Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyembuhannya
Mei mengangguk patuh, tak berani membantah, daripada dirinya dimangsa oleh Sanghyun.
Setelah suasana kembali tenang, Sanghyun melepaskan cengkeramannya dan duduk kembali di sisi ranjang Putri Minghua. Tatapannya yang lembut dan penuh ketulusan membuat hati Mei tersentuh.
“Tuan, bagaimana keadaannya sejak pagi tadi?” tanyanya pelan, meskipun rasa takut masih menghantui.
Sanghyun menoleh perlahan, sorot matanya sayu dan penuh kegelisahan. “Dia belum juga sadar. Sebenarnya... apa yang terjadi padanya?”
Mei menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. “Nona Minghua terlalu memaksakan diri untuk menyembuhkan Putri Xiaolan hingga seluruh energinya terkuras. Dan setelah itu... dia menyelamatkan siluman kecil itu dari bahaya. Semua itu membuat tubuhnya menjadi sangat lemah.”
Nada suara Mei bergetar, penuh rasa kasihan. Ia benar-benar iba kepada sang Putri yang selalu memikirkan orang lain tanpa peduli pada dirinya sendiri. Namun apa daya, Mei sadar sepenuhnya bahwa dirinya tak memiliki kemampuan untuk mengembalikan energi Putri Minghua yang nyaris habis.
Mei mendekati Putri Minghua dengan hati-hati, lalu memeriksa pergelangan tangannya. "Denyut nadinya sangat lemah. Saya akan segera memanggil Tabib Kekaisaran. Mohon, Tuan, untuk tidak menampakkan diri," pintanya penuh ketegangan sebelum segera bergegas meninggalkan kamar Putri Minghua.
Sanghyun tidak mengindahkan apa yang dilakukan Mei. Baginya, yang terpenting saat ini hanyalah melihat Putri Minghua terbangun dan menyapanya seperti biasanya dengan senyum lembut yang selalu menenangkan hatinya.
Beberapa saat kemudian, Sanghyun mendengar langkah kaki mendekat, diiringi percakapan samar antara Tabib Kekaisaran dan Mei. Tersentak, ia segera bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar dengan tergesa, berusaha agar kehadirannya tidak diketahui siapa pun.
Tabib Kekaisaran masuk ke dalam kamar Putri Minghua dan segera memeriksa keadaannya. Ekspresinya sedikit terkejut, tidak banyak orang yang mampu bertahan hidup dengan energi yang selemah ini.
Ia segera memerintahkan Mei, “Cepat, cari kotak obat khusus yang dibawa oleh pelayan kerajaan. Di sana tersimpan ramuan langka dan bahan-bahan penguat jiwa.”
“Temukan akar ginseng ungu dan bunga Qiuhan, lalu campurkan dengan air mata naga es yang ada di dalam tabung perak. Hanya itu satu-satunya yang bisa mengembalikan tenaga Putri Minghua,” perintahnya tegas dan penuh tekanan.
Mei mengangguk cepat, lalu berlari keluar ruangan menuju rak penyimpanan obat di ruangan lain. Tangannya bergetar ketika membongkar isi kotak itu, mencari bahan-bahan langka yang diminta tabib.
Sementara itu, Tabib Kekaisaran menempelkan tiga jari ke pergelangan tangan Putri Minghua. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan aliran energi di dalam tubuh sang Putri. Namun, energi itu begitu kacau, nyaris tak terkendali, seolah jiwanya sedang terkoyak dari dalam.
Tak lama kemudian, Mei kembali membawa bahan-bahan yang diminta. “Letakkan di sana. Bawakan juga air untuknya,” ucap sang tabib tanpa mengalihkan pandangan dari Putri Minghua.
Mei menurut dan segera mengambilkan segelas air dengan tergesa-gesa.
Dengan gerakan cekatan, Tabib Kekaisaran mulai meracik ramuan. Meski tangannya telah menua, pengalamannya yang luas membuat setiap gerakan tampak begitu terampil dan tepat. Ia mencampur serbuk halus dari ginseng ungu dengan kelopak bunga Qiuhan yang masih segar, lalu meneteskan tiga tetes air mata naga es ke dalam mangkuk batu giok. Aroma tajam dan menusuk langsung memenuhi ruangan begitu ramuan itu selesai diracik.
Mei datang kembali membawa air. Tabib segera mengisyaratkan agar ia membuka mulut Putri Minghua dengan hati-hati.
Dengan perlahan, Mei menyentuh dagu sang Putri dan membuka sedikit bibir pucat itu. Tabib Kekaisaran menyuapkan ramuan itu dengan sendok kecil dari giok, setetes demi setetes, memastikan tidak ada yang tumpah.
Begitu cairan itu memasuki tenggorokan Putri Minghua, tubuhnya mulai bergetar halus. Meski tetap tak sadarkan diri, butir-butir keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Tabib kembali memeriksanya. Kali ini, ia menempelkan jari telunjuk dan jari tengah ke antara alis Putri Minghua. Ia menyalurkan sedikit energi spiritualnya, energi yang langka, murni, dan hanya digunakan dalam kondisi yang benar-benar darurat. Cahaya lembut berwarna kebiruan memancar dari ujung jarinya, menyelimuti wajah cantik Putri Minghua yang mulai terlihat lebih tenang.
“Dia butuh waktu,” bisik sang Tabib setelah beberapa saat. “Tubuhnya bisa pulih, tapi fondasi energi dalamnya telah retak. Ia hanya akan bertahan jika diberi perawatan intensif… dan tidak mengalami guncangan emosional lagi. Sekali saja jiwanya terguncang…”
Ia tak melanjutkan kalimatnya, namun nada suaranya menyiratkan ancaman yang sangat serius.
Wajah Mei langsung pucat. Kekhawatiran begitu jelas tergambar di matanya. Rasa sedih dan takut mencengkramnya tanpa ampun.
Tabib Kekaisaran menepuk pelan bahu Mei, memberikan sedikit penguatan.
“Jagalah dia baik-baik malam ini. Aku akan kembali esok pagi dengan ramuan tambahan. Tapi ingat, jangan izinkan siapa pun masuk ke dalam kamar ini. Hanya kau dan dia. Tidak ada yang lain.”
Mei mengangguk cepat, matanya masih berkaca-kaca. Ia lalu mengantar sang Tabib keluar kamar.
Begitu pintu tertutup kembali, keheningan langsung menyelimuti ruangan.
Saat tidak ada seorang pun di dalam kamar, Sanghyun mengendap-endap masuk kembali ke ruang tempat Putri Minghua berbaring. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah ia takut membangunkan sesuatu yang rapuh.
Ia mendekat perlahan, menatap wajah pucat sang Putri yang tertidur lemah. Tatapannya dipenuhi harapan dan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan.
"Bangunlah... aku menunggumu," bisiknya lirih, nyaris seperti doa.
Tangannya terulur, menggenggam jemari Putri Minghua yang dingin. Ia lalu meletakkan tangan itu di pipinya yang hangat, membiarkan kehangatannya mengalir perlahan ke tubuh sang Putri.
Ajaibnya, tangan yang semula dingin perlahan mulai terasa lebih hangat, seolah merespons sentuhan tulus yang diberikan Sanghyun. Ia memejamkan mata, sejenak merasakan detak harapan yang kembali tumbuh di hatinya.
Di luar kamar, tepat di depan pintu, Mei berdiri diam. Ia sempat terkejut saat melihat Sanghyun kembali, namun tak berniat menghentikannya. Tatapannya tertuju pada keduanya yang terlihat begitu dekat, begitu tulus... begitu romantis menurut pandangannya.
Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia tahu seharusnya makhluk seperti Sanghyun tidak diperbolehkan dekat dengan manusia, tapi dalam hatinya, ia tak bisa mengingkari, Sanghyun terlihat sangat peduli, bahkan lebih dari siapa pun yang pernah Mei lihat.
Tanpa berkata apa pun, Mei membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Ia memilih untuk tidak mengganggu, membiarkan keheningan malam menjadi saksi ketulusan yang perlahan tumbuh di antara dua makhluk berbeda dunia itu.
Sanghyun terus menemani Putri Minghua hingga malam menjelang. Suasana di dalam kamar begitu hening, hanya suara angin malam yang sesekali terdengar di luar jendela, membawa hawa dingin yang menusuk.
Tanpa banyak kata, Sanghyun menyelimuti tubuh lemah Putri Minghua dengan selimut tebal, memastikan ia tetap hangat. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah pucat itu, dan meski lelah mulai menghinggapi, ia tetap berjaga di sisi ranjang, tak berniat pergi sedikit pun.
Ia duduk diam, membiarkan keheningan menemaninya, seolah sedang menjaga cahaya terakhir dari nyala yang nyaris padam.
Tiba-tiba, di sisi tempat tidur, siluman kecil yang sejak tadi tertidur di samping Putri Minghua perlahan membuka matanya.
Matanya berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang di dalam kamar. Ia menatap Sanghyun dengan pandangan kosong sesaat, sebelum akhirnya bergeser pelan mendekati Putri Minghua, seolah ingin memastikan keadaannya.