 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Aisy mulai menatap jalanan dengan senyum yang lapang, tangannya kirinya sengaja ia keluarkan dari jendela mobil seperti tanda kalau hatinya sudah benar-benar menerima takdirnya ini. Dan seketika ia ingat dengan ucapan psikiaternya yang menemaninya dalam luka.
“Aisy, luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi ia akan berhenti menyakitimu saat kau berhenti memeluknya. Lepaskan ... jangan menunggu lupa untuk merasa tenang, tapi temukan tenang itu di dalam penerimaanmu sendiri. Sebab kadang, cara Tuhan menyembuhkan adalah dengan membuatmu rela, bukan dengan membuatmu lupa.”
Kata-kata itu sampai sekarang masih terngiang dibenaknya, dan sekarang wanita cantik itu sudah benar-benar tenang menikmati udara di siang hari dengan merentangkan tangannya di jendela mobil taksi itu.
"Ya Allah terima kasih, rasanya benar-benar plong," ucap Aisy.
Sementara itu supir taksi yang di dalamnya hanya diam sambil mengawasi gerakan Aisy dari spion dalam. "Ah, sepertinya Ibu itu sudah melepas sesuatu yang tersulit di dalam hatinya.
Tanpa di sadari mobil sudah berhenti tepat di kontrakan yang ingin Aisy tuju, tidak terlalu besar, hanya kontrakan kecil yang berjajar, namun terlihat begitu bersih dan nyaman.
"Bu, ini kontrakannya, ayo aku antar kepada pemiliknya kebetulan aku kenal," ujar sopir taksi itu.
Aisy hanya mengangguk lalu membuka pintu mobilnya. "Terima kasih Pak," ucapnya.
☘️☘️☘️☘️
Singkat cerita Aisy sudah mendatangi pihak kontrakan dan Alhamdulillah kontrakannya ada dan sekarang wanita cantik itu memulai hidup baru di kontrakan kecil yang kebetulan dekat dengan sebuah klinik.
Mendengar kata klinik, jiwa kedokterannya mulai meronta-ronta, seakan ia mendapatkan panggilan dari alam, kalau dirinya harus mencoba lagi sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan itu.
"Apa aku harus memulainya kembali," ucap Aisy sedikit menemukan secercah harapan baru.
Aisy mulai menyimpan dulu keinginannya, itu, kakinya mulai melangkah menggeret koper itu masuk ke dalam kamarnya, bangunannya masih bagus tinggal dibersihkan saja.
Ketika Aisy memasuki kamarnya ia seperti menemukan warna baru dalam hidupnya, meskipun nampak sederhana bahkan kontras dengan kehidupannya bersama Reyhan namun kamar ini akan menjadi awal baru di dalam kehidupannya sekarang.
"Tempat yang kecil akan tetapi penuh dengan harapan di lembaran baruku."
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu di dalam rumah sakit besar di pusat kota, seorang wanita telah berhasil melahirkan seorang putra yang digadang-gadang akan menjadi putra mahkota sebagai penerus yang diimpikan oleh keluarganya.
Reyhan menyentuh bati merah itu dengan penuh ketulusan, suaranya menggema melantunkan adzan di telinga kanannya, lalu disambung dengan Iqamah di telinga kirinya, tanpa sadar air mata membasahi pipinya, Reyhan menatap dalam wajah bayi yang hadir diantara pengorbanannya dengan seorang wanita yang teramat ia cintai.
"Anakku selamat datang di dunia ini, dan setelah ini Papa akan mengenalkanmu kepada Mama Aisy, semoga dia bisa menerima mu," ujarnya dengan lembut.
Reyhan masih duduk di kursi samping tempat tidur Arsinta, menatap wajah pucat istrinya yang baru saja melewati perjuangan besar. Bayi mungil itu tertidur pulas di pelukan bidan, sementara tangisnya sudah berhenti beberapa menit lalu, meninggalkan keheningan yang hangat di ruangan bersalin.
“Terima kasih, Sinta… kamu sudah berjuang,” ucap Reyhan sambil menggenggam tangan perempuan itu.
Arsinta hanya tersenyum lemah, “Aku… hanya ingin melihat kamu bahagia, Mas,” ucapnya pelan sebelum akhirnya matanya terpejam karena lelah.
Reyhan menatap keduanya dengan mata sendu perempuan yang ia pilih, dan anak yang telah lama ia tunggu. Namun di sela kebahagiaan itu, tiba-tiba saja bayangan Aisy melintas di benaknya.Tatapan teduh itu, senyum sabarnya, dan kalimat terakhir sebelum mereka saling diam.
"Mungkin saat ini dia lebih membutuhkan kamu daripada aku."
Kata-kata itu kini menggema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
Ia menatap bayi di pelukannya sekali lagi, dan membisikkan lirih. “Setelah ini… Papa akan pulang. Mama Aisy pasti bahagia mendengarnya.”
☘️☘️☘️☘️
Sore mulai turun ketika Reyhan akhirnya sampai di rumah.Ia melangkah cepat menuju ruang tamu, masih membawa kantong berisi baju bayi dan bingkisan untuk Aisy.
Namun langkahnya terhenti ketika menyadari sesuatu yang aneh. Rumah itu terlalu tenang.
Tidak ada aroma masakan. Tidak ada suara langkah Aisy. Tidak ada kehangatan yang biasanya menyambut.
“Bi Jumi?” panggil Reyhan dari depan pintu.
Tak ada jawaban.
Ia melangkah lebih dalam menuju kamar mereka. Begitu pintu dibuka, pandangannya langsung tertumbuk pada sesuatu di atas ranjang. Sepucuk surat. Di sampingnya, berderet rapi kotak-kotak kecil berisi barang-barang yang dulu pernah ia berikan: jam tangan, bros bunga emas, dan kalung sederhana yang dulu ia pasangkan di leher Aisy di ulang tahun pernikahan mereka.
Tangannya gemetar saat membuka amplop itu.Tulisan tangan Aisy yang halus menyambutnya.
“Mas Reyhan... terima kasih sudah pernah menjadikanku rumah dalam perjalananmu. Tapi setiap rumah punya waktunya untuk ditinggalkan, terutama saat salah satu penghuninya tak lagi punya tempat di hati. Aku tidak marah, Mas. Aku hanya ingin sembuh dengan caraku sendiri. Jangan mencariku, karena kali ini aku ingin menemukan jalanku sendiri tanpa bayanganmu.”
Tinta pada surat itu tampak sedikit luntur, seolah sempat terpercik air mata yang tak sempat dihapus.
Reyhan terpaku, dadanya seolah ditusuk perlahan. Surat itu jatuh dari tangannya, sementara tubuhnya terduduk di lantai.
Bi Jumi muncul dari arah dapur, matanya sembab.
“Maaf, Pak… Ibu Aisy udah pergi pagi tadi. Katanya, dia udah siap memulai hidup baru.”
Reyhan menatap kosong ke arah kamar. “Pergi…?” gumamnya lirih.
“Kenapa kamu nggak cegah dia, Bi?” suaranya pecah.
Bi Jumi menunduk, “Ibu Aisy bilang, ini bukan tentang siapa yang tinggal, tapi siapa yang rela. Dan beliau… sudah rela, Pak.”
Reyhan menatap lantai, suaranya serak. “Aku belum tanda tangan apa pun. Aku belum mau cerai… dia nggak boleh pergi begitu aja.”
Ia berdiri tergesa, seakan ingin mencarinya, tapi langkahnya berhenti di depan pintu. Pandangannya kabur oleh air mata. Rumah itu kini terasa kosong benar-benar kosong, tanpa aroma, tanpa senyum, tanpa Aisy.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, jauh di tempat lain, di kontrakan kecil yang kini menjadi awal baru baginya, Aisy sedang mengatur beberapa pakaian di lemari sederhana. Hatinya tenang. Di meja kecil, tergeletak stetoskop lama yang sudah ia bersihkan pagi tadi simbol dari masa lalunya yang siap ia jemput kembali.
Dan entah di mana takdir sedang menulis baris berikutnya, langkah Aisy dan Reyhan perlahan bergerak menjauh satu sama lain,
menuju arah yang kelak akan mempertemukan mereka kembali bukan sebagai suami istri, tapi sebagai dua jiwa yang sama-sama belajar tentang arti kehilangan dan penyembuhan.
Bersambung....
Maaf ya agak siangan 🙏🙏🙏🥰🥰🥰
 
                     
                     
                    