela napas panjang, jelas tidak ingin memulai perdebatan. “Aku hanya butuh waktu.”
“Kamu butuh waktu, lalu aku?" Naira mulai menunjukkan emosinya. "Aku yang hamil, Raka. Aku yang menghadapi semuanya sendirian.” Mata Naira memerah. “Setidaknya… lihat aku. Aku butuh kamu.”
Raka memejamkan mata. “Nayla…”
“Kenapa kamu seperti ini?” suara Naira pecah. “Apa kamu tidak suka aku hamil? Apakah memang karena anak ini? Apakah itu yang membuatmu menjauh?” Cerca Naira.
Tatapan Raka menajam, namun tidak ada jawaban yang keluar. Bagi Naira keheningan itu lebih menyakitkan dibandingkan amarah yang meluap.
Naira mendekat selangkah. “Aku tidak mau suami yang sempurna. Aku tidak ingin menuntutmu untuk itu. Tapi jangan memperlakukanku seolah aku melakukan sebuah kesalahan besar hanya karena aku hamil.”
“Aku tidak pernah berkata seperti itu.” jawab Raka pelan.
“Tapi sikapmu mengatakan semuanya!” Naira membentak, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu, aku bahkan tidak tahu siapa diriku sebelum semua ini. Jadi kamu tidak berhak membuatku merasa kotor hanya karena aku sedang mengandung!”
Raka tersentak. Rahangnya mengeras, namun sebelum ia sempat membalas, suara tangis Jingga terdengar dari kamar.
Naira mengusap air matanya cepat-cepat, lalu berjalan melewati Raka tanpa menatapnya lagi. Ia mengangkat Jingga dari ranjang kecilnya dan memeluk tubuh mungil itu erat-erat.
“Ayo sayang… kita tidur di kamar mama.” Bisiknya, suaranya masih bergetar.
Raka hanya berdiri di depan pintu, menatap punggung Naira yang perlahan menghilang di balik kamar. Ada sesuatu yang menusuk dadanya ketika ia melihat bagaimana Jingga merapat di pelukan perempuan itu. Namun ia tetap tidak berkata apa pun.
.
.
.
Keesokan paginya, suasana rumah masih terasa dingin.
Naira bangun dengan mata bengkak, sementara Raka sudah pergi sebelum matahari naik. Tidak ada pesan, tidak ada catatan. Tidak ada apa pun.
Namun untuk kali ini, alasan kepergian Raka bukan untuk bekerja.
Ia pergi ke rumah sakit.
Langkahnya cepat, hampir tergesa-gesa. Seolah ada sesuatu yang ingin ia selesaikan secepat mungkin. Wajahnya dingin, namun ada kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan. Setelah berbicara singkat dengan resepsionis, ia diarahkan menuju ruangan dokter yang sebelumnya menangani Naira.
Dokter itu, pria paruh baya bernama dr. Rendra, langsung berdiri menyambut Raka ketika pria itu membuka pintu.
“Pak Raka? Apa terjadi sesuatu dengan Nayla?”
Raka menarik kursi dan duduk tanpa diminta. “Aku perlu bicara dengan Anda, Dok. Ini penting.” Nada suaranya tegas.
Dokter mengernyitkan dahi, duduk kembali dengan hati-hati. “Silakan. Apa yang bisa saya bantu?”
Raka terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membuka mulut.
“Dok… aku ingin menggugurkan kandungan Nayla.”
Ruangan itu langsung hening. Sangat hening. Dokter bahkan butuh beberapa detik untuk memastikan ia tidak salah dengar.
“Pak Raka… apa Anda sadar apa yang baru saja Anda katakan?” Suara dokter menegang. “Itu anak Anda.”
Raka memejamkan mata sejenak. “Aku tahu.”
“Lalu kenapa? Apa terjadi sesuatu?”
“Aku butuh obatnya, Dok,” potong Raka cepat. “Tolong beri aku resepnya.”
Dokter menatapnya tajam, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Pak Raka, saya tidak bisa melakukan itu. Tanpa alasan medis yang jelas, menggugurkan kandungan adalah tindakan ilegal. Belum lagi moral dan keselamatan pasien. Dan itu istri anda sendiri..”
“Aku tidak sedang bermain- main,” Raka menggeser map yang dibawanya, meletakkannya di atas meja dokter. “Tolong lihat dulu.”
Dengan gelisah, dokter membuka map itu. Di dalamnya, hasil pemeriksaan terbaru Naira. Ada catatan tentang trauma pada otak, ada risiko emosi yang tidak stabil, ada kemungkinan perubahan perilaku.
Raka sedikit mencondongkan tubuhnya. “Naira sedang tidak baik-baik saja. Dia mengalami amnesia, dia masih sering bingung dok. Emosinya naik turun. Kalau nanti dia stres atau marah, aku takut dia bisa membahayakan dirinya sendiri… bahkan bayi kami.”
Dokter menghela napas panjang. “Tapi itu bukan alasan untuk menggugurkan kandungan, Pak. Justru karena kondisi seperti itu, dia butuh dukungan dari suaminya..”
“Aku tidak siap, Dok. Aku belum siap melihatnya harus menahan kesakitan lagi.” potong Raka lagi. “Aku tidak siap melihat dia hancur lagi. Aku tidak siap melihatnya sakit.."
Dokter melihat sesuatu di mata Raka, ketakutan.
Namun meski begitu, keputusan itu tetap tidak dapat diterima.
“Pak Raka,” dokter berkata pelan, “Saya mengerti Anda sedang emosional. Tapi menggugurkan kandungan? Itu bukan solusi.”
Raka menatap lurus. “Ini bukan hanya soal emosi, Dok. Aku memikirkan ini seminggu penuh. Istriku belum siap. Kepalanya belum siap. Dan aku…” ia menarik napas berat, “…aku khawatir dia akan kehilangan kendali.”
Dokter masih ragu. “Saya tidak bisa memberikan obat itu tanpa indikasi yang jelas.”
Raka mencondongkan tubuh, suaranya melemah.
“Tolong. Ini untuk kebaikannya.”
Kebaikan. Atau pembenaran ego dan ketakutan yang tidak bisa Raka akui?
Dokter menunduk, membuka kembali hasil pemeriksaan, pikirannya berkecamuk. Dalam kondisi seperti Naira trauma kepala, amnesia, emosi yang tidak stabil. Risiko itu memang ada. Bahkan sangat besar.
Ia menarik napas panjang, sangat panjang, sebelum akhirnya berbicara.
“Baik…” suaranya nyaris seperti bisikan.
“Aku tidak setuju dengan keputusan Anda. Tapi jika alasannya medis… aku bisa membuat resep obat yang kemungkinan dapat menghentikan kehamilan. Namun aku tidak menjamin apa pun. Dan aku mohon… pikirkan ulang sebelum memberikannya pada istri anda.”
Raka mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok.”
Dokter meresepkan obat itu dengan tangan yang bergetar. Bukan karena takut… tapi karena ia tahu keputusan ini tidak benar.
Saat Raka menerima resep itu dan menyimpannya di saku, ada sesuatu di dalam dirinya. Bukan kelegaan. Tapi sebuah keraguan.
Raka berdiri dan meninggalkan ruangan itu, membawa obat yang bisa mengubah segalanya. Bahkan mungkin keputusan itu bisa menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak..