Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Teman Lama, Luka Baru
Setelah malam pengakuan itu, segalanya berubah. Tak ada lagi basa-basi. Tak ada lagi pura-pura. Aku tahu kini berada di posisi yang sebenarnya: istri, tapi bukan prioritas. Dan anehnya, walau menyakitkan, kejujuran itu memberikan ruang. Aku bisa bernapas, meski tetap terseok.
Sejak itu, aku mulai mencari kembali diriku yang hilang. Menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengikuti kelas menulis, dan kembali ke tempat-tempat yang dulu pernah kuanggap rumah bagi pikiranku. Salah satunya adalah sebuah kafe kecil di ujung kota, tempat yang dulu sering kudatangi sebelum menikah. Di sana, aroma kopi dan suara tuts keyboard selalu mampu menenangkan hatiku.
Hari itu, aku sedang mengetik di laptop sembari menyesap kopi latte hangat. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Nayla?”
Aku menoleh cepat, dan mataku membelalak. “Rian?”
Ia tersenyum. Senyum itu aku mengenalnya. Dulu pernah menjadi tempat ternyaman bagiku untuk bercerita, tertawa, dan menangis saat SMA. Aku sempat kehilangan kontak dengannya sejak lulus kuliah. Tapi ternyata dunia ini memang kecil.
“Masih ingat aku, dong?” tanyanya, menyeringai seperti dulu.
“Tentu. Gimana bisa lupa orang yang dulu selalu pinjam catatan tapi nggak pernah balikin?” sahutku, ikut tertawa.
Rian duduk di kursi seberangku, tanpa canggung, seperti waktu tak pernah benar-benar memisahkan kami.
“Aku baru balik dari Jakarta. Ibuku sakit, jadi aku pulang dulu sementara. Eh, nggak nyangka ketemu kamu di sini.”
Aku tersenyum. “Aku juga nggak nyangka. Udah berapa tahun ya, sejak terakhir kita ngobrol?”
“Enam? Tujuh tahun?” katanya, mengangkat alis. “Kamu... terlihat berbeda. Lebih dewasa.”
Aku terkekeh, menyesap kopi. “Semua orang berubah.”
“Tapi nggak semua orang berubah jadi lebih tenang dan... kelihatan sedih,” ucapnya pelan.
Aku terdiam. Entah dia terlalu peka, atau memang sorot mataku tak mampu menyembunyikan luka yang selama ini kupendam. Tapi aku memilih mengalihkan.
Kami mengobrol lama sore itu. Rian kini bekerja sebagai desainer grafis lepas, sering mendapat proyek luar negeri. Ia masih jenaka, masih cerdas, dan... masih membuatku nyaman. Tapi tentu saja, aku tak akan membiarkan diri larut dalam kenyamanan semu. Aku sudah belajar, bahwa hati bisa sangat licik saat merasa sepi.
Beberapa hari kemudian, kami bertemu lagi. Kali ini di taman kota. Ia mengajakku jalan-jalan sore, katanya sekadar melepas penat. Aku setuju, karena setidaknya, di sisinya, aku bisa merasa seperti manusia biasa bukan hanya seorang istri yang tak pernah dipilih.
“Aku nggak tahu banyak soal kehidupan rumah tanggamu,” katanya tiba-tiba, saat kami duduk di bangku taman.
" Dan kamu nggak perlu tahu,” balasku cepat. Tapi nada suaraku tak setegas yang kuinginkan.
Rian menatapku. Matanya tenang, tak menghakimi. “Aku cuma ingin bilang, kamu pantas bahagia, Nay. Kamu pantas dipilih, bukan hanya dijadikan pilihan ketika semuanya gagal.”
Kalimat itu menghantam dadaku. Tepat di bagian yang selama ini kututup rapat-rapat. Aku mengalihkan pandangan, menahan air mata yang mulai memanas.
“Jangan bilang begitu,” gumamku. “Kamu nggak tahu apa-apa.”
“Mungkin,” katanya lembut. “Tapi aku tahu kamu selalu berusaha keras untuk bertahan. Dan kadang, yang paling kuat pun butuh seseorang untuk mengingatkan bahwa dia boleh menyerah.”
Aku tak menjawab. Tak mampu menjawab.
Malam itu, saat aku pulang ke rumah, Arvan sedang duduk di ruang tengah. Wajahnya lelah, mata sayunya menatap kosong layar televisi yang menyala tanpa suara. Ia menoleh sebentar saat aku masuk, lalu kembali menatap layar.
“Kamu ketemu siapa hari ini?” tanyanya tanpa menatapku.
Aku terdiam.
"Teman lama,” jawabku akhirnya.
“Yang laki-laki itu?”
Hatiku mencelos. “Kamu ngikutin aku?”
“Enggak,” katanya pelan. “Aku cuma dengar dari teman. Kota ini kecil.”
Kami sama-sama terdiam.
“Aku nggak selingkuh,” kataku.
“Aku tahu,” balasnya. “Dan kamu juga tahu aku nggak pernah benar-benar jatuh cinta padamu.”
Itu lebih menyakitkan dari tuduhan selingkuh. Tapi aku diam. Karena kebenaran memang seringkali lebih kejam daripada dusta.
“Apa kamu mau pisah?” tanyanya akhirnya.
Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, tanpa air mata, tanpa emosi. “Iya. Aku sudah cukup bertahan.”
Dan ia tak menjawab. Hanya menunduk. Dan aku tahu, ini adalah akhir dari semua kepura-puraan.