Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Perjalanan Dua Langkah — Barcelona
...WELCOME TO MAFIA...
...•••Selamat Membaca•••...
Malam di Barcelona turun dengan lembut, namun bukan kelembutan yang dirasakan Rayden Salvatore malam itu. Ia berdiri di atap sebuah gedung tua bergaya Gaudi yang telah lama dikuasai oleh sindikat mafia Los Aguilares, kelompok penyelundup senjata dan berlian terbesar di Semenanjung Iberia.
Di bawahnya, pesta eksklusif berlangsung di dalam klub rahasia bawah tanah, sebuah ruang rahasia tersembunyi di bawah taman publik, hanya bisa diakses lewat lift tersembunyi di belakang patung singa. Mereka tengah merayakan kedatangan El Tesoro, sekoper berlian merah yang diselundupkan lewat jalur pelabuhan La Barceloneta. Tapi pesta itu akan jadi kenangan pahit.
Rayden menyentuh earphone-nya.
“Piccola, blokir jaringan. Tiga... dua…”
ZZZZZTTT!
Seluruh sinyal komunikasi di radius 500 meter mati. Musik berhenti. Orang-orang mulai panik. Rayden, dengan setelan jas dan sepatu kulit yang hampir tak bersuara, menuruni lift pemeliharaan dari atap.
Ia menyusup masuk melewati dapur. Dua penjaga—berpakaian pelayan—tak pernah sempat menarik senjata. Sebuah baton telescopic menghantam tepat di pelipis mereka.
Langkah satu: masuk tanpa jejak.
Rayden melewati koridor dengan dinding marmer, lalu menuju ruang penyimpanan bawah tanah. Di sana, empat penjaga berjaga di depan brankas biometrik. Tapi Rayden sudah punya semua data mereka sejak seminggu lalu—berkat perangkat cloning sidik jari yang ia pasang di gelas wine saat menyamar sebagai sommelier.
Satu demi satu penjaga dijatuhkan dalam hening. Gerakan Rayden begitu cepat dan presisi, memadukan seni bela diri Spanyol Keysi dengan kecepatan tentara bayaran.
Langkah dua: akses brankas.
Dengan sidik jari palsu dan chip NFC hasil rekayasa, brankas terbuka. Di dalamnya ada El Tesoro. Berlian merah seukuran mata panther. Legenda di kalangan mafia.
Rayden tersenyum tipis, lalu menaruh benda kecil berwarna hitam di dalam brankas, pengganti yang palsu, cukup meyakinkan untuk memperdaya dalam 3 menit.
Tapi saat ia hendak pergi, alarm cadangan berbunyi.
“Sialan, mereka pakai sensor gerak sekunder. Brengsek.” Rayden mengumpat kesal karena tidak membayangkan semua ini.
Tembakan pecah dan penjaga mulai berdatangan. Rayden membalikkan meja logam, melompat ke atasnya, lalu mengayun ke pipa gas di atas langit-langit. Dengan satu lemparan, ia menjatuhkan granat flashbang, ledakan putih membutakan semua orang di ruangan itu.
Dia berlari melalui lorong sempit, lalu naik ke lantai atas dan muncul kembali di taman, tepat saat Maula datang dengan motor Ducati hitam.
Rayden melompat tanpa melihat ke belakang. Motor itu menderu kencang melewati gang-gang kota tua El Raval.
Saat Los Aguilares menyadari brankas mereka hanya berisi berlian palsu, Rayden dan Maula sudah jauh menyusuri jalan tepi laut menuju Sitges, menyimpan berlian itu dalam kantong tersembunyi di dalam jaket.
Di dashboard motor, layar kecil menyala, menampilkan pesan otomatis yang tertinggal di sistem klub. "Barcelona terlalu ramai untuk menyimpan rahasia — R. S."
...***...
Barcelona malam itu tidak terlalu dingin, tapi angin dari Laut Mediterania cukup untuk mengusir lengah dari siapa pun yang berdiri di atas gedung. Di puncak Hotel Colon, tepat di seberang Katedral Barcelona, Rayden Salvatore menatap ke kejauhan. Ia bisa melihat kilau lampu dari Port Vell, pelabuhan tua yang kini jadi markas pengiriman gelap milik mafia Los Aguilares.
Tangan kirinya memegang kamera saku berdaya tinggi. Ia memantau pergerakan mobil hitam yang masuk ke area Magatzem 43, gudang penyimpanan dekat dok. Itulah tempatnya berlian merah—dijuluki El Tesoro Sangriento—baru saja tiba dari Afrika Barat.
Barang selundupan itu hanya akan transit dua malam sebelum dibawa ke Valencia lewat jalur laut. Waktu Rayden terbatas tapi ia suka permainan cepat.
“Masih di posisi?” tanya suara perempuan di telinga kanannya.
“Selalu. Piccola, nyalakan interferensi satelit dalam waktu tiga menit. Aku turun sekarang.”
Rayden menutup kameranya, lalu menarik zip-line mini dari tas punggungnya. Ia meluncur dari atap hotel menuju balkon gedung tiga lantai di seberang jalan. Dalam dua menit ia sudah menyelinap ke jalan belakang, menyamar sebagai petugas keamanan pelabuhan.
Ini adalah berlian kedua yang akan dia ambil, setelah berhasil mencuri yang pertama di markas musuhnya.
Langkah pertamanya tidak dimulai malam ini. Seminggu lalu, ia sudah menyusup sebagai pembersih di kantor manajerial Port Vell dan mencuri akses RFID serta blueprint gudang. Hari ini ia hanya memainkan kartu terakhir dari dek yang sudah ia susun.
Pukul 23:48
Rayden menyusup ke Magatzem 43 melalui pintu belakang yang dipasangi pemindai retina. Ia tahu jadwal penjaga dan sudah menukar alat pemindai itu dengan perangkat palsu yang mengizinkan retinanya sendiri lewat.
Selain mafia, dia juga hacker handal yang tidak bisa dianggap remeh. Itulah kenapa Archer dan Isabella tidak bisa membiarkan dia pergi bergitu saja.
Ruangan itu dingin, lantainya dari beton kasar. Lampu pendar bercahaya keputihan, dan di tengahnya kotak baja ukuran peti mati, dijaga oleh empat pria bersenjata FN SCAR.
Dia bergerak cepat.
Satu granat gas CS dilempar lewat sela rak logistik. Asap putih menyebar, diiringi batuk dan teriakan panik.
Rayden melompat dari rak ke rak seperti hantu, menghantam kepala satu penjaga dengan karambit, menikam yang kedua di ketiak—satu-satunya bagian yang tidak dilindungi rompi anti peluru. Dua sisanya mencoba melawan, tapi Rayden menarik senjata kejut magnetik dan menempelkan ke leher mereka bersamaan. Tak satu pun sempat menekan alarm hingga langkahnya aman.
Pukul 23:55
Dengan alat pembuka elektronik, ia membongkar kotak baja. Berlian itu ada di sana, merah seperti darah yang belum mengering. Beratnya kira-kira 60 karat, bentuknya segitiga dengan ujung kasar.
“El Tesoro. Dan kini, milikku, ya seharusnya benda berharga seperti ini menjadi milikku karena aku yang bekerja keras dulu untuk mendapatkannya.” Rayden tersenyum licik.
Namun, ia tidak bodoh. Rayden mengambil replika yang ia buat di laboratorium bawah tanah miliknya, dibantu oleh Maula. Bentuk dan kilau nyaris sempurna. Hanya dengan mikroskop dan sinar UV-lah perbedaannya bisa dikenali.
Sebelum ia meninggalkan ruangan, suara langkah berat datang dari luar. Pintu dibuka paksa.
“Arriba las manos!”
Dua belas anggota Los Aguilares masuk dengan senjata otomatis. Rayden tersenyum.
Langkah dua.
Ia mengaktifkan pengalih perhatian besar yaitu sebuah ledakan dari kapal tua yang berlabuh hanya 300 meter dari sana. Itu cukup untuk menggetarkan bangunan dan memicu semua alarm pelabuhan.
“Good, ini permainan yang seru.”
Dalam kekacauan, Rayden menendang drum minyak dan menyalakan percikan dari peluru musuh yang menghantamnya. Api langsung membara. Los Aguilares panik.
Rayden menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke saluran bawah tanah yang ia buka sehari sebelumnya menggunakan bor hidrolik ringan.
Terowongan itu sempit, gelap, dan berbau asin. Tapi itu adalah jalur langsung ke sebuah sumur tua di taman Parc de la Ciutadella. Di sanalah Maula menunggu, menyamar sebagai turis malam dengan tas punggung.
Saat Rayden keluar dari sumur, ia tampak seolah baru saja menyelesaikan jogging malam.
Tanpa sepatah kata, mereka menyusuri jalan ke stasiun Estació de França, tempat kereta malam ke Madrid sudah menunggu.
Sementara itu, di Magatzem 43, Los Aguilares menemukan bahwa berlian mereka palsu. Kepala keluarga, Don Valerio, mengamuk hingga memecahkan jendela dengan tangan kosong.
Namun di layar keamanan mereka yang diretas, satu kalimat muncul sebelum sistem mati total: Gracias por el espectáculo. Sampai jumpa di Valencia. —R.S.
Yah, Rayden tak pergi seperti pengecut, dia mengambil apa yang seharusnya dia miliki dan meninggalkan pesan dengan inisial namanya. Bagi kalangan mafia, tentu mereka tidak tahu siapa RS. Yang mereka ketahui hanyalah VD — Victory Dragonvich.
“Cara kerja dan pesan yang ditinggalkan sama seperti Victory,” gumam Valerio sambil mengepalkan tangan dengan kuat.
Mereka melanjutkan perjalanan pulang menggunakan sepeda motor setelah sampai di Madrid kembali.
Rayden mengambil alih motornya dan Maula duduk di belakang sambil mengamankan berlian yang berhasil mereka ambil.
“Bukankah ini keren? Aku suka misi seperti ini, Ray.” Maula berseru dengan bangga pada Rayden, dia merentangkan tangan, membiarkan angin menerpa tubuhnya.
“Hebat Piccola, kau juga sangat luar biasa, aku tidak pernah memikirkan sebuah perjalanan dua langkah di Barcelona,” balas Rayden, suaranya jelas di telinga Maula walaupun deru angin cukup kuat.
“Sudah kubilang, kau pasti bisa menjadi seorang raja Ray.” Tawa mereka benar-benar memecah keheningan malam.
...•••Bersambung•••...