NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13

“Kemana mereka?” ulang Ara dengan nada yang mulai cemas. Ia mendongak, menatap langit kelabu yang menggelayut berat. Udara mulai dingin, angin bertiup lembab membawa bau tanah yang khas—tanda hujan akan segera turun.

Ara menghela napas pendek. Sejak turun dari kereta tadi, dia memang sudah sadar Gulf miliknya tertinggal di tas Elvero. Tidak ada gunanya meraba kantong atau membuka tas kecilnya sekarang. Tidak ada alat komunikasi, dan dia tidak tahu di mana Elvero atau Tania berada.

“Aku tidak membawa Gulf,” kata Kael tiba-tiba, menjawab pertanyaan yang tidak dilontarkan.

Ara menoleh padanya cepat, sejenak terkejut. Ia tak yakin, tapi firasatnya—yang kadang menyebalkan karena terlalu peka—berbisik bahwa Kael sedang berbohong.

Namun ia tidak menanggapi. Bukan sekarang. Bukan saat awan menggertak hendak pecah dan orang-orang mulai panik mencari tempat berteduh.

“Kita cari tempat berteduh dulu,” ujar Kael pelan, seolah membaca pikirannya.

Ara hanya mengangguk. Kali ini, ia membiarkan Kael menggenggam tangannya—lebih karena tak ada pilihan lain, daripada karena sepenuhnya percaya.

Mereka baru saja menerobos kerumunan ketika rintik hujan pertama jatuh—dingin, lembut, namun segera berubah menjadi badai kecil yang membuat orang-orang mulai panik. Keramaian seketika berubah menjadi kekacauan. Semua orang berlari mencari tempat berteduh, saling mendorong, saling berdesakan.

Kael masih menggenggam tangan Ara, mencoba menjaga agar gadis itu tetap di sisinya. Tapi tubuh-tubuh besar yang berlalu-lalang mulai mendorong mereka terpisah.

“Ara!” teriak Kael.

Tapi genggaman itu terlepas. Ara terdorong ke belakang, terhuyung, kehilangan pijakan. Kepalanya menoleh, mencoba mencari Kael, namun hanya mendapati wajah-wajah asing yang bergerak tergesa di tengah hujan yang mulai menderas.

Kael menerobos, mencoba mendekat, tapi setiap langkahnya seolah menjauhkan mereka.

Dan di tengah kekacauan itu—di antara langkah kaki yang memburu dan suara hujan yang menghantam bumi—sebuah tangan muncul. Tangan yang kuat, hangat, dan langsung menarik pergelangan Ara dengan cekatan.

Ara terkejut, tubuhnya hampir jatuh jika tangan itu tidak menahannya lebih erat.

Dia menoleh.

Dan dunia seolah membeku sesaat ketika ia melihat siapa yang menariknya keluar dari kerumunan.

Domias.

Dia berdiri di hadapan Ara, setengah tubuhnya basah karena hujan, rambutnya berantakan namun tetap tampak seperti pria dari potret-potret bangsawan. Sorot matanya tajam dan menelusuri wajah Ara seperti sedang mengukur jarak antara ingatan dan kenyataan.

Dia menyeringai. Senyuman itu sama sekali tidak membawa kehangatan.

Tawa lirihnya menyusul kemudian—rendah, seperti gumaman, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Ara berdiri. Tubuhnya menegang seketika.

“Kau semakin mesra dengan adikku,” ujarnya santai, jari-jarinya masih mencengkeram pergelangan tangan Ara, terlalu erat untuk disebut kebetulan. “Membuatku kesal saja.”

Ara tak bisa bergerak. Nafasnya tercekat. Hujan membasahi wajahnya, namun yang lebih menyengat adalah tatapan Domias—tatapan yang mengingatkannya pada luka lama, pada rasa takut yang berakar terlalu dalam.

Domias mengangkat tangan tanpa peringatan, menyentuh bibir Ara dengan ujung jarinya—gerakan lembut yang terasa jauh lebih menakutkan daripada bentakan.

Ara berdiri mematung. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Matanya melebar, menatap Domias seperti rusa kecil yang menyadari ia tengah terjebak dalam pandangan mata serigala.

Tapi Domias tidak hanya menyentuh bibir Ara. Ia menyelipkan ibu jarinya ke sela bibir gadis itu, menekan perlahan namun penuh kuasa. Sebuah tindakan sepele yang terasa sangat pribadi—dan sangat melewati batas.

Ara tersentak, namun tubuhnya tidak bisa bergerak. Ketakutan menahan lututnya, membuat napasnya tertahan. Ia menatap Domias dengan mata membelalak, seperti terjebak dalam mimpi buruk yang terlalu nyata.

Domias menyeringai. Jemarinya yang lain meremas ringan dagu Ara, menahannya tetap menghadap ke arahnya.

“Bibirmu lembut,” bisiknya. Suaranya rendah dan serak, seolah menikmati setiap detik penguasaannya. “Aku suka rasanya.”

Domias tertawa kecil, nada suaranya setajam paku yang digoreskan ke kaca. Ia mencondongkan tubuhnya, membuat jarak di antara mereka tak lebih dari hela napas.

“Apa kau sudah tidur dengan adikku?” bisiknya tajam. “Tampaknya dia sekarang lebih menyukaimu ketimbang Tania.”

Jari-jarinya yang masih menahan dagu Ara terangkat sedikit, memaksa gadis itu menatapnya. Mata Domias tampak berkilat, bukan karena kegembiraan, tapi karena kepuasan akan rasa tidak nyaman yang ditimbulkannya.

“Seleranya sudah berubah, ya?” ia menyeringai, seperti sedang menikmati fakta yang baru saja ia lontarkan. “Dulu dia menyukai perempuan berambut panjang dan lembut. Sekarang dia menatapmu seperti kau satu-satunya yang bisa dia miliki.”

Ara ingin menjauh, ingin menepis tangan itu dari wajahnya, namun tubuhnya menolak. Ketakutan membekukan setiap sendi.

Domias mendekat lebih jauh. Suaranya mengecil, nyaris seperti racun yang dibisikkan langsung ke dalam telinga.

“Bagus. Karena aku pun sedang ingin mencicipi sesuatu yang baru.”

Bibir Domias hampir menyentuh wajah Ara—begitu dekat hingga gadis itu bisa mencium aroma tajam dari napasnya. Tapi detik berikutnya, sebuah tangan menampar udara di antara mereka, menghentikan segalanya.

Kael.

Tangan itu menempel di wajah Domias, menutupi sebagian besar wajahnya, lalu meremas kuat. Ibu jari Kael menekan tulang pipi Domias, sementara jari-jari lainnya menancap ke sisi rahangnya.

Suara serak tertahan keluar dari tenggorokan Domias karena tekanan mendadak itu.

Kael tidak sekadar menghalangi.

Dia menggenggam wajah pria itu seolah ingin menghancurkannya, lalu mendorongnya keras ke belakang hingga Domias tersentak mundur, kehilangan keseimbangan. Ara nyaris terjatuh karena kejadian cepat itu, tapi Kael langsung memindahkan tubuhnya, berdiri sebagai dinding penghalang.

Tanpa menoleh ke belakang, Kael meraih tangan Ara, menggenggamnya erat.

Mata Domias membara. Beberapa temannya langsung mendekat, mengepung Kael perlahan. Tapi Kael tidak goyah. Wajahnya dingin, tatapannya hitam pekat.

Ara hanya bisa menatap punggung Kael, tubuhnya gemetar tapi hatinya—untuk alasan yang tak ia mengerti—berdebar hebat.

Karena di saat semua orang melihat Kael sebagai ancaman, baginya… pria itu terasa seperti satu-satunya tempat aman di dunia ini.

“Pahlawan berkuda putih muncul.”

Domias menyeringai lebar, bahkan tertawa pendek saat Kael mendorongnya menjauh.

Nada suaranya mengejek, namun matanya menyala penuh provokasi. “Kau bahkan tampak lebih tampan saat marah, Kael. Membuatku semakin yakin kenapa gadis kecil ini bisa beralih dari orang sepertiku ke orang sepertimu.”

Kael tidak menjawab. Tidak juga bereaksi secara emosional.

Dia hanya berdiri diam, satu tangan tetap menggenggam tangan Ara—erat dan protektif. Tubuhnya menjadi tembok yang mustahil ditembus.

Sementara Domias melangkah maju satu langkah lagi, menantang.

“Aku hanya bercanda. Sedikit main-main tak akan membunuh, bukan?”

Ia menatap Ara sambil mengangkat alisnya. “Lagipula dia tidak bilang tidak.”

Itu kalimat terakhir yang membuat napas Kael berhenti sejenak.

Bukan karena ragu. Tapi karena itu cukup alasan untuk menghapus logika.

Tanpa peringatan, Kael melangkah maju dan menghantamkan lututnya ke perut Domias.

Bukan untuk menyakitinya. Tapi untuk membuatnya kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Domias terlipat. Dua detik kemudian, Kael meraih kerah bajunya dan menariknya mendekat. Lalu meninjunya. Tapi Domias masih punya tenaga untuk bangkit.

“Akhirnya, si dingin ini juga bisa panas,” gumam Domias sambil meludahkan darah dari sudut bibirnya. “Kukira kau hanya bisa menatap tajam dan jalan lurus seperti boneka rusak.”

Dia membalas. Tinju Domias mendarat di rahang Kael—keras, cukup membuat kepala Kael menoleh. Tapi bukan membuatnya mundur. Justru membuatnya diam.

Diam yang menyeramkan.

Dan dalam sepersekian detik, tubuh Kael melesat.

Satu pukulan lurus ke pipi Domias.

Satu lagi menghantam tulang rusuknya.

Sikut Kael mendarat di pelipis Domias, dan tubuh pria itu limbung sebelum salah satu temannya maju, mencoba menyerang Kael dari belakang.

Kael berbalik cepat, menangkap lengan pria itu dan memelintirnya ke arah berlawanan, membuat teriakan kesakitan terdengar di tengah guyuran hujan yang mulai turun deras.

Suasana jadi kacau. Dua teman Domias ikut melompat ke arah Kael. Ara mundur, terpaku, jantungnya berdetak terlalu cepat untuk menghitung detik. Dia melihat Kael—pendiam, selalu tenang Kael—bergerak seperti bayangan gelap yang tak bisa dihentikan.

Namun mereka kalah jumlah. Satu pukulan mendarat di pelipis Kael, membuatnya terhuyung. Darah mengalir dari sudut alisnya.

Domias tertawa. “Kau bukan pahlawan, Kael. Kau hanya lelaki putus asa yang tidak tahu diri.”

Dan Kael… kembali menyerang. Brutal. Membabi buta. Tanpa suara.

Hingga suara riuh mulai datang. Beberapa orang dewasa dan panitia festival melihat keributan itu dan langsung melerai. Dua pria menarik tubuh Kael ke belakang dengan tenaga penuh. Sementara yang lain menahan Domias yang masih mencoba melepaskan diri, hendak menyerang kembali.

“Apa kalian gila? Ini tempat umum!” teriak seseorang.

Ara masih berdiri mematung. Pundaknya basah, rambutnya basah. Tapi matanya hanya tertuju pada Kael.

Kael yang berusaha melepaskan diri dari pegangan dua orang besar sambil terus menatap Domias—dingin. Membeku. Seolah mengatakan bahwa pertarungan ini belum selesai.

Dan memang belum.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!