Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Izin menjadi relawan
Di suatu sore, di ruang rapat rumah sakit, Direktur menghentikan presentasinya dan menatap semua dokter serta perawat yang hadir. “Seperti yang kalian tahu, Desa Cemerlang baru saja diterjang longsor. Banyak korban yang membutuhkan pertolongan medis. Kami memerlukan tim relawan untuk segera diterjunkan,” ucapnya serius.
Velora menatap rekan-rekannya, perasaan campur aduk. Bersama Rayhan dan beberapa dokter lain, ia dipanggil untuk menjadi bagian dari tim relawan. Rayhan duduk di sampingnya, mencoba tersenyum penuh pengertian. Meski hatinya masih sakit melihat Velora bersanding dengan pria lain, ia berusaha mati-matian mengikhlaskannya.
“Kami akan membagi tim sesuai spesialisasi. Dokter Velora, kamu akan memimpin tim medis lapangan, bersama dokter Rayhan,” tambah Direktur.
Velora menelan ludah, menatap dokumen yang diberikan. Ia tahu ini adalah tanggung jawab besar, tapi hatinya masih berat membayangkan meninggalkan kota. Ia memutuskan untuk segera meminta izin dari Arvenzo terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah setelah hari kerja yang panjang, Velora meletakkan tasnya di ruang tamu. Ia menarik napas panjang, menyadari bahwa momen ini penting. Arvenzo sedang duduk di ruang keluarga, tampak sibuk menata beberapa dokumen.
Velora melangkah mendekat, langkahnya mantap meski ada kegugupan. “Ar... Aku mau minta izin,” ucapnya langsung, menatap mata suaminya. Nada suaranya jelas, tegas, tapi ada kekhawatiran yang terselip.
Arvenzo menoleh, ekspresinya tetap dingin seperti biasa, tapi sorot matanya menandakan perhatian yang tak tersampaikan. “Izin untuk apa?” tanyanya singkat, nada berat tapi tenang.
“Aku dipanggil menjadi relawan ke Desa Cemerlang. Ada longsor besar di sana, dan banyak korban membutuhkan pertolongan medis. Aku akan ikut tim dokter dan perawat lainnya,” Velora menjelaskan, sengaja menyebut tugasnya tanpa terlalu menekankan sisi personal.
Arvenzo diam sejenak, menimbang kata-kata istrinya. Walaupun terkesan dingin, hatinya sebenarnya peduli pada Velora. "Berapa hari?"
"Sekitar satu mingguan. Boleh kan?"
“Kalau itu memang tugasmu, aku izinkan. Tapi jangan sampai membuat aku khawatir. Selalu kabari aku setiap saat,” ucap Arvenzo tegas, menahan nada lembut yang ingin ia tunjukkan.
Velora tersenyum tipis, lega sekaligus sedikit tersentuh. “Terima kasih, Ar. Aku janji akan berhati-hati dan memberi kabar,” katanya mantap.
Arvenzo menegaskan lagi, nada kaku tapi penuh perhatian, “Ingat, jangan ambil risiko yang tidak perlu, keselamatanmu tetap nomor satu!”
Velora menunduk sejenak, merasakan kepedulian Arvenzo yang terselubung di balik ketegasannya. Ia tahu, meski mereka belum saling mencintai sepenuhnya, Arvenzo sudah mulai peduli padanya dan itu semakin memberinya keberanian untuk menerima tanggung jawab sebagai relawan.
Setelah memastikan kata-katanya didengar dan dipahami, Velora mengangguk, menarik napas panjang, dan bersiap menghadapi tantangan baru yang menunggu di Desa Cemerlang.
...****************...
Pagi itu, Velora tiba di desa yang terkena longsor. Tanah basah dan bau hujan menyelimuti udara, sementara rumah-rumah warga sebagian rusak parah. Segera ia bergabung dengan tim relawan medis yang dikirim oleh rumah sakit, siap memberikan pertolongan.
Di antara rekan-rekan sejawatnya, ada seorang perawat wanita bernama Zia yang cekatan dan penuh semangat. Velora bekerja sama dengan Zia untuk mengevakuasi korban dan memberikan perawatan awal. Rayhan berada tidak jauh dari mereka, sibuk memeriksa pasien yang mengalami luka serius.
Velora bergerak dengan sigap, mengawasi setiap tindakan timnya. Ia membagi tugas dengan tegas dan tepat, menenangkan beberapa pasien yang panik, memeriksa luka, serta memberi arahan kepada perawat lain.
Zia di sampingnya dengan cekatan menyerahkan peralatan medis, sementara Velora menuntun pasien yang membutuhkan perhatian khusus. “Bantu saya di sini, pastikan dia tetap tenang,” kata Velora, tangannya sigap menahan anak yang menangis.
Seiring hari berjalan, tim relawan bekerja tanpa henti. Velora merasa lelah, tapi hatinya puas. Ia menyadari, berada di sini bukan hanya tentang memberikan pertolongan, tapi juga tentang membuktikan bahwa dirinya mampu menghadapi tanggung jawab besar tanpa harus bergantung pada siapa pun.
Saat matahari condong ke barat, tim akhirnya menyelesaikan pemeriksaan terakhir hari itu. Velora membersihkan tangannya, menatap desa yang mulai sedikit tertata berkat kerja keras tim. Ia tersenyum lelah, bangga atas kerja tim, dan menyadari bahwa pengalaman hari ini menjadi pelajaran besar tentang keberanian, kesabaran, dan tanggung jawab.
Rayhan menatap dari jauh, memberi senyum yang tulus namun tertahan. Velora membalas dengan senyum sopan, tetap menjaga jarak. Mereka berdua sadar, hubungan sekarang harus tetap profesional, fokus pada misi kemanusiaan ini.
...****************...
Di sisi lain, Arvenzo duduk di mobil hitam yang terparkir di halaman rumah keluarga Wardhana. Tangan kanannya terus menekan layar ponsel, mencoba menelpon Velora. Setiap kali panggilan gagal, entah mengapa dadanya terasa sesak. Ia tahu istrinya sedang berada di lokasi bencana yang jauh dari perkotaan, tapi kekhawatirannya semakin memuncak.
“Kenapa kamu tidak bisa dihubungi? Aku harap kamu baik-baik saja disana,” gumamnya pelan, suara serak oleh kekhawatiran. Mata yang biasanya dingin kini menyiratkan rasa cemas. Ia menekan lagi tombol panggilan, berharap kali ini ada jawaban. Tapi layar ponsel tetap menunjukkan “Panggilan gagal.”
Di lokasi bencana, Velora berlari menuju tenda sementara para relawan berkumpul. Tangannya gemetar, memegang ponsel yang sama, mencoba mencari sinyal. Tapi di tempat terpencil itu, jaringan telepon seluler tidak tersedia.
“Ya ampun... nggak ada sinyal. Gimana ini, pasti Arven bakalan marah kalau aku nggak kasih kabar,” bisiknya, napas tersengal. Panik mulai merayapi dirinya. Ia ingin segera memberitahu Arvenzo bahwa ia baik-baik saja, tapi malah terjebak oleh keterbatasan teknologi. Hatinya terasa berat, takut jika suaminya khawatir atau marah karena tidak dihubungi lebih awal.
Velora duduk di tenda, menatap layar kosong ponselnya, mencoba menenangkan diri. “Arven... Maafin aku,” ucapnya dalam hati. Ia tahu Arvenzo peduli, dan rasa cemasnya kini berubah menjadi rasa bersalah karena tidak bisa mengabari sang suami.
Velora mencoba berdiri dan mencari titik yang mungkin memiliki sinyal, tapi kegagalan demi kegagalan membuatnya frustrasi. Setiap detik yang lewat terasa seperti jam, dan rasa panik semakin memuncak. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sambil terus berharap sinyal ponsel muncul dan ia bisa menghubungi Arvenzo.
...****************...
Pagi harinya, matahari mulai menembus kabut tipis di desa bencana. Udara yang sejuk membawa sedikit harapan bagi para relawan. Velora sedang membereskan perlengkapan medis ketika ia tiba-tiba melihat ikon sinyal muncul di layar ponselnya.
Jantungnya berdetak kencang. “Akhirnya ada sinyal juga,” bisiknya, lega. Tanpa menunggu lama, ia segera menekan tombol panggilan dan menunggu nada sambung terdengar.
“Ar, aku...” suaranya terbata-bata, campuran antara lega dan gugup.
Di sisi lain, Arvenzo mendengar nada panggilan masuk dari Velora dan langsung menjawab, suaranya tegas tapi sedikit bergetar karena kekhawatiran yang masih tersisa. “Velora... kamu baik-baik saja?”
Velora mengangguk meski Arvenzo tidak bisa melihatnya. “Aku baik-baik saja. Maaf kemarin tidak bisa menghubungimu. Sinyal di sini sangat buruk. Jadi aku baru bisa menghubungi pagi ini.”
“Jangan khawatir soal itu,” jawab Arvenzo, nada suaranya tetap dingin di luar tapi hatinya melegakan. “Yang penting kamu selamat. Aku cuma ingin memastikan kamu tidak kenapa-kenapa.”
Velora menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Iya aku mengerti. Maafkan aku.”
Arvenzo menatap ponselnya, matanya menajam tapi suara tetap menenangkan. “Hmm... Tetap fokus di sana, tapi jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, aku disini khawatir, kamu istriku, Velora.”
Velora tersenyum tipis mendengar kata “istriku,” hatinya sedikit hangat. “Aku mengerti. Aku janji akan berhati-hati.”
Percakapan itu memberi keduanya ketenangan Arvenzo lega karena Velora selamat, Velora pun merasa didengar dan dihargai oleh suaminya.
Meskipun jarak memisahkan mereka, rasa saling peduli dan tanggung jawab itu membuat keduanya semakin dekat, walau belum ada cinta yang tumbuh sepenuhnya.
Velora menutup panggilan dengan hati lega, menatap para relawan lain yang sedang menyiapkan perlengkapan dan segera ikut membantu.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭