NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 TEROR LEAK Part 13

Bagus dan Mang Dirga bergegas menuju rumah si nenek yang bernama Ni Luh Pertiwi. Mereka meninggalkan Marni yang masih pingsan di rumah dengan pintu terkunci rapat dan jimat tergantung di setiap sudut. Teriakan yang mereka dengar sebelumnya berasal dari Kadek Sari, bukan si gadis yang sudah meninggal, melainkan adik perempuannya yang berusia sepuluh tahun, yang kebetulan memiliki nama yang sama. Suaranya melengking, seperti jeritan dari mimpi buruk yang bocor ke dunia nyata.

Pemandangan yang mereka lihat membuat hati Bagus menjerit, seolah-olah tubuhnya ditusuk dari dalam. Ni Luh Pertiwi, nenek bijak yang selama ini menjadi penjaga tradisi dan pemberi peringatan samar, terbaring tak bernyawa di lantai rumahnya yang gelap. Di bagian lehernya tampak bekas cekikan yang aneh. Bekasnya seperti bukan milik tangan manusia, tapi lebih seperti luka bakar berbentuk jari-jari yang terlalu panjang dan kurus, seperti tangan milik makhluk yang mengerikan dengan wujud menyeramkan.

Wajah nenek itu membiru, membeku dalam ekspresi ketakutan yang ekstrem, matanya terbuka lebar, mulutnya menganga seolah-olah masih ingin berteriak. Di sampingnya, adik Kadek Sari yang masih kecil itu menggigil ketakutan, tubuhnya kaku, matanya kosong.

“Dia... dia datang... bayangan tinggi...” adalah satu-satunya kalimat yang bisa diucapkan gadis kecil itu sebelum akhirnya pingsan di pelukan Mang Dirga.

Mang Dirga memeriksa tubuh Ni Luh Pertiwi dengan wajah suram, tangannya gemetar saat menyentuh kulit si nenek yang sudah dingin. “Dia dibunuh karena tahu terlalu banyak,” gumamnya. “Dia adalah ‘Telinga Langit’. Dia bisa mendengar rencana mereka sebelum mereka sempat eksekusi. Dan itu membuat si nenek berbahaya bagi para Leak.”

Pembunuhan Ni Luh Pertiwi bukan sekedar tragedi. Kematiannya adalah pesan yang jelas, ditulis dengan teror dan ketakutan. Di desa ini tidak ada lagi yang aman. Bahkan orang yang paling dihormati sekali pun bisa dibungkam.

Kepanikan yang selama ini tertahan di dada warga desa Banjaran kini mencapai titik puncaknya. Beberapa warga yang masih waras memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan desa dengan membawa barang seadanya, anak-anak digendong, sesajen dibungkus kain. Tapi...tak lama kemudian, belum lama mereka pergi, mereka malah kembali lagi dengan wajah pucat, mata yang menatap pasrah, dan langkah mereka tampak goyah.

“Jalan keluar dari desa... hilang,” lapor salah satu dari mereka, gemetar. “Kabut tebal tiba-tiba turun. Padahal kita berjalan lurus, tapi kembali ke sini lagi. Kita terjebak di sini!”

Uji coba oleh warga lain membuktikan hal yang sama. Setiap jalan keluar dari Desa Banjaran berputar-putar dan mengantarkan mereka kembali ke titik awal. Bahkan sinyal telepon seluler hilang sama sekali, terputus dari dunia luar.

Desa Banjaran telah menjadi sebuah tempat yang terisolir karena dikelilingi oleh kabut gaib, seperti sebuah penjara yang tak terlihat. Langit tetap biru, tapi udaranya terasa mencekik dan pengap. Burung-burung tidak lagi berkicau, dan bayangan pohon tampak lebih mengerikan dari biasanya.

Kepala Desa Made Tulus, yang otoritasnya sudah runtuh, terlihat semakin linglung. Dia berjalan mondar-mandir di balai desa, mengoceh sendiri tentang “kutukan leluhur” dan “perang yang belum selesai”. Dia mencorat-coret lantai dengan arang, menggambar simbol-simbol yang tidak dikenali. Pemerintahan desa efektif sudah tidak ada. Hukum yang berlaku sekarang adalah hukum teror, dan teror tidak mengenal belas kasihan.

Akhirnya Bagus membawa Marni yang sudah sadar tapi masih lemah ke gubuk Mang Dirga, tempat yang dianggap paling aman, atau setidaknya minus bahaya daripada rumah Marni yang sudah dikepung amuk massa. Di sana, dengan penerangan lentera minyak yang berkelap-kelip, Mang Dirga akhirnya menunjukkan naskah kuno yang ditemukan Bagus. Kertasnya sudah rapuh, namun tinta darahnya masih berbau besi.

“Memang,” ucap Mang Dirga dengan berat. “Ritual ini adalah satu-satunya cara. Ritual Panglukatan Agung (pembersihan Agung). Tapi seperti yang kau baca, butuh pengorbanan. Darah dari orang yang tulus mencintai Leak Warisan itu, yang rela mati untuk menebus kutukan darahnya.”

Bagus menatap naskah itu, lalu menatap Marni yang terbaring lemah, nafasnya berat, kulitnya sangat pucat. “Maksudnya... nyawa saya?” tanya Bagus.

“Tidak,” jawab Mang Dirga pendek. “Cintamu padanya tulus, tapi kau tidak terkait dengan kutukan ini oleh darah. Pengorbanan harus dari keluarga dekat. Satu-satunya keluarga dekat Marni yang masih hidup adalah...” Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi Bagus sudah mengerti.

“Ayahnya, kan? Tapi dia hilang! Kita tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah...!”

“Atau...” potong Mang Dirga menarik nafas dalam-dalam, “AKU.”

Bagus terkejut. “Anda? Tapi...”

“Aku adalah saudara sepupu ibunya, Ida Rengganis. Aku adalah keluarga satu darah. Dan... aku punya dosa di masa laluku.” Mata Mang Dirga berkaca-kaca, suaranya bergetar. “Dulu, aku mencintai Rengganis. Tapi ketika warisannya bangkit, aku ketakutan. Aku melarikan diri dan meninggalkannya sendirian. Ketakutan dan pengkhianatanku itu yang membuatnya jatuh lebih dalam ke kegelapan. Aku telah hidup dengan penyesalan ini selama puluhan tahun. Sekarang, inilah waktunya untuk menebusnya.”

Bagus tidak bisa berkata apa-apa. Dia melihat Mang Dirga bukan lagi sebagai dukun tua, tapi sebagai manusia yang telah menanggung beban selama hidupnya. Penyesalan yang tidak pernah diucapkan, cinta yang tidak pernah ditebus.

“Ritualnya harus dilakukan di Pura Kahyangan, pura tertua di atas bukit, saat bulan purnama puncak besok malam. Kita harus membawa Marni dan pusaka pisau Tiuk-nya. Aku akan memimpin ritual, dan pada puncaknya, aku akan memberikan nyawaku untuk memutus mata rantai kutukan, sekaligus membuka jalan bagi Marni untuk menguasai warisannya tanpa dikuasai oleh ibunya.”

Rencana itu terdengar mengerikan, tapi masuk akal. Hanya saja, ada masalah besar. Untuk mencapai Pura Kahyangan, mereka harus melewati hutan yang sekarang dikuasai oleh Leak dan warga desa Banjaran yang sudah membenci mereka. Hutan itu bukan lagi tempat bagi pepohonan dan burung, tapi tempat bayangan berjalan dan suara-suara berbisik dari balik akar.

“Kita tidak bisa melakukannya sendirian,” gumam Bagus. “Kita butuh bantuan.”

Tepat saat Bagus berkata demikian, terdengar ketukan pelan di pintu gubuk. Bagus bangkit dan mengintip melalui celah. Di luar gubuk berdiri sosok Gede Raka, pemuda pemalu yang sering membantu upacara. Wajah Gede Raka tampak pucat pasi, tapi matanya menyala penuh tekad. Tangannya pun gemetar.

“Saya... saya mau bantu,” bisik Gede Raka. “Saya lihat semuanya. Ni Luh Pertiwi adalah bibiku. Saya tidak bisa diam saja.”

Gede Raka mengulurkan sebuah keris kecil, bilahnya berkilau samar. “Saya tahu jalan rahasia ke bukit. Tapi... kita harus cepat. Warga yang dipimpin Komang sedang merencanakan sesuatu. Mereka akan menyerang gubuk ini saat fajar.”

Ancaman baru sudah di depan mata. Mereka terjepit antara teror gaib dari luar dan amuk warga desa dari dalam. Waktu mereka hampir habis. Lentera minyak mulai redup, dan suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.

Dengan Mang Dirga yang siap berkorban, Marni yang masih lemah, dan bantuan tak terduga dari Gede Raka, mereka harus bertarung melawan waktu dan jalan berliku untuk mencapai pura Kahyangan, agar bisa melakukan ritual yang hampir mustahil.

Sementara itu, bayangan Balian Rawa dan Ida Rengganis mengintai dari balik kabut, dan kemarahan warga yang dipimpin oleh Komang siap meledak seperti bom waktu. Tak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Hanya ada satu jalan tersisa. Maju ke dalam kegelapan, dan berharap cahaya masih mengenali mereka.

*

1
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!