Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. SALING MENYAKITI
"Wanita itu adalah makhluk perasa. Dia lebih suka menggunakan perasaannya ketimbang otaknya, wanita itu mudah sensitif dari segi perasaan, dan mudah tersentuh hatinya.
Seperti Agnes, Dia merasa sudah tidak sempurna sebagai wanita sehingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang. Dan seperti Fiona, yang mengambil keputusan hanya karena merasa bersalah serta iba melihat keterpurukan Agnes yang tak lagi memiliki rahim karenanya.
Mungkin sekarang Agnes menyesal telah meminta kamu menikahi Fiona, tapi dia bisa apa sekarang? Dan Fiona pun pasti memiliki rasa sesal itu sebab harus membatalkan pernikahannya sendiri dan menikah dengan kamu. Apakah mereka berdua pantas disalahkan? Tidak, Nak. Seperti yang Papa katakan tadi, wanita itu adalah makhluk perasa. Sesal itu akan merasa rasakan setelah menjalaninya.
Sebenarnya, kamulah yang memiliki andil dan harus bertanggung jawab dalam masalah ini. Karena sebagai lelaki dan juga seorang suami, seharusnya kamu bisa menasihati istrimu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu justru menyetujui permintaan Agnes dan tidak berusaha menentangnya.
Tapi semuanya sudah terjadi, menyesal juga percuma. Yang perlu kamu lakukan adalah menjalaninya dengan bijak seperti apa yang pernah Papa dan Mama katakan padamu tempo hari. Berlaku adil lah pada kedua istrimu."
Teddy menunduk, menyimak setiap ucapan sang papa dengan perasaan berkecamuk. Niatnya menceritakan keinginan Agnes yang justru memintanya melakukan inseminasi sementara ia sudah melakukannya bersama Fiona, bukannya mendapat solusi malah berakhir diceramahi dan terkesan disalahkan.
"Dan teruntuk permasalahan yang sedang kamu hadapi sekarang, Papa harus melakukan apa untuk membantumu?" tanya pak Hilman kemudian.
"Apa Papa bisa membantuku untuk membuat surat pernyataan bahwa aku dan Fiona telah melakukan prosedur Inseminasi?" Teddy menatap sang papa penuh harap.
Pak Hilman menghela nafas. Ia sudah menduga sebelumnya bahwa Teddy akan meminta hal ini padanya. Membuat surat pernyataan palsu tidaklah sulit baginya selaku direktur rumah sakit, tapi yang ia khawatirkan adalah resiko setelahnya yang sudah pasti akan berdampak besar pada rumah tangga putranya.
"Pa, please bantu aku," mohon Teddy sebab sang papa hanya diam saja. "Aku hanya tidak mau Agnes terluka kalau mengetahui bahwa aku dan Fiona telah...."
"Lalu bagaimana dengan Fiona sendiri?" tanya pak Hilman menyela. "Tidakkah dia juga akan merasa terluka sudah diperlakukan seperti ini? Apa bisa kamu kembalikan yang sudah kamu ambil darinya?"
Teddy terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Yang jelas benar apa yang dikatakan papanya, Fiona juga pasti akan merasa terluka dengan perlakuannya. Tapi, bukankah ini sudah konsekuensi dari keputusan wanita itu sendiri.
.
.
.
"Shadaqallahul Adzim...." Fiona menutup Al-Qur'an nya, mencium kitab suci tersebut lalu menyimpan kembali di tempat semula.
Setelah itu ia meraih ponselnya di atas nakas yang terus berdering. Ada perasaan gundah begitu melihat nama penelpon di layar, 'calon imam'. Ia terdiam sejenak, hingga bendah pipih itu berhenti berdering. Namun, hanya berselang beberapa detik kemudian dering ponselnya kembali menyita perhatiannya. Ia pun berjalan menuju sofa, duduk di sana tanpa melepas mukenah yang membalut tubuhnya.
"Assalamualaikum, ca...." Suara Damar langsung terdengar begitu ia menjawab telepon, namun kalimatnya terhenti sejenak.
Lelaki itu hampir saja menyebutkan kata 'calon makmum'. Meski pada kenyataannya Fiona memang adalah calon istrinya, tapi sepertinya tak pantas untuk ia sebutkan lagi saat ini karena Fiona tengah berstatus istri orang.
"Assalamualaikum, Fio," ralatnya kemudian.
"Waalaikumsalam, Mas," balas Fiona.
Keduanya terdiam sejenak. Dilanda kecanggungan membuat mereka bingung harus memulai obrolan dari mana.
"Kamu lagi apa?" tanya Damar setelah beberapa saat diam.
"Tadi lagi ngaji, Mas, jadi maaf agak lambat jawab telpon Mas Damar," jawab Fiona.
"Oh, kalau begitu maaf sudah mengganggu," ucap Damar, sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis membayangkan suara merdu wanita itu ketika melantunkan ayat-ayat suci yang mampu menenangkan jiwa.
"Gak apa-apa kok, Mas," kata Fiona.
"Aku cuma lagi rindu pengen denger suara kamu."
Fiona terdiam, matanya terpejam sejenak. Ada perasaan sesak yang menjalar di hati. Ia melirik kalender kecil di atas meja, menatap angka yang merupakan adalah tanggal pernikahannya dengan Damar yang seharusnya dilangsungkan hari ini. Tapi sekarang, ia justru berada di rumah lelaki lain yang telah menjadi suaminya. Sekarang ia paham, kata rindu yang diucapkan Damar adalah untuk mengingatkannya tentang hari ini.
"Maafkan aku, Mas," lirih Fiona disertai isakan pelan.
Damar merasa sesak mendengar isakan itu. Ingin sekali ia rengkuh tubuh wanita itu dan mendekapnya dengan erat. Ia pun menitihkan air mata, tak sanggup menahan perasaannya.
"Dibalik takdir yang membuat kita menangis hari ini, ada takdir yang belum kita ketahui. Maka dari itu, selagi kita berjauhan, aku akan membawa hatiku ke langit. Berharap hanya kepada Allah dan menunggu keajaiban yang akan turun. Seperti halnya air laut yang menguap ke langit, dia akan kembali ke bumi dengan hujan yang bersih dan sejuk," ucap Damar dengan suara bergetar.
Fiona tak mampu berkata-kata, hanya kata maaf berulang kali yang bisa ia ucapkan.
Di luar pintu, Teddy mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar Fiona begitu samar-samar mendengar suara wanita yang sedang berbicara di telepon itu terisak dan terus mengucapkan kata maaf pada Damar.
Ia menarik nafas dalam-dalam, kenapa sesak rasanya mendengar istri keduanya itu menangisi lelaki lain. Ia pun pergi dari sana sembari menggenggam erat sebuah benda di tangannya. Berjalan cepat menuju dapur mencari keberadaan bi Ira.
Wanita setengah baya yang sedang mencuci perabot itu sedikit terkejut dengan kedatangan majikannya yang sudah dua hari tidak pulang.
"Bi, nanti tolong berikan ini pada Fiona." Teddy menyerahkan sebuah kartu ATM pada asisten rumah tangganya itu. Seperti kata papanya, meski Fiona hanya sekedar rahim pengganti tapi ia tetap harus bisa bersikap adil pada kedua istrinya, dengan memberikan nafkah yang layak selama Fiona menjadi istrinya.
"Baik, Tuan." Bia Ira mengambil kartu tersebut. Meski ada rasa penasaran kenapa majikannya itu tidak memberikan langsung pada istrinya, tapi ia tahan untuk tidak bertanya sebab itu bukan urusannya.
"Oh ya, tolong rapikan kamar saya, soalnya hari ini Agnes sudah boleh pulang."
Bi Ira mengangguk sembari tersenyum, ikut senang karena istri pertama majikannya akhirnya akan pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari di rawat.
Teddy pun bergegas pergi ke rumah sakit, padahal ia baru saja pulang. Tadi niatnya setelah memberikan ATM pada Fiona, ia ingin istirahat sebentar di kamarnya sebelum kembali ke rumah sakit menjemput Agnes. Tapi moodnya tiba-tiba saja berantakan ketika mendengar suara tangis Fiona.
"Kenapa harus seperti ini, Fio. Dulu aku memiliki angan yang tinggi bersamamu. Tapi disaat aku mencoba ikhlas, kamu justru hadir kembali sebagai istri keduaku dan akhirnya kita hanya akan saling menyakiti seperti ini."
Teddy mencengkram erat stir mobilnya. Suara tangis Fiona terus terngiang, terdengar pilu dan sungguh menyayat hatinya.
"Apa kamu sangat mencintai lelaki itu sehingga kamu menangis untuknya?"
kasih faham thor ... /Angry/