Ini kelanjutan cerita Mia dan Rafa di novel author Dibalik Cadar Istriku.
Saat mengikuti acara amal kampus ternyata Mia di jebak oleh seorang pria dengan memberinya obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya.
Nahasnya Rafa juga tanpa sengaja meminum minuman yang dicampur obat perangsang itu.
Rafa yang menyadari ada yang tidak beres dengan minuman yang diminumnya seketika mengkhawatirkan keadaan Mia.
Dan benar saja, saat dirinya mencari keberadaan Mia, wanita itu hampir saja dilecehkan seseorang.
Namun, setelah Rafa berhasil menyelamatkan Mia, sesuatu yang tak terduga terjadi diantara mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Astaghfirullah, anakku," desis Gilang dengan mata terpejam.
"Di dalam darah Mia dan Rafa ada kandungan obat dalam dosis yang sangat tinggi. Jauh melebihi dosis yang seharusnya. Ini cukup berbahaya kalau digunakan tidak sesuai petunjuk, karena bisa mengakibatkan penyempitan pembuluh darah, serangan jantung mendadak, dan resiko kematian."
Gilang kehilangan kata, antara sedih dan marah.
"Siapa yang tega melakukan ini semua? Apa tujuannya?"
"Orang-orang kita sedang menyelidikinya. Tapi, aku rasa orang ini bukan orang sembarangan," ucap Pak Vino.
"Masalahnya...." Ucapan Brayn terpotong begitu saja.
"Kenapa?" tanya Pak Vino.
"Kalau melihat dari kejadiannya, sepertinya pelaku ingin cuci tangan dan melemparkan kesalahannya pada Rafa. Obat itu ditemukan di dalam tas Rafa, siapapun akan menuduh Rafa sebagai pelakunya."
"Ada kemungkinan pelakunya adalah salah satu di antara rombongan mereka," ujar Pak Vino.
"Benar, Pa. Orang-orang kita akan menyelidiki sidik jari di botol itu. Kalau tidak ada sidik jari Rafa, berarti memang bukan dia pelakunya."
"Aku tidak yakin kalau Rafa bisa melakukan semua itu," ucap Pak Vino menatap Gilang. "Kalau dia mau, tidak perlu menunggu sekarang, bukan? Dia bisa melakukannya sejak lama. Lagipula, kita semua tahu seperti apa Rafa."
Gilang mengangguk setuju dengan ucapan Pak Vino.
"Saat kejadian semua mahasiswa ada di masjid. Hanya Rafa, Mia dan satu mahasiswa lagi bernama Leon yang tidak ikut. Dia sekamar dengan Rafa, mengaku tidak ikut karena ketiduran."
"Leon?" ucap Gilang. Mencoba mengingat nama itu.
"Benar. Om Joane sudah memerintahkan untuk menyelidiki orang itu."
"Kalau begitu kita tinggal menunggu. Kamu yakin tidak ada yang tahu apa yang terjadi antara Mia dan Rafa di vila kan? Takutnya kejadian ini tersebar dan Mia akan semakin tertekan."
"Insyaallah, aman, Pa."
"Syukurlah. Setidaknya kita harus tetap menjaga mental Mia."
**
**
Setelah suasana lebih tenang, Gilang menuju kamar putrinya.
Begitu memasuki kamar, ia mendapati Mia sedang duduk di atas sajadah dengan tubuh terbalut mukena. Isak tangisnya memenuhi kamar yang sunyi.
Gilang harus menunggu beberapa saat hingga Mia selesai.
Ia langsung mendekat dan duduk di sisi putrinya.
Ketika tangan mengulur untuk membelai puncak kepala Mia segera menepis.
"Jangan sentuh aku, Ayah. Aku masih kotor. Aku sedang meminta ampun kepada Allah."
Memandang dengan mata berkaca-kaca, Gilang mengusap ubun-ubun putrinya.
"Anakku, Ayah percaya padamu. Kamu tidak akan melakukan hal seperti ini dalam keadaan sadar."
"Aku tetap sudah ternoda, Ayah. Aku bahkan merasa tidak layak bersujud. Apakah aku akan mendapatkan pengampunan?"
"Dosa zina dapat dihapus dengan bertaubat dan tidak mengulanginya lagi. Kamu dan Rafa terjebak, kalian tidak sengaja. Yang bisa kita lakukan hanya memperbaiki semuanya."
Tak ada sahutan dari Mia selain dengan menitikkan air mata.
"Maukah ceritakan pada Ayah apa yang terjadi di vila? Bagaimana kamu dan Rafa sampai terjebak?" Gilang tetap bertanya meskipun sudah mendengar dari Rafa.
Dalam hitungan detik tubuh lemah itu luruh. Gilang segera membenamkan putrinya ke pelukan, mengecup ubun-ubunnya penuh kasih.
"Aku takut, Ayah. Aku takut. Aku takut ini akan menjadi dosa besar untukku. Ayah, Ibuku, adik laki-lakiku akan menganggung semuanya. Ayahku akan merasa gagal menjagaku."
"Tidak, Nak. Jangan berpikir begitu. Kamu tetap anakku apapun yang terjadi," bujuk Gilang, menghapus air mata yang membasahi wajah.
"Sekarang coba ceritakan pada Ayah apa yang terjadi."
"Aku tidak ingat apa-apa lagi, Ayah. Semuanya samar. Aku hanya ingat Kak Rafa membawa aku ke vila dan ...."
Melihat putrinya yang terus menangis, Gilang tak ingin memaksa.
Tentu kejadian ini adalah sebuah pukulan berat bagi Mia. Ia terus menangis tiada henti. Bahkan semalaman tak dapat terpejam.
Kepingan kenangan masa kecil bersama Rafa pun bermunculan dalam ingatan.
Ketika Rafa menggandengnya berkeliling berjualan di tengah terik mentari.
Ketika merasa lelah, Rafa akan menggendongnya di punggung.
Kini, lelaki yang menempati tempat istimewa di hatinya itu justru mengotori mereka.
**
**
"Sudah, Sayang. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu sudah menjaga Mia dengan sangat baik selama ini. Apa yang terjadi bukanlah salahmu," bujuk Gilang pagi itu.
"Tidak, Mas! Ini salahku. Aku Ibu yang buruk sampai anakku harus menanggung beban dosa yang kulakukan. Anak-anakku pasti akan sangat malu kalau tahu seperti apa masa lalu Ibunya."
"Bagaimana pun masa lalumu, bagi mereka kamu tetaplah Ibunya. Begitu mulianya seorang Ibu sampai doanya bisa menembus langit. Bukankah Allah mendengar doamu dengan mengirimkan Rafa?"
Gilang membenamkan wanita itu ke pelukannya.
"Aku tahu dosa sebesar ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Tapi, mereka melakukannya dalam keadaan tidak sadar, karena kedzaliman seseorang yang tidak bertanggung jawab."
"Aku harus apa, Mas? Aku harus apa lagi untuk melindungi putriku? Jika saja aku bisa mengganti nyawaku dengan keselamatannya, akan aku berikan."
Mia menyeka air mata mendengar pembicaraan ayah dan bundanya. Betapa kejadian nahas itu menyakiti mereka.
"Bunda...." Ia memberanikan diri mendorong pintu kamar kedua orang tuanya yang terbuka setengah.
Dalam sekejap gadis itu luruh berlutut di hadapan sang bunda.
"Aku minta maaf, Bunda. Bunda tidak salah, aku yang salah karena kurang bisa menjaga diri."
Dengan tangannya yang lemah, Mia menyeka air mata yang mengaliri wajah bundanya.
Airin mendekap tubuh lemah itu. Keduanya menangis terisak.
"Aku akan terima keputusan Ayah dan Bunda apapun itu. Aku bersedia menikah dengannya kalau menurut Bunda itu jalan terbaik. Tapi, jangan salahkan diri lagi, Bunda. Aku lebih sakit melihat Bunda menangis. Aku memang tidak tahu dosa apa yang sudah Bunda lakukan di masa lalu. Tapi, bagiku Bunda adalah malaikat yang dikirim Allah dalam bentuk seorang Ibu."
"Anakku...." Airin mengusap wajah putrinya.
Memeluknya dalam tangis.
**
**
Di sisi lain, Raka baru tiba di Jerman setelah belasan jam mengudara. Ia baru saja memasuki apartemennya.
Mengecek ponsel, ia tersenyum menatap pesan beruntun yang masuk.
"Sudah sampai ke apartemen, Sayang," tulisnya dalam pesan yang kemudian ia kirimkan pada sang istri.
"Ya ampun, baru belasan jam tidak bertemu sudah rindu." Ia menghembuskan napas, membuka pintu apartemennya.
"Hey, Raka, sudah datang?" Sapaan itu mengalihkan perhatiannya sejenak.
Syarin mendekat dan tersenyum.
"Hai, Sya. Apa kabar?" balas Raka, pada tetangga sebelah kamarnya itu.
"Baik. Oh ya, selamat atas pernikahanmu. Maaf aku tidak sempat datang karena aku dengar kabar pernikahanmu saat sudah di Jerman."
"Terima kasih. Maaf, aku tidak mengundang banyak orang, hanya melibatkan kerabat kami saja," jawabnya singkat terkesan membatasi diri.
Sekarang ada hati yang dijaga dan ia tidak boleh lagi banyak berinteraksi dengan Syarin seperti sebelum menikah.
"Aku agak terkejut mendengar kabar kamu menikah. Karena sebelumnya tidak ada tanda apa-apa. Kamu bahkan sempat bilang belum mau menikah."
Raka terkekeh. "Apa boleh buat, sudah bertemu jodohnya."
"Hemm ... aku ikut senang. Perempuan yang mendapatkan kamu pasti sangat beruntung."
"Tidak. Justru aku yang beruntung mendapatkannya. Dia gadis yang sangat mahal bagiku."
Wanita itu tersenyum.
"Manis sekali. Tapi, kenapa kamu datang sendirian?"
"Iya, sebenarnya aku mau membawanya, tapi kasihan kalau aku tidak ada, dia tidak ada teman di sini. Takut bosan. Makanya aku berangkat sendiri."
"Oh...."
Raka mengulas senyum.
Namun, kemudian terdengar deringan dari ponselnya. Gegas ia mengeluarkan benda pipih itu dari saku jaketnya.
"Aku masuk duluan. Mau jawab telepon dari istri."
"Silahkan," balas Syarin tersenyum, memandang punggung tegap yang kemudian menghilang di balik pintu.
************
************
jangan mudah terhasut mia
apa Mia GX tinggal bareng Rafa, terus Rafa gmana
tambah lagi thor..🙏😁🫣