NovelToon NovelToon
Lelaki Arang & CEO Cantik

Lelaki Arang & CEO Cantik

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Cinta setelah menikah / Nikah Kontrak / Romansa / Ilmu Kanuragan
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.

Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.

Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.

Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pernikahan

Nadya mendengus pelan, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan halusnya yang seputih mutiara, dan dalam satu gerakan cepat meraih kancing kemeja Revan. Ia menatap Revan dengan mata memikat lalu berkata, “Kemeja berkerah ini buatan tangan Italia, khusus dirancang untuk kalangan bangsawan. Tidak memiliki label atau logo, tetapi kancingnya terbuat dari berlian biru Afrika Selatan yang dipoles dengan teknologi mutakhir. Meskipun tampak sederhana, nilai pakaian ini setidaknya mencapai sepuluh miliar rupiah. Apa Anda kira tidak ada yang bisa mengenali barang mewah seperti ini, dan mengira hanya mengenakan kemeja biasa dengan kancing plastik?”

Revan merasa malu, tidak menyangka ada seseorang yang mampu menilai harga sebenarnya dari kemejanya. Namun ia segera mengubahnya menjadi tawa dan berkata, “Nona Nadya memang memiliki wawasan yang luar biasa. Tapi Anda sedikit keliru, berlian biru ini berasal dari Namibia bukan dari Afrika Selatan.”

“Dan Anda masih bilang bukan berasal dari keluarga terpandang? Kemeja yang menggunakan kancing berlian biru Namibia, di Jakarta hanya segelintir orang yang pantas mengenakannya. Berbohong itu sesuatu yang tidak menyenangkan.” Nadya menyipitkan mata, sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Revan menarik napas panjang, menghisap rokoknya satu kali sebelum melempar puntungnya ke sungai. Nada suaranya berubah menjadi lebih berat dan jujur, “Nona Nadya, mari kita bicara secara langsung. Memang Anda cantik, dan aku mengaguminya. Aku ingin tidur dengan Anda, tapi aku tidak perlu berpura-pura menjadi penjual sate ayam hanya demi itu. Aku memang mengatakan diriku hanya seorang penjual sate, tetapi siapa bilang penjual sate tidak boleh memakai pakaian seharga miliaran rupiah? Bisakah Anda mempercayai apa adanya diriku, dan mengganti topik pembicaraan ini ke arah yang lebih menyenangkan?”

“Itu pernyataan yang kasar,” kata Nadya tanpa ragu mengkritik, lalu tersenyum manis seperti bunga. “Namun, aku suka kejujuran Anda. Baiklah, untuk sementara aku akan anggap Anda benar-benar seorang penjual sate ayam. Tapi Revan, aku tidak pernah berniat untuk tidur dengan Anda. Apalagi tidur dengan penjual sate ayam, aku sama sekali tidak tergoda.”

“Lalu untuk apa Anda repot-repot berbicara panjang lebar denganku?” Revan merasa sedikit tertekan. Awalnya berpikir kebetulan bertemu mangsa yang akan melompat ke dalam pelukannya, tapi lawan bicaranya sama sekali tidak memiliki maksud seperti itu.

Nadya tertawa pelan, membuat sepasang bukitnya bergoyang. “Revan, Anda benar-benar pria yang jujur dan polos, lebih menyenangkan daripada mereka yang berpura-pura sopan. Sayangnya, aku bukan wanita seperti yang Anda bayangkan. Alasanku berbicara sejauh ini, hanyalah karena hatiku tadi terasa sedikit sesak.”

“Lalu?”

“Sekarang suasana hatiku jauh lebih tenang, terima kasih atas itu,” ucap Nadya dengan suara ringan. “Jika takdir mempertemukan kita lagi, aku akan mentraktirmu secangkir kopi.”

Usai mengucapkan kata-kata itu, Nadya berjalan anggun menuju Land Rover miliknya. Di tengah langkah, ia berhenti sejenak menoleh ke belakang sambil tersenyum lembut berkata. “Oh ya, satu hal lagi. Sebaiknya Anda tidak menghembuskan asap rokok ke arah wanita. Kebanyakan dari mereka bukan pemandu klub malam, dan tidak akan menganggap itu sebagai sikap yang sopan.” Selesai berbicara, ia melangkah kembali dengan santai memperlihatkan tubuhnya yang anggun bergoyang pelan saat memasuki mobil.

Setelah kendaraan itu melaju dan menghilang ke dalam gelap seperti bayangan macan tutul, Revan berdiri termenung. Lalu bergumam pelan seolah bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah menjual sate ayam benar-benar pekerjaan yang terlalu biasa? Apa aku harus mengganti pekerjaan?"

***

Keesokan pagi setelah beberapa saat terbangun, Revan mendengar ketukan di pintu. Dengan rasa malas ia turun dari tempat tidur hanya mengenakan celana, lalu berjalan pelan menuju pintu. Saat dibuka seperti yang sudah ia duga, berdiri sosok Nayla dengan wajah dinginnya.

Begitu melihat tubuh bagian atas Revan yang berotot, wajah Nayla sempat bersemu merah. Namun tetap mempertahankan wajah datarnya dan berkata, “Cepat kenakan bajumu, aku sedang terburu-buru.”

Revan menggaruk kepala dengan bingung. “Nayla, mengapa soal pernikahan harus terburu-buru begitu? Tidak bisakah kamu menungguku mandi dan sarapan dulu?”

“Tidak bisa,” jawab Nayla tegas, tanpa memberi ruang untuk penolakan. “Aku ada rapat jam sepuluh. Jangan lupa bawa buku tabungan dan kartu identitasmu.”

Tidak berdaya menolak kegigihan wanita itu, Revan akhirnya mengenakan kemeja lengan pendek dan celana pendeknya. Ia mengikuti Nayla dari belakang, dan mereka pun masuk ke dalam mobil Bentley merah miliknya.

Nayla mengambil dua tas besar dari belakang dan melemparkannya ke arah Revan. Tanpa menoleh, ia berkata, “Gantilah dengan ini, aku tidak ingin kita menjadi bahan lelucon.”

Revan baru menyadari, hari ini Nayla mengenakan setelan formal ala wanita karier. Potongan busana tersebut jelas buatan desainer profesional memiliki rancangan yang mengikuti lekuk tubuh Nayla yang memikat, menonjolkan wajah cantik yang dingin namun penuh pesona intelektual. Di mata pria, sosok seperti ini cukup memesona untuk menghancurkan sebuah negara.

“Hehe... Istriku, meskipun pernikahan kita belum resmi dilakukan, kamu sudah membelikan pakaian untuk suamimu.” Revan tertawa tanpa rasa malu. Ia membuka tas besar itu dan mendapati setelan jas dan celana Armani, lengkap dengan sepatu kulit baru merek Pierre Cardin. Tidak diragukan lagi, semua ini telah dipersiapkan dengan matang oleh Nayla.

Nayla dengan serius mengemudi dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa, malas menanggapi nada bicara Revan yang urakan.

Dengan gerakan lincah, Revan berganti pakaian di dalam mobil meski ruangnya sempit. Ia dengan cepat mengenakan setelan mewah itu, lalu menyisir rambutnya menggunakan cermin kecil di dashboard. Penampilannya kini berubah total, jauh lebih rapi, segar, dan memikat.

Meskipun pandangannya tetap tertuju ke jalan, Nayla tak kuasa menahan diri untuk sesekali mencuri pandang. Saat melihat Revan dalam balutan jas lengkap dengan dasi, ia merasakan detak jantungnya lebih cepat. Meskipun ini terasa sedikit memalukan, namun penampilan pria yang bebas dan tidak terkekang, serta matanya yang sesekali menunjukkan kesedihan, semua membuatnya sedikit terpesona. Revan memiliki karisma yang jauh luar biasa, dibandingkan dengan pria lain dari keluarga kaya raya dalam setelan jas ini.

Dalam hati, Nayla mencoba menghibur diri. ’Setidaknya, dia bisa tampil meyakinkan dan tidak akan mempermalukanku di depan umum.’

Mobil melaju cepat, dan di tengah perjalanan mereka sempat berhenti sejenak untuk mencetak foto resmi Revan, sebelum akhirnya tiba di Kantor Urusan Agama.

Begitu turun dari mobil, Nayla sempat ragu sejenak. Namun tetap mengertakkan gigi, dan mengaitkan lengannya ke lengan Revan, menciptakan kesan sebagai seorang wanita yang polos dan bahagia.

Revan tidak bisa menahan tawa seraya berkata, “Hebat juga, istriku yang penurut. Aktingnya sudah dimulai bahkan sebelum kita masuk gedung, sangat profesional.”

“Jangan tertawa,” bisik Nayla dengan mata melotot. ”Mainkan peranmu dengan baik, karena kita sudah menandatangani kontrak,"

Revan menghela napas perlahan, pasrah membiarkan lengannya dikait oleh Nayla. Bagaimanapun ketika berjalan bersama seperti ini, lengan Revan kadang bersentuhan dengan dada lembut Nayla yang lembut dan berisi. Jadi ia bisa  mengambil keuntungan dari keadaan ini, dan tentu tidak akan keberatan.

Nayla sebenarnya juga menyadari sentuhan fisik itu, menahan marah dengan menggertakkan gigi dan coba menahan diri. Bagaimanapun, di masa depan ada banyak hari yang menuntut mereka untuk memainkan peran seperti itu. Maka untuk saat ini, ia membiarkan pria nakal itu sedikit mengambil keuntungan.

Saat mereka melangkah memasuki pintu utama Kantor Urusan Agama, penampilan mereka yang tampak serasi langsung menarik perhatian banyak orang. Revan mengenakan pakaian dari ujung kepala hingga kaki yang seluruhnya bermerek mewah, tampak santai dan menawan dengan aura maskulin yang tidak dibuat-buat. Sementara Nayla memancarkan pesona luar biasa dalam balutan busana profesional, kecantikannya begitu memesona hingga seolah membuat ikan menyelam lebih dalam karena malu, dan burung-burung lupa mengepakkan sayap karena terpukau. Bagi orang-orang di sekitar mereka, pasangan ini terlihat seperti sejoli yang benar-benar ditakdirkan bersama.

Petugas Kantor Urusan Agama hanya memeriksa dokumen mereka sekilas, lalu segera memprosesnya dengan lancar. Sambil tersenyum hangat, ia menyerahkan selembar dokumen penting kepada mereka. “Selamat kepada Anda berdua, ini Surat Nikahnya dan tolong disimpan dengan baik. Kalian adalah pasangan yang sungguh membuat iri, semoga pernikahan ini langgeng dan bahagia selamanya.”

Nayla memegang erat pergelangan tangan Revan, merasa seluruh wajahnya memanas saat melihat banyak pasang mata menatap mereka. Setelah menerima surat itu, ia masih merasa seolah sedang bermimpi.

’Benarkah aku sudah menikah? Dengan pria yang bahkan baru kukenal satu hari?’ Tatapannya perlahan berpaling pada Revan, yang saat itu juga sedang terpaku menatap surat nikah di tangannya, seolah belum sepenuhnya mengerti apa yang baru saja terjadi.

’Apa dia juga merasakan hal yang sama? Apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan? Apakah dia menyesal? Atau justru senang? Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja dalam benaknya, membuat Nayla gelisah. ’Mengapa aku peduli dengan apa yang dia pikirkan?!’ batinnya menolak, namun tidak bisa menghapus kegelisahan yang perlahan tumbuh.

Tiba-tiba Revan menoleh, menatap wajahnya dengan senyum nakal dan berkata, “Ada apa, istriku? Jangan bilang kamu menyesal begitu menerima surat nikah ini? Bukankah kamu sendiri yang memaksaku datang ke sini?”

“Kamu pikir aku benar-benar rela menikahimu?” balas Nayla dengan suara rendah, nadanya getir. “Tapi tenang saja, aku Nayla Prameswari tidak akan pernah menarik kembali keputusan yang sudah dibuat. Kamu hanya perlu bersikap baik dan berkoordinasi denganku untuk berakting selama tiga tahun ke depan. Selama kamu tidak menimbulkan masalah, semuanya akan berjalan lancar.”

Begitu keluar dari Kantor Urusan Agama, Nayla segera melepaskan lengannya dari Revan dan kembali menunjukkan ekspresi dingin seperti biasanya.

“Baiklah, aku harus pergi rapat dan kamu bisa pulang duluan,” katanya tanpa basa-basi.

“Pulang? Jangan bilang, kamu ingin aku berjalan kaki?” Revan menatapnya dengan perasaan pahit. Baginya ini terlalu ironis, baru saja menjadi suami sah namun harus pulang berjalan kaki puluhan kilometer.

Nayla mengambil sebuah kartu dari tas kulitnya dan menyerahkannya pada Revan. Di atas kartu itu tercetak tulisan alamat yang rapi : Jalan Budaya Nomor 90, Komplek Permata Hijau.

“Karena kita sudah menikah, maka secara formal kita juga harus tinggal bersama. Jika tidak, semua ini akan terlihat palsu. Jadi sebaiknya kamu segera pindah dari tempat tinggal yang seperti kandang kambing, dan tinggal bersamaku.” Setelah mengucapkan kata-kata itu tanpa menoleh lagi, ia masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan Revan.

Revan tertawa dengan ekspresi terlihat lebih jelek daripada menangis. Ia lalu bergumam pada dirinya sendiri, "Pada akhirnya, aku tetap harus berjalan kaki."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!