Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gedung pencakar langit berlogo AL'X Company. Seorang penjaga yang sigap segera mendekati mobil tersebut dan membukakan pintu. Dari dalam mobil, seorang pria turun dengan sangat berwibawa.
Dia adalah Martin.
Pria itu, sahabat sekaligus asisten pribadi Axel, orang yang dipercaya penuh untuk mengelola perusahaan saat sang pemilik tidak ada.
Langkah Martin tegap saat memasuki gedung. Tatapannya lurus ke depan, dengan sorot mata yang tajam.
Setiap staf yang berpapasan dengannya, menunduk hormat, bahkan petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai di lobby pun refleks melakukan hal yang sama.
Namun, justru karena petugas kebersihan itulah langkah Martin terhenti. Ia menunduk, menatap pria itu lekat-lekat dengan alis yang berkerut tajam.
"Tunggu dulu! Bukankah dia kakak dari gadis yang sedang dikejar Axel?" batin Martin.
Ya, Pria yang berdiri di depannya adalah Roy, kakak dari Elsa. Ia tengah mengepel lantai saat Martin datang, dan kini jantungnya berdegup tidak menentu, bukan karena jatuh cinta, tapi karena takut telah melakukan kesalahan tanpa ia sadari.
"H-hati-hati, Tuan. Di-disini licin," ucap Roy gugup.
Martin menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Sa-saya Roy, Tuan."
Martin terdiam sejenak. Sebuah pesan Axel terngiang dalam kepalanya:
"Kakak Elsa bekerja di perusahaan sebagai OB. Namanya Roy. Pastikan dia merasa nyaman bekerja di perusahaan."
"Ternyata benar dia," batin Martin. Ia segera merogoh ponsel dari sakunya dan menghubungi sekretarisnya. "Kirimkan data lengkap OB bernama Roy," pintanya singkat.
Roy yang mendengarnya langsung membelalak. Wajahnya pucat, tubuhnya menegang karena ketakutan. Ia refleks berlutut di hadapan Martin.
"Tu-tuan, tolong jangan pecat saya. Saya tidak melakukan kesalahan apa pun," ucapnya memohon dengan suara bergetar.
Martin terkejut, dengan kening mengernyit. "Hei, apa yang kau lakukan? Cepat berdiri!"
*T-tidak, Tuan. Saya tidak akan berdiri sebelum Anda berjanji tidak akan memecat saya," kata Roy bersikeras.
Peristiwa itu disaksikan langsung oleh beberapa staf yang melintas. Mereka saling pandang, nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi. Martin dikenal tegas, tapi tidak pernah semena-mena. Setidaknya, ia lebih manusiawi dibanding Axel yang keras dan dingin.
Martin menarik napas panjang, lalu menatap Roy dengan wajah sedikit kesal. "Siapa yang bilang aku mau memecat mu, hah? Cepat berdiri, atau aku benar-benar akan memecat mu!" tukasnya dengan nada tajam.
Roy segera berdiri dengan kepala tertunduk. Meski merasa sedikit lega karena tidak dipecat, kegelisahan masih menyelimuti pikirannya. Terutama karena Martin meminta data pribadinya.
"Syukurlah, Aku tidak dipecat. Tapi kenapa Tuan Martin ingin melihat data diriku?" batin Roy cemas.
Tidak lama kemudian, ponsel Martin berbunyi, tanda sebuah notifikasi pesan masuk. Ia membuka pesan tersebut, membacanya dengan teliti, lalu menyimpannya kembali ke saku jas. Pandangannya kembali terarah pada Roy.
"Roy putra Wijaya, mahasiswa lulusan sarjana Ekonomi. Tanpa pengalaman kerja, kau melamar sebagai OB. Apa kau sudah gila?" ucap Martin dengan nada suara yang setengah menyindir.
Roy tersenyum kikuk, merasa malu. "Maaf, Tuan. Saya hanya … saya takut tidak diterima jika melamar di posisi lain. Sekarang ini mencari pekerjaan sangat sulit, jadi …"
Martin mengangkat tangan, memotong. "Kalau begitu, sekarang kau pulang saja."
DEG!
Roy mendongak, menatap Martin dengan wajah panik. "A-apa? Pulang? A-anda memecat saya?"
Tanpa pikir panjang, Roy langsung berlutut dan memeluk kaki Martin. "Tolong jangan pecat saya, Tuan! Saya akan bekerja lebih baik lagi. Saya mohon … "
Martin menatap ke bawah, dengan wajah kesal. "Astaga, kau ini … Siapa yang bilang aku mau memecat mu, hah? Aku belum selesai bicara tadi!" gerutu Martin.
Roy segera berdiri, masih dengan ekspresi bingung dan napas memburu. "Ja-jadi … Jika Anda tidak memecat saya, kenapa anda menyuruh saya pulang?"
Martin menyilangkan tangan di dada. "Aku memintamu pulang untuk buat surat lamaran baru. Divisi pemasaran sedang kekurangan staf. Dan kupikir, daripada kau menyia-nyiakan gelar mu, kenapa tidak mencoba posisi itu? Tapi, kalau kau tidak mau, ya sudah."
“S-saya mau, Tuan! Saya bersedia!” potong Roy cepat. Matanya membelalak tidak percaya dengan kesempatan yang baru saja datang.
Martin mengangguk kecil. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat pulang dan buat surat lamaran. Aku yang akan mewawancarai mu langsung."
"Ba-baik, Tuan!" Roy mengangguk semangat, sampai-sampai ia pergi begitu saja dan melupakan peralatan kebersihan nya.
"Hei! Kau mau ke mana?" seru Martin dari belakang.
Roy terkejut, berhenti mendadak lalu berbalik. "Bu-bukankah Anda meminta saya untuk pulang," ujar Roy.
"Iya, itu memang benar. Tapi, jika kau pergi begitu saja, siapa yang akan membereskan semua ini, hah? Aku?"
Roy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dengan wajah yang memerah malu. "Maaf, Tuan. Sa-saya lupa." Ia buru-buru mengambil peralatan kebersihan yang sempat tertinggal dan pergi dengan langkah tergesa.
Martin menggeleng pelan, sembari bergumam, "Dasar ceroboh," gerutu Martin. Ia kembali melanjutkan langkahnya, menuju ruangan CEO. Namun, lagi-lagi ia berhenti. Kali ini karena suara dering ponselnya.
Martin menaikkan sudut bibirnya, saat tahu siapa yang menghubungi nya. Dan, tanpa berfikir panjang, ia menggeser ikon hijau, lalu menempelkan ponsel di telinganya. "Ada apa?" tanya Martin.
"Aku ingin, kau melakukan sesuatu."
Martin diam, mendengar setiap kata dari seseorang dari seberang sana. Dan, sedetik kemudian, seringai muncul di bibirnya. "Dengan senang hati, Tuan."
🤔
🙏👍🌹❤
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹