NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 / THTM

Sejak kejadian itu, Nayara tak bisa tenang.

Setiap kali mendengar suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya langsung meloncat seperti mau keluar dari dada. Ia bahkan tak lagi menikmati tidur siangnya, karena bayangan Alaric selalu hadir di antara kelopak matanya yang setengah terpejam.

Setiap suku katanya seperti tali yang menjerat pelan tapi pasti.

Hari itu, ibunya pulang lebih awal dari rumah besar keluarga Elara. Melihat wajah putrinya yang pucat, wanita itu duduk di sisi tempat tidur Nayara.

“Nay, kamu masih sakit?”

“Enggak, Bu. Cuma capek.”

“Kalau masih capek, besok gak usah bantu ibu dulu ya. Biarkan Ibu sama Bapak aja.”

Nayara mengangguk kecil, tapi pikirannya jauh. Ia ingin bicara… tapi bagaimana mungkin ia menjelaskan sesuatu yang bahkan tak bisa diucapkan?

Bagaimana ia bilang pada ibunya bahwa pria yang begitu dihormati keluarga Elara, ternyata diam-diam mengintainya seperti bayangan hitam?

Malam turun cepat. Rumah kecil itu terasa sepi.

Ayah dan ibunya masih belum pulang dari pekerjaan, dan Nayara duduk di depan jendela, menatap bintang samar di langit kota.

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

Sebuah pesan muncul.

Dari nomor tak tersimpan — tapi Nayara tahu betul siapa pengirimnya.

[Datang ke kafe depan taman jam 8. Sendiri.]

Tanpa nama. Tanpa penjelasan.

Tapi pesan itu cukup untuk membuat tangan Nayara gemetar.

Ia menatap jam dinding — 7.15 malam.

“Aku gak mau… aku gak bisa terus begini,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi bahkan suara hatinya terdengar lemah.

Satu bagian dirinya ingin menolak, tapi bagian lain… takut.

Takut rahasianya pecah. Takut wajah ibunya hancur karena malu.

Akhirnya, tanpa sadar, ia berdiri dan berganti pakaian.

Langkahnya menuju pintu terasa berat, tapi tetap saja melangkah.

Kafe itu tidak jauh dari taman tempat ia dulu sering menangis diam-diam.

Lampu gantungnya berwarna kuning hangat, menimbulkan suasana yang nyaris menenangkan — tapi hati Nayara justru makin bergetar.

Alaric sudah di sana. Duduk di meja sudut, mengenakan kemeja hitam yang digulung di lengan, wajahnya tenang tapi tajam.

Tatapannya seperti bisa membaca seluruh isi kepala Nayara.

“Kau datang.”

“Aku takut gak datang…” jawab Nayara pelan.

“Bagus. Artinya kau tahu tempatmu.”

Nayara menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung tas.

“Kenapa terus menekan aku? Apa gak cukup malam itu aja?”

“Kau pikir aku cuma mau satu malam?”

“Aku… aku cuma manusia biasa, Kak. Aku gak minta ini semua terjadi.”

“Tapi itu sudah terjadi.”

Kalimat itu menampar tanpa suara.

Alaric bersandar santai, tapi matanya tidak pernah melepaskan pandangan dari wajah Nayara.

“Kau tahu, Nayara… kadang orang gak sadar betapa berartinya sesuatu sampai mereka takut kehilangannya.”

“Aku gak ngerti maksud Kakak.”

“Aku juga gak ngerti. Aku cuma tahu, setiap kali aku gak lihat kau, rasanya… aneh.”

Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang lebih gelap.

Nayara menatapnya bingung — pria itu bicara seolah ada perasaan, tapi caranya memperlakukan dirinya seperti permainan.

“Jadi… sekarang Kakak maunya apa?”

“Aku cuma mau kau nurut.”

“Dan kalau aku gak nurut?”

“Kau tahu jawabannya.”

Hening.

Kedua mata itu saling menatap, tapi Nayara lebih dulu mengalah.

Ia tahu, tak ada gunanya melawan.

Alaric berdiri, menepuk bahunya perlahan.

Bukan lembut — tapi juga bukan kasar.

Hanya seperti pengingat bahwa Nayara miliknya, setidaknya dalam pikirannya sendiri.

“Aku akan menjemputmu besok. Jangan buat aku marah lagi.”

“Untuk apa?”

“Untuk sesuatu yang cuma aku dan kau yang tahu.”

Setelah berkata begitu, Alaric pergi.

Meninggalkan aroma parfum yang sama seperti malam itu — yang kini menjadi pengingat sekaligus kutukan.

Nayara masih duduk di kursi itu bahkan setelah pelayan menatap aneh karena tamunya sudah pergi.

Ia menatap kosong ke gelas yang sudah dingin, lalu menarik napas panjang.

“Aku gak mau… tapi kenapa tubuhku gak bisa berhenti gemetar waktu lihat dia?”

Air mata jatuh diam-diam, tapi ia tidak menghapusnya.

Hatinya sudah terlalu penuh untuk menangis lagi.

——————

Beberapa hari kemudian tepat saat Pukul delapan malam setelah beberapa hari ini Alaric tidak mengganggunya. Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang masuk lewat jendela kecil di kamar Nayara.

Ia baru saja selesai mengganti perban di kakinya — hasil keserempet motor tempo hari. Luka itu belum benar-benar kering, tapi setidaknya tak lagi nyeri seperti di awal.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah di depan rumah.

Pelan… tapi pasti.

Langkah itu terlalu berat untuk ukuran ibunya, dan terlalu teratur untuk ayahnya yang biasa berjalan tergesa.

Derap itu berhenti di depan pintu.

Lalu, suara ketukan — tiga kali, cepat dan tegas.

“Nayara.”

Suara itu membuat darahnya berhenti mengalir sejenak.

Ia menelan ludah. “Kak Alaric?”

Pintu terbuka sebelum sempat dijawab.

Pria itu berdiri di ambang, mengenakan kemeja abu yang digulung di lengan. Di tangannya ada kotak kecil berwarna putih.

“Aku dengar kakimu masih sakit,” ucapnya datar, seolah wajar saja ia datang malam-malam begini ke rumah gadis yang jelas bukan siapa-siapa baginya.

Nayara terdiam, bingung antara marah dan takut.

“Ngapain Kakak ke sini?”

“Ngobatin.”

“Aku bisa sendiri.”

“Bisa bukan berarti harus.”

" Nanti,,, "

" Tenang, orangtua mu hari ini sepertinya tidak akan pulang. Ada banyak kerjaan di rumah yang harus di selesaikan. " Alaric sangat tau apa yang membuat Nayara cemas.

Alaric melangkah masuk tanpa menunggu izin.

Langkahnya pelan tapi mantap, dan setiap gerakan terasa penuh kendali.

Ia menarik kursi kecil di samping tempat tidur Nayara, lalu meletakkan kotak obat di atas meja.

“Duduk.”

“Kak—”

“Duduk, Nayara.”

Nada suaranya dalam, nyaris seperti dokter yang sedang memerintah pasiennya — tapi di balik itu ada sesuatu yang membuat Nayara tak sanggup menolak.

Ia menurut, duduk di tepi kasur sambil menunduk.

Alaric membuka kotak itu.

Di dalamnya ada alkohol, kapas, plester, dan salep luka bakar. Semua lengkap.

Ia mengambil kapas, menuang sedikit cairan antiseptik, lalu menatap luka di pergelangan kaki Nayara.

“Masih perih?”

“Sedikit…” jawabnya pelan.

Alaric bekerja tanpa banyak bicara. Gerakannya hati-hati, seperti seseorang yang benar-benar tahu apa yang sedang ia lakukan.

Kapas itu menyentuh kulit Nayara dengan lembut, tapi rasa dingin alkohol membuat gadis itu mengerjap kecil.

Ia menatap wajah Alaric sekilas — rahangnya yang tegas, tatapan mata yang fokus pada luka, bukan pada dirinya.

Untuk sesaat, hatinya bergetar aneh.

Sisi Alaric yang ini… terlalu berbeda dari sosok yang mengancamnya tempo hari.

“Kak…” suaranya nyaris berbisik.

“Hm?”

“Kenapa repot-repot ke sini? Bukannya Kakak sibuk?”

“Aku punya waktu untuk hal penting.”

“Ngobatin aku itu hal penting?”

“Ya.”

Jawaban singkat itu membuat Nayara terdiam.

Ia ingin marah, ingin bilang bahwa semua ini salah Alaric juga. Tapi lidahnya kelu.

Setelah selesai membalut luka, Alaric menghela napas pelan dan menatapnya.

“Kau gak hati-hati. Kalau luka ini infeksi, kau bisa gak bisa jalan berhari-hari.”

“Aku gak sengaja, Kak. pagi itu aku buru-buru.”

“Jangan buru-buru lagi. Aku gak mau lihat kau jatuh.”

Nada itu lembut, tapi tatapannya tetap menusuk — campuran antara perhatian dan penguasaan.

Nayara merasa jantungnya berdebar aneh.

Setiap kali pria itu bicara, dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua.

“Kau ingat waktu aku bilang jangan buat aku marah?” Alaric berbisik pelan.

“I-ingat…”

“Bagus. Tapi ini bukan tentang marah, Nayara. Ini tentang jaga dirimu. Kalau kau terluka lagi, aku gak janji bisa diem.”

Ucapan itu terdengar ambigu — antara ancaman dan kepedulian.

Nayara menatap matanya lama, lalu mengalihkan pandangan.

Ia tak tahu harus merasa apa.

Di satu sisi, hatinya berteriak menolak.

Di sisi lain, tubuhnya diam — bahkan tak menjauh ketika jari Alaric tanpa sadar menyentuh pergelangan kakinya sedikit lebih lama dari seharusnya.

“Udah. Gak usah disentuh dulu perbannya. Besok ku ganti lagi,” katanya akhirnya sambil berdiri.

“Gak usah repot, Kak.”

“Aku yang repot, aku yang tentuin.”

Nayara menghela napas kecil, tidak menjawab.

Ketika pintu hampir tertutup, ia sempat mendengar suara Alaric pelan dari baliknya.

“Tidurlah. Kalau kau butuh sesuatu… panggil aku.”

Setelah itu sunyi.

Nayara menatap perban di kakinya, lalu menyentuhnya pelan.

Hatinya masih bergetar.

Ia benci mengakuinya, tapi sentuhan itu terasa… aman.

Dan justru itulah yang menakutkannya.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!