Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma Medusa yang Menghantui
“Ma … apa Mama tahu alasan apa yang membuat Mala tak mau seperti Mama?”
Bulu kuduk Mala meremang mengatakan itu. Ibunya menggeleng pelan.
“I-itu karena aku pikir, pernikahanku akan selamat dari perselingkuhan bila aku selalu ada untuk menyambutnya pulang bekerja. Mama diselingkuhi karena sering bekerja di luar rumah, makanya aku berpikir untuk berada di rumah saja. Sayangnya, seorang pria pengkhianat akan selalu mencari jalan untuk membenarkan tindakannya. Jika Tuhan memberinya wanita mandiri yang membangun karier dan berpower, maka ia akan mencari wanita lembut yang akan selalu tersenyum menerima kedatangannya. Sebaliknya jika Tuhan memberikan wanita yang setia merawatnya di rumah, maka ia akan mencari wanita agresif di luar rumah. Wanita liar yang bisa membangkitkan adrenalin dan membawanya larut dalam petualangan liarnya.”
Mama Mala mengangguk-angguk setuju.
“Dan … ada lagi Ma.” ucap Mala terpotong, memperhatikan dulu wajah ibunya, “aku adalah korban trauma medusa.”
Mala menarik napas panjang. Mama Mala tidak bereaksi. Hanya terpaku menatap lantai.
“Apa Mama tahu artinya itu?”
Mama Mala memejamkan mata. Kedua telapak tangannya menyembunyikan wajahnya. Ada anggukan kecil yang membuat sel-sel darah Mala seolah tertarik ke pucuk kepala.
“Ja-jadi Mama tahu?” tanya Mala bernada sedih.
“Dulu, ketika kamu berbicara dengan Bram … aku tak sengaja mencuri dengar.”
“A-apa? Padahal aku butuh waktu lama untuk sekadar dapat menceritakan peristiwa ini kembali, Ma!”
Mala masih tak percaya jika ibunya tahu dan tak pernah menanyakan. Tidak pernah memeluk dirinya yang mengalami trauma pada masa kanak-kanak.
“Apa kau tahu orangnya, Ma?”
“Apa itu penting sekarang? Kenapa nggak dari dulu kamu cerita ke Mama. Kalau waktu kecil langsung cerita Mama bisa hajar orangnya. Sekarang yang kau hadapi adalah suamimu, bukan masa lalu!”
“Mama!!!”
Tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Mala terperangah dengan kalimat seorang ibu yang rasanya kurang berempati. Ia berwajah dingin dan mengguratkan kegetiran hidup pada keriput kulitnya.
“Memang telah terjadi bertahun-tahun lampau, nggak bisa cerita waktu kecil karena kebingungan dan ketakutan yang amat sangat.”
Gemetar suara Mala meluapkan emosinya. Air matanya tak terbendung lagi.
“Sekarang Bram memang menjadi luka yang aku rasakan saat ini, Ma! Tapi trauma pelecehan itu menjadi sebab dari banyaknya luka yang akhirnya terjadi.”
“Apa pelaku pelecehan itu sampai … merusak tubuhmu?”
“Ma?? Dia merusak mentalku sejak kecil. Caraku memandang dunia menjadi penuh ketakutan. Sebab itu pula, saat aku melahirkan anak … berjanji untuk tidak pernah meninggalkan mereka. Agar mereka tak mengalami yang aku rasakan.”
Mala terisak. Sesak di dadanya pecah berhamburan. Rahasia yang disimpan sekian lama dari sang mama meluncur deras dari bibirnya.
"Dan Mama tahu kan, untuk menepati janjiku itu pada anak-anakku ... Ada harga mahal yang harus aku bayar. Direndahkan oleh mertua, Ayah dan Mama yang juga terus mengungkit tentang aku yang di rumah saja. Belum lagi, sifat Bram terus berubah menjadi lebih buruk setelah mendengar alasan kenapa aku ingin menjaga anakku sendiri."
Mala menarik napas. Ia sudah tak peduli lagi ... Ingin meluapkan semua rasa kecewa, sakit hati pada Mama.
“Trauma itu seperti hantu yang terus menghantui sepanjang hidupku, Ma!”
Bagi Mala, pelecehan itu telah merusak kehormatannya, menjadi mimpi buruknya, terus mengikuti bagai ekor pada kepala ularnya.
Waktu berlalu, tetapi luka itu masih ada. Membekas meninggalkan luka tak kasat mata. Berkaitan dengan jalan cerita yang dijalani Mala dan juga langkah-langkah keputusannya.
Seandainya tak ada pelecehan itu … ia tak akan membenci ibunya. Ditambah kelakuan Ayah yang buatnya muak. Mala jadi ingin cepat menikah. Asal memilih pasangan tanpa pikir panjang. Hanya ingin terlepas dari luka-luka dari keluarga yang terus menjejal. Malah membuat masalah makin rumit. Kini masalahnya bukan saja luka akibat keluarga, juga luka dari mertua, luka dari suami yang berkhianat.
"Apa orang yang melecehkanmu masih hidup?" tanya ibunya hati-hati.
Mala tak segera menjawab. Seperti ada beban batin jika nama lelaki itu terangkai di benaknya.
“Orang itu, kemenakan kesayangan Mama. Dulu Mama menitipkanku di rumah tante Mira adik Mama. Ingatkah Mama … dulu aku sering berontak menolak untuk dititipkan di rumah itu, ta-tapi … Mama menempeleng aku yang menangis histeris. Kalau saja Mama tahu setiap hari aku harus berjuang menghadapi sepupu cabul itu. Mala jadi benci Mama. Mala menyimpan dendam itu sampai sekarang, Ma.”
Tangan ibu Mala bergetar hebat. Ingatannya kilas balik pada masa lalu. Saat itu Mala masih SD dan ada banyak sekali mimpi yang harus dikejar. Merintis usaha yang tertatih akibat suami yang tak becus mengelola keuangan, terpaksa membuatnya turun tangan secara langsung.
Lambat laun bisnis mereka merangkak naik.
Keberhasilan itu tak lepas dari tangan dinginnya sebagai wanita yang lihai dalam bidang properti. Namun, ada harga yang harus dibayar dari setiap kesuksesan. Dirinya hampir tak pernah menemani tumbuh kembang Mala.
Baru sadar ketika bisnis mulai bangkrut akibat ulah suami pecundangnya. Bahwa ternyata terlalu banyak waktu terbuang sia-sia. Putrinya telah dewasa dan tanpa sadar sebagai ibu justru kembali menorehkan trauma. Dengan mengajak putrinya melabrak wanita simpanan sang ayah.
“Oh, tololnya aku,” gumam nenek tiga cucu itu mendesis pelan.
"Apa sekarang kau masih membenciku, Mala?"
Mama Mala tulus menanyakan hal tersebut. Ketakutan jika anaknya masih begitu membencinya.
"Entahlah, Ma. Rasanya aku lebih benci ayah saat ini, dan Bram tentunya. Setelah berumah tangga, aku batu menyadari beratnya perjuanganmu mencari nafkah, Ma. Aku pun mengalaminya saat ini, walau berada di rumah—yang kuhasilkan itu tidak dianggap ada—tapi kenyataannya ... justru uang yang kuberikan pada Mama, uang untuk anak-anak setiap hari, itu lebih banyak berasal dari hasil kerjaku dari rumah, Ma."
Tidak tahu harus lega atau justru marah. Lega karena ternyata selama ini, ia tak makan dari uang menantunya. Tapi juga marah karena Mala memiliki suami yang manipulatif seperti Bram.
Di depan tetangga, di depan orang tuanya sendiri ... Bram berkoar-koar dia menantu yang membiayai mertua. Ternyata ... uang itu lebih banyak berasal dari Mala. Uang yang dihasilkan diam-diam agar Bram tidak tersinggung. Bekerja sembunyi-sembunyi untuk menjaga harga diri Bram di hadapan mertua.
Ugh, seandainya Mala cerita dari awal pernikahan tentang sikap manipulatif Bram...
***
"Aku pamit Mala," ucap Mama berjalan menuju pintu pagar.
Mala mengikuti dari belakang. Bahu wanita di depannya itu kelihatan bergetar. Mala mulai khawatir, jika ungkapan emosi terpendamnya tadi dapat mengganggu kesehatan Mama.
"Apa Mama baik-baik saja, Ma?"
Langkah wanita itu terhenti, tertegun mendengar pertanyaan Mala. Kemudian dirinya pun berbalik berhadapan dengan Mala.
"Maafkan aku, Mala. Selama ini, aku tak pernah menanyakan itu. Seharusnya aku yang mengatakan itu, seharusnya aku lebih dulu memelukmu."
"Mama ...!" pekik Mala berhambur memeluk ibunya.
Detik itu juga luruh segala benci dan dendam, menghapus rasa canggung di antara keduanya. Kalau saja kesempatan berbicara ini datang lebih cepat.
Sebuah pelukan erat mengakhiri segala drama salah paham yang bertahun-tahun menghantui.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...