Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 13
Cinta di Bawah Hujan
Hari-hari berikutnya tidak berjalan semudah yang Nayla bayangkan. Walau Arka sudah berjanji akan lebih jujur, benih keraguan yang sempat tumbuh di hati Nayla tidak serta-merta hilang. Setiap kali ponsel Arka bergetar, Nayla merasa resah. Setiap kali Arka terlihat sibuk dengan pekerjaannya dan tidak segera membalas pesannya, Nayla kembali dihantui rasa takut.
Di sisi lain, Arka benar-benar berusaha menepati janjinya. Ia mulai terbuka, menceritakan hal-hal kecil yang dulu mungkin ia anggap sepele. Mulai dari rapat kerja, pertemuan dengan teman lama, hingga rencana kecil seperti pergi ke toko buku. Nayla tahu Arka sedang berusaha keras, tapi rasa tidak aman dalam dirinya seringkali lebih kuat daripada logika.
Suatu malam, mereka kembali bertemu di taman. Hujan baru saja reda, udara masih menyisakan aroma tanah basah. Lampu-lampu jalan berkilau memantul di genangan air, menciptakan suasana sendu yang anehnya justru menenangkan.
“Aku sering mikir, Nay,” ucap Arka tiba-tiba, memecah keheningan. “Kenapa dulu aku pergi tanpa pamit. Kenapa aku nggak punya keberanian untuk tetap di samping kamu. Dan tiap kali aku inget, aku nyesel.”
Nayla menoleh, menatapnya. “Kalau kamu nyesel, kenapa sekarang masih ada Karin di sekitarmu? Kenapa kamu nggak menjauh?”
Arka menarik napas panjang. “Karena aku nggak bisa pura-pura nggak kenal. Karin dulu sempat banyak bantu aku waktu di luar negeri. Aku nggak mau kelihatan kayak orang yang lupa diri. Tapi aku tahu, aku salah kalau bikin kamu sakit hati karena itu.”
Nayla menunduk. “Aku bukan minta kamu memutus semua hubungan. Aku cuma butuh kamu nunjukin kalau aku yang paling penting. Aku butuh bukti, Ark, bukan cuma kata-kata.”
Hening kembali. Hanya suara sisa tetesan hujan dari daun-daun pohon yang terdengar.
Beberapa hari kemudian, Nayla mendapat undangan dari seorang teman untuk menghadiri pameran seni. Awalnya ia ragu, tapi akhirnya ia memutuskan datang. Saat berjalan menyusuri galeri, matanya mendadak menangkap sosok yang tidak asing: Karin. Dan di sampingnya, berdiri Arka.
Mereka terlihat serius membicarakan sebuah lukisan besar di dinding. Karin sesekali tertawa kecil, sementara Arka tampak menjelaskan sesuatu dengan ekspresi yang Nayla kenal betul—ekspresi antusias yang jarang muncul kecuali ketika ia merasa nyaman.
Darah Nayla seakan berhenti mengalir. Ia ingin segera berbalik dan pergi, tapi kakinya seolah terpaku di lantai. Tak lama kemudian, Karin menyadari kehadirannya. Perempuan itu tersenyum, melambai ke arahnya.
“Nayla, kan? Aku Karin,” ucapnya ramah saat menghampiri. “Akhirnya kita ketemu juga. Arka sering cerita tentang kamu.”
Nayla hanya tersenyum kaku, matanya berpindah ke Arka yang terlihat canggung. “Iya… salam kenal,” jawabnya pelan.
Karin lalu bercerita banyak hal, tentang pameran itu, tentang bagaimana ia dan Arka dulu sering berdiskusi soal seni, hingga rencana proyek yang sedang ia jalankan. Sementara itu, Nayla hanya mendengarkan, setengah hati. Ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan kegelisahan yang membara di dalam.
Setelah Karin pamit sebentar untuk menemui kurator, Nayla langsung menatap Arka tajam. “Kenapa kamu nggak bilang bakal ke sini sama dia?”
Arka terlihat panik. “Aku baru tau dia datang juga, Nay. Aku tadi memang janjian ketemu temen, tapi nggak nyangka Karin juga ada di sini.”
Nayla menghela napas panjang. “Aku capek, Ark. Rasanya aku selalu harus berhadapan sama dia. Di mana pun, kapan pun, selalu ada Karin.”
Arka terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku ngerti. Aku janji, Nay, aku bakal bikin semua jelas. Aku bakal ngomong sama Karin, biar nggak ada lagi yang bikin kamu ragu.”
Nayla menatapnya lama. Hujan kembali turun di luar galeri, menimbulkan suara gemericik yang samar-samar terdengar. Rasanya seolah alam pun ikut menguji cinta mereka, menghadirkan badai yang belum kunjung reda.
Dalam hati, Nayla bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku cukup kuat untuk terus bertahan? Apakah cinta di bawah hujan ini benar-benar bisa melewati semua ujian?