NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Langkah Risa terasa berat saat ia memasuki kamar sederhana dengan aroma obat-obatan herbal dan kayu.

Tirai putih tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka.

Di atas ranjang kayu, terbaring seorang pria dengan wajah yang sebagian rusak, kulitnya dipenuhi bekas luka bakar dan lebam, namun mata itu... mata yang terpejam itu tidak asing bagi Risa.

Tangannya menutup mulut, air matanya jatuh satu per satu.

“Mas Aditya...” bisiknya lirih.

Kakinya yang dibalut gips tampak kaku, dan alat bantu pernapasan masih terpasang di hidungnya. Namun dada itu... masih naik-turun. Ia masih hidup.

“Ini kamu... kan?” suara Risa gemetar, “Kamu benar-benar masih hidup...”

Risa duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan dingin suaminya. Air matanya mengalir deras membasahi tangan itu.

“Maaf aku lama mencarimu... maaf aku hampir menyerah.”

Wanita tua berdiri di ambang pintu, tak ingin mengganggu, namun air matanya juga berlinang melihat ikatan cinta yang begitu kuat.

“Dia bertahan... mungkin karena menunggumu,” gumamnya pelan.

Udara malam mulai menusuk tulang. Lampu minyak di sudut ruangan menyala redup, hanya cukup menerangi wajah Risa yang tampak lelah, duduk di samping ranjang Aditya.

Ia belum bergeming sedari sore, masih menggenggam tangan suaminya yang belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar.

Angin malam bertiup pelan lewat celah jendela, menggoyangkan tirai kain dan membawa aroma hutan yang lembab.

Pintu kayu berderit pelan.

“Ris...” suara Stefanus lirih dari ambang pintu, membawa nampan berisi nasi hangat, sayur rebus, dan tempe goreng.

Risa hanya melirik sekilas lalu kembali menatap Aditya.

“Kamu harus makan. Kalau kamu tumbang, siapa yang akan jaga dia?” Stefanus berjalan mendekat, meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur.

“Aku tidak lapar, Stef,” bisik Risa.

Stefanus menarik napas panjang, lalu duduk di kursi sebelah Risa.

“Risa... dia pasti akan bangun. Tapi kamu juga harus kuat. Kamu harus tetap hidup untuk dia.”

Risa mengangguk pelan, matanya masih tak lepas dari wajah Aditya yang terlihat damai dalam ketidaksadarannya.

Akhirnya, setelah beberapa menit hening, Risa meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya perlahan.

Stefanus tersenyum kecil. “Itu baru Risa yang aku kenal.”

Malam semakin larut. Di tengah kesunyian desa, Risa masih duduk menemani... berharap keajaiban itu segera datang.

Margaretha masuk perlahan, membawa selimut tipis dan bantal di pelukannya.

Wajahnya yang telah dipenuhi keriput menunjukkan kehangatan seorang ibu, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.

“Risa, Nak… sudah malam. Kamu perlu istirahat.” Suaranya lembut, menenangkan.

Risa menoleh, matanya sembab namun tetap memancarkan keteguhan.

“Saya tidak apa-apa, Bu. Saya ingin terus di sini kalau-kalau...”

Margaretha menggeleng lembut sambil meletakkan bantal dan selimut di dipan kecil yang telah ia siapkan di samping ranjang Aditya.

“Ibu tahu kamu kuat, tapi tubuhmu juga butuh istirahat. Sudah ada tempat tidur di sini. Kalau dia sadar, kamu tetap jadi orang pertama yang melihatnya, bukan?”

Risa terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia bangkit dan duduk di tempat tidur kecil itu.

Tangannya masih menggenggam tangan Aditya, kali ini dari sisi yang berbeda.

Margaretha tersenyum kecil, mengusap kepala Risa dengan penuh kasih.

“Dia laki-laki yang beruntung... dicintai begitu dalam.”

Lampu mulai diredupkan. Suara alam desa tetap mengalun pelan.

Risa berbaring, masih menatap wajah Aditya sebelum akhirnya matanya perlahan terpejam dalam kelelahan yang menumpuk.

***

Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah jendela, menerpa lembut wajah Aditya yang masih terbaring lemah.

Risa yang baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, menghampiri tempat tidur suaminya seperti biasa.

Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.

Mata itu....

Mata yang selama ini hanya bisa ia pandangi dalam diam, kini terbuka perlahan.

Pandangannya kabur, bingung, seolah mencari-cari titik terang dari dunia yang baru saja ia masuki kembali.

“Mas… Aditya?” suara Risa gemetar, setengah berbisik.

Aditya berkedip pelan. Bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu namun suaranya belum mampu keluar.

Risa buru-buru mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan erat.

“Mas… ini aku, Risa. Aku di sini.”

Tatapan Aditya akhirnya menangkap wajahnya. Sebuah garis air mata turun dari sudut mata Risa. Wajahnya dipenuhi haru dan ketidakpercayaan.

Aditya mencoba menggerakkan bibirnya. “Ri…sa…?”

Suara itu serak, namun cukup jelas untuk membuat jantung Risa hampir berhenti berdetak. Ia menunduk dan menangis di dada suaminya.

“Ya, Mas. Aku di sini. Aku menjemputmu pulang.”

Pintu kamar terbuka perlahan. Margaretha masuk lebih dulu, membawa semangkuk bubur hangat.

Di belakangnya, Stefanus menyusul, wajahnya penuh tanya karena Risa belum juga keluar setelah fajar menyingsing.

Namun langkah mereka terhenti di ambang pintu.

Ibu Margaretha nyaris menjatuhkan mangkuk buburnya saat melihat Aditya yang kini terjaga, matanya terbuka, dan tangan yang gemetar menggenggam tangan Risa.

“Ya Tuhan… dia sadar,” ucap Margaretha dengan suara pelan namun penuh haru.

Stefanus menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

“Akhirnya… setelah sekian lama.”

Risa menoleh, matanya merah namun bersinar. “Dia memanggil namaku, Stef. Dia tahu siapa aku.”

Ibu Margaretha cepat-cepat menghampiri, menyentuh dahi Aditya dan mengelus lembut rambutnya.

“Anakku… kau kembali…”

Aditya menoleh pelan ke arah wanita tua itu, mencoba mengenali wajahnya.

“Bu…”

“Namaku Margaretha. Aku yang menemukanku di hutan, Nak. Kau selamat… kau sudah sangat kuat bertahan.”

Stefanus mendekat, menyentuh bahu Risa. “Kita harus segera bawa Mas Aditya ke rumah sakit besar, Ris. Tapi yang penting… dia kembali.”

Risa mengangguk, matanya kembali basah. “Iya… dia kembali…”

Risa duduk di samping Aditya di dalam ambulans yang membawa mereka menuju rumah sakit besar di London.

Jarak desa terpencil menuju kota memakan waktu berjam-jam, tetapi setiap detik perjalanan itu terasa seperti langkah menuju harapan yang telah lama hilang.

Aditya masih belum bisa banyak bicara. Matanya sesekali menatap Risa, seolah mencoba memastikan bahwa semua ini nyata bahwa perempuan yang setia di sampingnya benar-benar ada.

Stefanus duduk di depan bersama sopir, sesekali menoleh ke belakang, memastikan semua baik-baik saja.

Margaretha tak ikut, hanya melepas mereka dengan pelukan hangat dan air mata haru di desa.

Risa menggenggam tangan Aditya yang lemah, menyandarkan kepalanya di bahunya yang kini kurus dan rapuh.

“Kita akan segera sampai, Mas. Semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya lirih.

Ambulans melaju melewati ladang-ladang hijau, jalanan berbukit, hingga akhirnya mulai memasuki area metropolitan dengan gedung-gedung tinggi dan lalu lintas yang ramai.

Sesampainya di rumah sakit besar, tim medis segera menyambut mereka, membawa Aditya ke ruang perawatan intensif untuk observasi lanjutan. Risa dan Stefanus mengikuti dari belakang, dengan hati yang berdebar namun penuh keyakinan, kehidupan mereka akan berubah lagi, kali ini untuk sebuah awal yang baru.

Risa duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, tangannya menggenggam gelas kertas berisi kopi yang kini telah dingin.

Matanya tampak lelah, memandang ke arah pintu ICU tempat Aditya dirawat. Hatinya masih belum sepenuhnya percaya bahwa pria yang selama ini ia tangisi kini berada begitu dekat.

Di sekelilingnya, deru langkah para dokter dan perawat terdengar silih berganti.

Stefanus duduk di sisi lain ruangan, diam dan menjaga jarak, memberikan ruang bagi Risa untuk menenangkan diri.

Sesekali Risa menghela napas panjang, mencoba meredam gelombang emosi yang menyeruak dalam dadanya. Ia menatap ponsel di pangkuannya pesan-pesan dari pelanggan ayam bakarnya masuk satu per satu, tapi tak satu pun ia buka.

Seorang perawat keluar dari pintu ICU. Risa refleks berdiri.

“Dokter akan bicara sebentar lagi,” ujar perawat itu lembut.

Risa hanya mengangguk, lalu kembali duduk. Matanya basah.

Dalam hatinya, ia berdoa: “Tolong selamatkan dia. Beri aku kesempatan kedua, ya Tuhan.”

Dokter lelaki paruh baya itu memanggil nama Risa dengan suara tenang namun tegas, “Ibu Risa Wardhana?”

Risa berdiri tergesa, menghampiri dokter yang kini berdiri di ambang pintu ruang konsultasi. Stefanus mengikuti dari belakang, meski tetap menjaga jarak.

Di dalam ruangan, dokter mempersilakan Risa duduk. Ia membuka map medis yang tebal berisi kondisi Aditya.

“Kondisi suami Anda cukup stabil, tapi kami harus segera melakukan operasi pada kakinya. Struktur tulangnya patah cukup parah dan jika tidak segera ditangani, bisa berdampak permanen,” jelas sang dokter.

Risa mengangguk cepat, matanya bergetar.

“Bagaimana dengan... wajahnya?” tanyanya lirih.

Dokter menatapnya penuh empati. “Kami perlu waktu lebih lama untuk penanganan wajahnya. Setidaknya satu tahun ke depan, baru bisa masuk tahap rekonstruksi. Kami ingin memastikan jaringan dan tulangnya siap untuk prosedur tersebut.”

Risa menggenggam jemari tangannya sendiri yang dingin. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, “Lakukan yang terbaik untuknya, Dok.”

Dokter menyerahkan selembar formulir persetujuan operasi.

Tanpa ragu, Risa mengambil pulpen dan menandatangani surat itu. Tangannya sedikit gemetar.

“Terima kasih atas kepercayaannya, Bu Risa. Operasi akan kami lakukan sore ini,” ujar dokter.

Risa keluar dari ruangan dengan hati berat namun sedikit lega.

Di lorong rumah sakit, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan berkata dalam hati, “Aku akan terus menunggumu, Dit. Sampai kamu benar-benar pulang padaku.”

Di ruang tunggu rumah sakit yang steril dan penuh ketegangan, Risa duduk memeluk kedua tangannya sendiri, matanya menatap layar monitor kecil yang menampilkan status operasi Aditya: Sedang berlangsung.

Langkah cepat terdengar dari arah koridor. Ketika Risa menoleh, ia melihat dua sosok familiar, Mama dan Papa Aditya.

Wajah Mama terlihat pucat, namun sorot matanya penuh harap.

"Risa!" seru Mama sambil memeluknya erat. "Kami langsung ke sini begitu Stefanus memberi kabar."

Risa membalas pelukan itu sambil menahan air mata.

“Ma… Mas Aditya masih hidup… Tuhan masih izinkan dia hidup…”

Papa Aditya menepuk bahu Risa dengan hangat.

“Kamu sudah menyelamatkan anak kami, Risa. Terima kasih….”

Mereka duduk berdampingan di kursi tunggu, diam dalam doa dan kecemasan. Detik berjalan perlahan.

Setelah beberapa jam yang terasa seperti seabad, seorang dokter dengan masker yang diturunkan ke dagu keluar dari ruang operasi.

"Operasi kaki berjalan lancar," katanya. "Pasien masih belum sadar, tapi kondisinya stabil. Ia akan dipindahkan ke ruang pemulihan sebentar lagi."

Risa langsung menangis dalam pelukan Mama. Papa Aditya memejamkan mata sambil mengucap syukur pelan.

Perjalanan mereka belum selesai, tapi hari itu adalah langkah pertama menuju harapan baru.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!