"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13 Pengasuh, bukan Istri
Maira sedikit kecewa saat Rosmala memberhentikannya dari pekerjaan. Rosmala bilang semua demi Zara. Maira harus punya banyak waktu untuk Zara, agar anak itu tumbuh dalam kasih sayang seorang ibu.
Soal gaji, Maira tetap akan mendapatkannya sesuai gajinya dulu. Pun soal pengobatan lanjutan ibunya Maira, Rosmala berjanji akan menanggungnya. Maira hanya harus fokus pada Zara.
Sejujurnya Maira merasa tak nyaman jika harus bergantung pada keluarga suaminya. Ia ingin bekerja agar bisa berdaya tanpa merasa banyak berhutang budi. Namun, di sisi lain ia tak punya suara untuk bisa menolak keinginan ibu mertuanya. Semua karena tujuan dari pernikahan ini memanglah untuk anak dan cucunya. Meski begitu, Rosmala masih mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantu semua pekerjaan Maira.
"Pokoknya fokus kamu itu cuma sama Arka dan Zara. Soal pekerjaan rumah biar Mbak aja yang kerjain," pesan Rosmala tadi sebelum pulang.
Jujur ini pekerjaan yang berat menurut Maira. Mengingat Arka terang-terangan tak menyukainya. Dan akan bertambah berat karena Arka memang belum bisa move on dari mendiang istrinya.
Semua terlihat jelas saat Maira memasuki kamar tidur yang akan menjadi tempatnya beristirahat dengan Arka. Banyak foto Raswa yang masih tergantung di dinding. Tidak hanya di kamar, bahkan beberapa foto Raswa masih terpajang rapi di sudut-sudut rumah ini.
Yang lebih membuat Maira merasa tak ada arti sebagai istri adalah saat Arka dengan jujur mengakui jika dirinya belum bisa menjadi suami yang seutuhnya.
"Aku bisa berikan nafkah lahir padamu, berapa pun kamu minta, tapi jangan pernah berharap soal nafkah batin dariku. Aku belum bisa memberikannya. Kuharap kamu memahaminya," ujar Arka sebelum pria itu pergi entah ke mana di malam pengantinnya.
Malam pengantin Maira sedingin udara malam yang diselimuti hujan. Tak sampai di situ, bahkan malam-malam berikutnya pun sama. Arka hampir tak pernah tidur di rumah.
Pria itu hanya pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Lalu pergi lagi tanpa Maira tahu ke mana.
Semua hari-hari itu berlangsung cukup lama. Dan tanpa terasa tiga bulan sudah Maira menjalani pernikahan tanpa sentuhan ini.
*
"Zara, kamu bisa jalan, Nak!" seru Maira histeris. Ia bahagia melihat Zara akhirnya bisa melangkahkan kaki untuk pertama kali dalam hidup anak itu.
"Mbak, sini, Mbak!" teriak Maira.
Mbak Iis—asisten rumah tangga—berlari dari belakang menuju ruang tengah, di mana Maira memanggil. "Iya, Bu."
"Mbak, lihat, Mbak, Zara udah bisa jalan," ujar Maira antusias.
"Ayo, Sayang, terus Sayang!" Maira memberi semangat agar Zara berani melanjutkan langkah.
Baru dua langkah Zara terjatuh dan menangis. "Uh, Sayang. Nggak apa Sayang, nanti coba lagi, ya."
Hanya sebentar Zara menangis, anak itu kembali mencoba berdiri, lalu mulai melangkah lagi. Maira senang melihat Zara yang tak takut mencoba lagi.
Sampai anak itu terlihat lelah, Maira mulai mengakhiri kegiatan Zara. Menidurkannya seperti biasa.
"Mbak, tolong geser sofa dan meja ini ya. Biar Zara punya cukup ruang buat belajar jalan nanti," ujar Maira saat keluar dari kamar Zara.
"Baik, Bu." Mbak Iis mulai menggeser sofa dan meja dibantu Maira.
Melihat ruangan yang terlihat lega Maira tersenyum senang. "Nah, nanti Zara bisa leluasa belajar jalannya. Iya, kan, Mbak?"
"Benar, Bu."
Maira melihat ruang tamu. Ia pun berpikir untuk merubah posisinya. "Mbak gimana kalau kita rubah juga sofa yang di sana. Kayaknya penataannya bikin ruangan terkesan sempit."
Sebagai pekerja, Iis hanya ikut saja apa yang Maira suruh. Semua terlihat berbeda setelah Maira menata ulang letak barang-barang. Maira merasa ada nuansa baru di rumah yang ia tempati sejak tiga bulan lalu itu.
Ia menatap ke dinding. Foto mendiang Raswa masih terpajang di sana, begitu juga yang ada di kamarnya. Maira menarik napas dalam. Ia tak bisa menurunkan foto ini karena pasti Arka akan marah, sebab itu ia hanya memindahkannya saja.
Kadang terbesit rasa cemburu di hati Maira, saat melihat foto Raswa yang terpajang di setiap sudut rumah ini. Wanita itu terus dikenang meski sudah tiada, sementara dirinya yang masih hidup dan berstatus istri justru tak pernah diacuhkan. Bahkan foto pernikahannya, tak satu pun ada yang dipajang.
Sekali lagi, Maira mencoba menghibur diri sendiri. Ia tak kurang apa pun secara materi, semua pengobatan ibunya selama tiga bulan ini juga lancar. Juga biaya kuliah Syafa, semua tak ada kendala. Lalu apa lagi yang ia inginkan. Kalau hanya perhatian dari Arka, ia tak harus mengharapkan. Biarkan saja semua seperti ini sampai pria itu bosan sendiri. Mungkin nanti ia akan melepaskan Maira dengan senang hati.
"Maaf, Bu, Maira belum bisa menjadi anak yang baik seperti yang ibu inginkan. Tapi Maira janji, Maira akan buat hidup Ibu dan Syafa bahagia, meski itu harus mengorbankan hidup Maira sendiri." Hanya membayangkan ibunya saja, air mata Maira mendadak membasahi pipi.
Maira segera menghapusnya. Mencoba tegar dengan segala masalah hidup yang harus ia tanggung sendiri.
Malam hari saat Arka pulang, pria itu langsung ngamuk. Teriak-teriak memanggil Maira.
"Maira ... Mai!"
Arkan masih menatap nyalang akan penampakan rumahnya yang berbeda. Bahkan foto Raswa juga berpindah tempat.
"Maira!" teriaknya tak sabar. "Mai!"
"Iya, Mas, ada apa?" tanya Maira setelah lari tergopoh-gopoh demi panggilan Arka.
"Apa ini?" tunjuk Arka pada sofa yang tadi Maira pindahkan.
"Kenapa memangnya, Mas?"
"Kenapa?" Mata Arka membelalak marah.
"Siapa yang memberi ijin sama kamu buat mindahin semua barang-barang di rumah ini. Siapa?" bentak Arka.
"Mas, aku hanya ...."
"Hanya apa?" potong Arka cepat.
"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Deg!
Hati Maira mencelos. Hancur berkeping-keping mendengar apa yang Arka ucapkan. Maira seolah diingatkan akan posisinya di dalam pernikahan ini. Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya pengasuh!
Selama ini Arka hanya menganggapnya pengasuh, bukan istri!