Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 / THTM
Saat ini kakinya sudah mulai lebih membaik.
Namun setiap kali mengingat perban itu, jantung Nayara seolah diingatkan lagi — bukan pada rasa sakitnya, tapi pada tatapan mata pria itu
Dingin, tapi hangat. Kejam, tapi lembut.
Aneh, bahkan untuknya sendiri.
Sore itu, Nayara kembali datang ke rumah besar keluarga Elara.
Ia membawa buku-buku dan catatan pelajaran seperti biasa.
“Nay! Akhirnya kamu bisa datang kesini lagi!”
Elara langsung memeluk sahabatnya begitu Nayara datang.
Nayara tertawa kecil.
“ Nay, gimana kaki mu? masih sakit? ”
“Iya, tapi udah lumayan nggak sakit.”
“Untung nggak parah. Aku sempat takut kamu bakal pakai tongkat segala,” canda Elara sambil menarik tangan Nayara menuju ruang tengah.
Keduanya duduk di sofa ruang tamu, membahas soal ujian sekolah yang sebentar lagi tiba.
Namun, setiap kali langkah kaki berat terdengar dari arah tangga, jantung Nayara berdebar tanpa alasan jelas.
Ia tidak ingin menoleh, tapi tubuhnya seperti punya naluri sendiri — menegangkan bahu, menahan napas.
“ Sore.”
Suara itu datang dari arah belakang.
Dalam sekejap, ruang tamu yang tadinya penuh tawa mendadak terasa sempit.
Alaric turun dari tangga sambil menyesuaikan lengan kemejanya.
Biasa saja, tenang, seolah tidak ada sejarah di antara mereka.
Tapi tatapannya — hanya sekilas, satu detik — sudah cukup membuat tangan Nayara gemetar di bawah meja.
“ Sore juga, Kak!” sapa Elara ceria.
“Hm. Kalian belajar?”
“Iya, Nayara bantu aku lagi.”
“Bagus. Nayara memang rajin.”
Nada suaranya datar, tapi entah kenapa terdengar seperti sesuatu yang lebih dari sekadar pujian.
Elara tersenyum bangga, tak sadar kalau di balik nada itu ada makna lain yang hanya Nayara pahami.
Alaric menatap Nayara sekilas sebelum meneguk kopi yang sudah ada sejak tadi.
Nayara hanya menatap meja, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Kenapa Nay, kok diem?” tanya Elara polos.
“Gak, cuma lagi inget PR aja,” jawab Nayara cepat.
Elara mengangkat bahu, tak curiga sedikit pun. Tapi matanya sempat menangkap sesuatu — entah apa — dari cara kakaknya menatap sahabatnya itu.
Ada sesuatu yang tidak seperti biasanya.
Tatapan yang bukan hanya kakak sahabatnya kepada teman adiknya.
Namun ia menepis pikiran itu cepat-cepat.
Elara percaya kakaknya bukan tipe yang aneh.
Dan Nayara... yah, Nayara terlalu polos untuk hal-hal semacam itu.
Tapi entah kenapa, saat Alaric pergi meninggalkan ruangan, Elara masih sempat melihat satu hal kecil:
Nayara menunduk — bukan sekadar sopan, tapi seperti seseorang yang takut tatapan tertentu.
——————
Keesokan harinya di sekolah, semua terasa berjalan seperti biasa.
Suara langkah sepatu di lorong, tawa teman-teman yang bersahutan, bahkan aroma kantin yang biasa pun terasa sama.
Namun bagi Nayara, semuanya terasa jauh.
Kepalanya penuh, hatinya sesak.
Ia menatap papan tulis tanpa benar-benar membaca tulisan di sana.
Pikiran gadis itu justru melayang pada kalimat yang terus terulang di kepalanya sejak bertemu dengan kakak sahabatnya itu.
Nadanya tenang waktu. Tapi bagi Nayara, kalimat sederhana itu justru terasa seperti jerat.
Dan yang lebih menakutkan — bagian dirinya yang kecil, tersembunyi, justru merespons panggilan itu dengan degup yang tidak seharusnya ada.
“Nay, kamu kenapa sih? Dari tadi bengong aja.”
Suara teman sebangkunya memecah lamunan.
“Enggak, cuma capek aja,” jawab Nayara cepat, tersenyum paksa.
Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, berharap waktu bergerak lebih lambat hari ini.
Namun jam terasa berjalan terlalu cepat — tanpa ia sadari, matahari mulai miring, menandakan sore akan tiba.
Setelah jam pelajaran terakhir, Nayara berjalan pelan ke halte.
Buku-buku di pelukannya terasa lebih berat dari biasanya, seperti menekan dadanya.
Ponselnya bergetar.
Satu pesan muncul di layar.
Alaric:
Sudah pulang sekolah?
Nayara menelan ludah.
Jari-jarinya gemetar di atas layar.
Ia menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas.
Nayara:
Iya, udah.
Tak sampai satu menit, balasan datang.
Alaric:
Datanglah ke kantor.
Jangan buat aku menunggu.
Gadis itu menutup ponsel cepat-cepat, menggenggamnya erat seolah benda itu bisa meledak kapan saja.
Ia menunduk, menatap jalan, lalu menghela napas panjang.
“Aku nggak mau,” bisiknya lirih pada dirinya sendiri.
Tapi langkahnya justru berhenti di depan bus yang sama yang selalu lewat ke arah gedung tempat Alaric bekerja.
Bus itu berhenti. Pintu terbuka.
Sopir menatapnya menunggu.
Dan tanpa berpikir panjang, Nayara naik.
Perjalanan terasa sunyi.
Setiap bayangan di jendela membuatnya tegang.
Ia tahu ini salah — tapi lebih dari itu, ia tahu dirinya tidak bisa begitu saja berpura-pura semuanya tidak pernah terjadi.
Karena yang menakutkan bukan hanya Alaric…
tapi dirinya sendiri yang tidak tahu apakah ingin menjauh — atau justru ingin melihat pria itu lagi.
——————
Gedung tempat Alaric bekerja menjulang tinggi, dinding kaca memantulkan langit senja yang berwarna jingga kemerahan.
Nayara berdiri di depan pintu kaca, menatap pantulannya sendiri.
Seragam sekolahnya terlihat begitu kontras dengan lingkungan orang dewasa di sekitarnya — pria berjas, wanita bersepatu hak tinggi, semua tampak sibuk dan terarah.
Sedangkan dirinya, berdiri kaku.
Ragu.
“Aku cuma mau bilang langsung… aku nggak bisa terus begini.”
“Aku cuma mau ngomong itu.”
Kalimat itu ia ulang-ulang dalam hati seperti mantra.
Ia menekan tombol lift, Lift bergerak naik perlahan, suara lembut mesin membuatnya semakin gugup.
Begitu pintu terbuka, suasana di luar terasa sangat sunyi — terlalu sunyi untuk jam kerja.
Ia melangkah perlahan.
Pintu kaca terakhir di ujung koridor terbuka sedikit, dan dari sana terdengar suara langkah sepatu yang pelan tapi pasti.
Dan benar saja, sosok itu muncul dari balik meja, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya digulung, tampak santai, tapi matanya — tetap tajam seperti biasa.
“Kamu datang juga.”
Nada suaranya datar, tapi entah kenapa membuat dada Nayara seolah diremas.
Ia menunduk cepat, menatap lantai.
“Aku cuma… mau bilang, aku nggak bisa terus kayak gini,” ucap Nayara terbata, suaranya hampir tak terdengar.
Alaric menatapnya lama, sebelum akhirnya berjalan mendekat perlahan.
Bukan dengan langkah tergesa, tapi dengan tenang — seperti seseorang yang tahu betul dirinya memegang kendali penuh atas situasi.
“Kayak gini?” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
“Maksudmu… apa yang terjadi di antara kita?”
Nayara mengangguk cepat, tanpa berani menatap.
Ia bisa mendengar langkah sepatu itu semakin dekat hingga suara napas pria itu terasa di pundaknya.
“Jadi kamu datang ke tempatku, hanya untuk bilang itu sekarang?”
Ada jeda panjang.
“Kamu yakin?”
Nayara menegakkan kepala, mencoba menguatkan diri.
“Aku cuma… aku nggak mau diseret terus ke dalam ini.”
Senyum miring muncul di wajah Alaric.
“Tapi kamu tetap datang.”
“Padahal aku nggak memaksa.”
Nayara terdiam.
Ia ingin membantah, tapi pikirannya kosong.
“Takut aku cerita ke adikku? Ke keluargaku?”
“Atau…” ia berhenti sejenak, menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Nayara, “…takut kamu nggak bisa lihat aku lagi?”
Nayara menahan napas.
Pria itu tahu betul bagaimana caranya menyentuh titik lemah tanpa menyentuh tubuh sama sekali.
“Aku—nggak tahu,” jawabnya akhirnya, suaranya serak.
“Aku cuma pengen semuanya berhenti.”
Alaric mengangguk pelan, lalu berbalik seolah membiarkannya pergi.
“Kalau begitu, silakan pergi.”
Nada suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau.
“Tapi setelah kamu keluar dari ruangan ini, jangan pernah datang lagi ke rumahku, jangan bicara dengan adikku, jangan biarkan keluargaku melihatmu.”
“Kau mau memutus semuanya, ‘kan? Maka kau harus siap kehilangan semuanya juga.”
Kata-kata itu seperti cambuk.
Bukan ancaman kasar, tapi lebih menyakitkan karena terlalu nyata.
Nayara membeku di tempat — lidahnya kelu, dadanya sesak.
“Sekarang pilih, Nayara,” ucap Alaric pelan, “keluar dari hidupku sepenuhnya… atau tetap di sini, dengan segala risikonya.”
Dan untuk pertama kalinya, Nayara sadar — ia tidak sedang diancam dengan kekerasan.
Ia sedang diberi pilihan, tapi pilihan yang keduanya sama-sama menghancurkan.