Karena pengaruh obat, Atharya sampai menjadikan gadis desa sebagai pelampiasan nafsunya. Tanpa di sadari dia telah menghancurkan masa depan seorang gadis cantik, yaitu Hulya Ramadhani.
Akan kah Hulya ihklas menerima ini semua? Apakah Atharya akan bertanggung jawab?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desty Cynthia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar Memasak
"Mas kita jadi pindah hari ini?"
"Jadi sayang nanti sore aja yah, jadi kita bisa langsung istirahat." Ucap Athar.
Hulya nampak ragu untuk bicara, ia takut suaminya tak akan setuju. Ia menggigit bibir bawahnya dan meremas ujung hijabnya. Athar yang heran melihat istrinya kebingungan pun akhirnya bertanya.
"Kamu kenapa hmm?"
"Maaf mas... Sebenarnya, aku takut kalau kita pindah. Nanti kan mas pasti kerja di luar. Terus aku sendirian di rumah, aku takut ka_eum maaf mas." Ucap Hulya, ia menunduk lemah dan menitikan air mata.
Sejujurnya ia masih trauma jika sendirian dirumah. Ia takut ada orang asing atau penjahat yang masuk. Athar menghela nafasnya, ia menatap wajah istrinya dan membelainya lembut.
Athar memeluk istrinya erat. Ia merasa sangat bersalah karena dirinya lah Hulya mengalami trauma. Ia akan mendiskusi kan hal ini pada orang tuanya.
"Jadi kamu mau di sini?"
"Ii-iya mas, di sini ada mamih sama papih. Kak Zena juga seminggu sekali pasti pulang ke sini. Kak Alana juga tinggal di sebelah. Itu juga kalau di ijinin sama mamih dan papih." Tutur Hulya lembut.
"Iya sayang... Nanti kita bicarakan ini sama mamih dan papih yah. Aku tidak keberatan kalau kamu mau di sini, justru aku takutnya kamu enggak nyaman tinggal sama mertua. Biasanya kan wanita di luaran sana enggak betah kalau sama mertua." Jawab Athar.
Hulya tidak ingin hal yang sama terulang lagi. Ia hanya ingin menghilangkan traumanya. Meskipun Athar menikahinya tetap saja trauma yang ia alami masih membekas di benaknya.
-
-
-
"Kenapa, Thar?" Tanya papih Al.
Kini Athar dan istrinya ada di hadapan orang tuanya. Ia ingin menyampaikan keinginan istrinya itu. Dan Athar juga akan meminta pendapat tentang trauma yang istrinya alami. Apakah Hulya sebaiknya menjalani terapi atau tidak.
Orang tua Athar mengerti, mereka pun tak keberatan sama sekali jika Hulya ingin tinggal di sana. Justru mereka senang, rumah jadi ramai.
"Mamih senang kalau kalian tetap mau di sini. Tapi kalau kamu dan Hulya ingin mandiri, mamih dan papih akan tetap mendukung kalian apapun keputusannya." Ucap mamih Aleesya.
"Untuk Hulya, nanti papih akan hubungi doktor Ikke, beliau psikolog. Dulu beliau yang menangani traumanya mamih. Mungkin nanti kita tunggu jadwal dulu dari doktor Ikke." Lanjut papih Alarich.
"Ma-maaf pih.. Psikolog itu apa? Hehehe maaf ya pih, soalnya Hulya hanya tamatan SMA." Celetuk Hulya dengan polos.
Mertua Hulya pun tertawa kecil dengan kepolosan menantunya ini. Athar mengelus kepala istrinya lembut. Ia menjelaskan dengan bahasa bayi pada istrinya agar mudah di cerna.
"Ohh... Ya udah aku mau mas."
"Iya sayang, nanti biar papih yang urus yah. Ini rumah kamu juga, jangan sungkan yah. Mamih dan papih juga kan orang tua kamu hehehe." Tutur mamih Aleesya.
"Terima kasih ya mamih dan papih sudah menerima Hulya. Maaf Hulya belum bisa jadi menantu yang sempurna." Lirih Hulya.
"Ssttt jangan bicara seperti itu. Manusia tidak ada yang sempurna, begitu pun kami." Lanjut mamih Aleesya lembut.
-
-
-
Selesai mengobrol dengan mertuanya, Hulya dan Athar kembali ke kamar. Hulya menarik tangan suaminya dan menatapnya.
"Mas benarkan enggak marah kalau kita di sini dulu? Setidaknya sampai aku sembuh." Lirih Hulya.
"Lihat aku...! Kelihatannya gimana? Aku enggak marah sayang. Masa gitu aja marah? Apalagi kamu sekarang sedang hamil anak kita. Ada bagusnya juga kita di sini. Jadi banyak yang jagain kamu kalau aku kerja."
Hulya memeluk suaminya duluan, ia masih tak enak hati pada suaminya ini. Hulya berjanji akan berobat demi kesembuhan mentalnya. Apalagi suaminya sudah menyiapkan rumah masa depan untuk dirinya dan anak anaknya kelak.
"Iya sayang, aku pasti temani kamu pengobatan sampai sembuh. Mamih juga dulu berobat sewaktu lagi hamil kak Atha sama Kak Alana, kalau kata mamih." Lanjut Athar.
"Kok bisa pas ya mas hehhe. Oh iya mas.. eum aku mau belajar masak lagi boleh? Sebenarnya aku bisa sih, tapi peralatan masak di sini canggih canggih. Aku enggak ngerti."
"Ya udah yuk mas ajarin sekarang."
Athar dan istrinya ke bawah lagi menuju dapur. Namun mamih Aleesya menyuruh Athar dan Hulya agar pindah ke kamar bawah, terlebih Hulya sedang hamil.
"Iya mih, Hulya gimana mas Athar aja."
"Besok nanti minta tolong mbok aja yah, mamih khawatir sama kamu." Ucap mamih Aleesya lembut.
Hulya dan Athar mengangguk pelan. Mereka lanjut ke dapur. Athar menjelaskan beberapa peralatan di dapur. Hulya mendengarkan dengan seksama.
"Mas tunggu di sini, aku masakin yah." Hulya mendudukkan suaminya di kursi.
Hulya mulai memotong motong bahan yang akan ia gunakan, suaminya menopang dagu dengan kedua tangannya. Athar tersenyum hangat melihat istrinya yang sedang masak.
Dengan kelihaiannya Hulya memasak makanan kesukaan suaminya. Ia juga membuat jus strawbery. Athar menatap istrinya dengan tatapan hangat dan penuh cinta. Ia tersenyum manis.
Hulya menata makanan dan minumannya di meja. "Selamat makan masku...!" Ucap Hulya dengan wajah yang ceria.
Tangan Athar menarik istrinya ke pangkuannya. "Mas jangan gini, malu. Nanti kalau mamih lihat gimana." Rengek Hulya.
"Diam sayang, kamu udah kayak cacing hihi. Suapin aku aaaa... Mana?"
Mata Hulya celingukan kesana kemari, ia takut ada yang melihat. "Aman... Sini mas." Hulya mulai menyuapi makanan itu ke mulut suaminya.
"Aman sayang...tenang aja. Tuh ada cctv hahaha."
Mata Hulya melotot, ia tak kepikiran sampai sana. Ia melihat ke atas. Ternyata benar ada cctv. Hulya langsung berdiri merapihkan pakaiannya.
Athar tertawa sumbang melihat tingkah istrinya yang sangat menggemaskan. "Mas jahil... Udah aku mau ke kamar malu tahu." Ucap Hulya kesal.
Athar berdiri dan memeluk istrinya erat. Namun Hulya tak membalasnya ia masih sedikit kesal dengan suaminya ini.
"Jangan ngambek donk sayang, kita juga enggak aneh aneh disini. Wajar donk aku pangku kamu, kita kan udah halal. Oh iya masakan kamu enak banget."
Namun Hulya tak menjawabnya. Ia belum terbiasa bermesraan di tempat umum. Meskipun ini rumah mertuanya ia merasa malu. Kalau sekedar berpegangan tangan dan berpelukan ia masih tak masalah.
Tapi jika sudah seperti tadi, Hulya takut suaminya akan nafsu. Ia hanya menjaga itu saja. Hulya pun menjelaskan isi hatinya pada suaminya.
"Iya sayang...maaf yah. Kita juga bermesraan di luar masih dalam batas wajar kok."
"Maaf ya mas, kalau aku kekanakkan seperti ini. Aku belum terbiasa. Karena orang tuaku tidak pernah memamerkan kemesraan mereka." Lirih Hulya.
Athar mengelus punggung istrinya dan mencium kening istrinya lembut. "Iya sayang, aku mengerti. Tapi kalau di kasur boleh kan?" Ucap Athar dengan mata genitnya.
Hulya menutup mulut suaminya dengan tangannya. "Tuh kan mas... Kalau ada yang dengar gimana? Nanti mbok dengar. Ayo cepat habiskan makanannya."
"Hahaha lucu banget sih."
CUP
Athar mengecup bibir ranum istrinya sekilas dan kembali duduk memakan masakan istrinya.
"Massss.....!"