Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
peluru di ujung permainan
"Om Aji Cemen wuu... Liat tu skol Sean sama my bebeb bunda Oza jauh lebih tinggi. Cemen om Aji Cemen!" teriak Sean sambil tertawa puas. Ia duduk manja di pangkuan Moza, sedangkan Aji hanya menghela napas di balik kemudi permainan balap mobil.
"Hari ini Sean cuma beruntung aja makannya om Aji kalah," sahut Aji dengan senyum miring, meski matanya tak lepas dari wajah Moza yang tertawa geli.
Lagian Aji itu mengalah bukan benar-benar kalah karena ia tau dia akan di ledek habis-habisan oleh Sean dan berakhir melihat tawa Moza yang begitu cantik di matanya. Taukan Aji itu sudah cinta mati pada Moza.
Saat itu mereka berada di sebuah mall, di area time zone, menemani Sean yang sejak pagi merengek ingin bermain. Padahal ada orang tuanya, tapi kalau Sean sudah bilang maunya sama bunda Moza, maka harus Moza yang ikut. Alhasil, jadwal studio Moza dialihkan ke Okan demi bocah yang susah diganggu gugat ini.
"Cih, om Aji katanya tentala, tentala apaan dali tadi kalah telus sama bocil macam Sean. Nanti Sean bilang sama opi deh kalau om Aji Ndak cocok jadi pengawalnya bunda Sean. Pengawalnya bunda Sean itu sehalusnya pengelan ganteng dan pintel macam Sean." kata Sean dengan gaya sok keren.
Moza cuma bisa tertawa geli. Ia tahu Aji selalu mengalah kalau bermain dengan Sean. Tapi melihat keduanya saling beradu mulut seperti ini—satu bocah sok hebat, satu lelaki dewasa sok sabar—benar-benar tontonan yang menghibur.
"Udah udah, jangan di ledekin terus dong om Aji nya Sean, nanti kalau om Aji nangis kita yang repot," Moza melirik Aji dengan menahan tawa melihat raut wajah Aji yang cemberut di buat buat sok imut tapi jatuhnya malah jadi aneh karena wajah Aji ini radak sangar sangar gimana gitu.
"Kita suluh aja opi pulangin om Aji ke asalnya." Tandas Sean kali ini tawa Moza sudah tak bisa lagi di bendung, ia kembali ngakak. Sean ini sepertinya benar benar punya dendam pribadi pada Aji.
Tawa Moza mulai mereda lalu ia beralih melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dan menunjukkan pukul 16:42.
"Udah sore, Sean. Kita pulang, ya. Mama tadi pesan jangan pulang terlalu sore."
"Yah... Padahal kan Sean belum coba semua pelmainan yang ada di sini. Bunda sih, tadi pakai kelja dulu," protes Sean dengan ceria yang kini sudah berubah menjadi merengut. Ia malah menyalahkan Moza karena memang sejak pagi tadi sibuk dengan beberapa pemotretan di studionya.
Moza dan Aji saling pandang sejenak. Moza pun tersenyum, lalu membujuk lembut, "kapan-kapan lagi kita main kesini ya. Kita main dari pagi sampai Sean puas."
"Benelan bunda?" Kepalanya kembali mendongak dengan mata berbinar dan wajah berseri. Secepat itu raut wajah bocah lima tahun ini berubah.
"Iya, beneran," Tidak lupa dengan full senyum.
"Oke, tapi sebelum pulang kita beli es klim dulu ya. Please..." pintanya memelas dengan mata puppy eyes yang begitu menggemaskan.
Moza mengangguk. "Iya, beli es krim dulu. Let's go!"
Setelah membeli es krim, ketiganya berjalan menuju basement parkir. Tapi langkah Moza melambat. Ia merasakan ada yang aneh.
Sunyi.
Terlalu sunyi untuk ukuran basement mall sore hari. Tak ada satu pun orang terlihat, hanya deretan mobil terparkir rapi.
"Letnan Aji..." gumamnya lirih. Ada kegelisahan di wajahnya.
Aji yang tengah menggonggong Sean sedang makan es krim itu pun menoleh. "Hm, kenapa?"
"Perasaanku nggak enak. Letnan juga merasakan nya nggak kalau besman ini agak aneh.ini... terlalu sepi untuk ukuran Basement mall."
Lantas Aji langsung memperhatikan sekitar seperti yang di lakukan Moza tadi dan memang benar adanya basement ini begitu aneh, sunyi seperti kuburan tak ada manusia satupun disana hanya ada mobil yang berjejer rapih. Bahkan sangking sunyinya napas sendiri bisa terdengar. Sangat aneh.
Tahu, basement itu memang tempat yang tak pernah ramai, tapi paling tidak pasti akan selalu ada beberapa orang yang ada disana kan, baik itu baru datang ataupun mau pulang seperti mereka ini. Tapi kali ini benar benar berbeda membuat otak Moza kian berpikiran yang tidak tidak, belum lagi akhir-akhir ini Moza menyadari ada beberapa orang yang mengikutinya, lebih tepatnya sejak kejadian dia di kejar-kejar saat akan ke car free day waktu itu dengan sepeda. Sungguh, Moza merasa sejak saat itu ia seperti di buntuti oleh orang tak di kenal.
Moza tanpa sadar merapat pada Aji, menyelipkan tangannya ke lengan Aji yang menggendong Sean. Momen langka—seharusnya romantis. Tapi bukan sekarang.
Sean masih nampak asyik dengan es krimnya dan belum menyadari ketakutan Moza dan ke was-wasan Aji.
"Bisa gendong Sean sebentar, Nona?" tanya Aji.
Moza mengangguk lalu menerima Sean dalam gendongannya. Bocah lima tahun itu baru sadar raut ketakutan sang bunda begitu ia sudah berpindah ke gendong Moza.
"Bunda kenapa?" Tanya Sean polos.
"Nggak apa-apa, sayang." Moza mencoba tersenyum.
Aji jongkok, pura-pura menjatuhkan dompet. Tapi matanya memeriksa kolong mobil satu per satu untuk memastikan sesuatu. Tangannya bergerak ke belakang, meraih pistol tersembunyi di sabuknya.
Deg!
Aji meneguk Saliva. Jantungnya berdebar. Dugaannya maupun Moza ternyata benar, basement ini memang tak beres. Matanya menangkap bayangan—bukan satu, bukan dua, tapi banyak. Orang-orang bersenjata bersembunyi di balik mobil-mobil.
Entah komplotan itu menargetkan siapa yang jelas saat ini mereka dalam bahaya. Dari ekor matanya moncong senjata mengintai mereka di balik salah satu ban mobil yang tak jauh dari ketiganya posisinya orang tersebut berjongkok disana.
Aji berdiri perlahan, menatap Moza yang kini tengah menatapnya dengan sorot cemas, khawatir bercampur takut. "Nona, tetap di belakang saya." bisiknya. Ia memindahkan pistol tadi ke bagian saku kanan celana kargo yang ia gunakan.
Kata-kata Aji membuat Moza kian yakin kalau keadaan mereka saat ini sedang tak baik-baik saja. Moza langsung mengambil tempat berjalan di belakang Aji bersembunyi di balik tubuh Tegap lelaki itu dan tanpa sadar menggenggam erat tangan Aji yang langsung Aji sambut tak kalah erat menggenggam tangan Moza.
"Letnan... mobil kita sebelah mana? Ayo kita pulang. Aku mau ketemu Papi," suaranya bergetar lirih. Ia mengeratkan gendongannya pada Sean. Matanya bahkan sudah mulai berkaca-kaca ketakutan setengah mati.
"Bunda... Sean kok melinding ya? Apa di sini banyak hantunya?" pertanyaan bocah itu begitu polos, tapi secara tidak langsung Sean juga menyadari sekitarnya yang memang begitu mencekam.
"Ssst..!!" Aji menempelkan jari telunjuk pada bibirnya memberi isyarat pada Sean untuk diam.
Dan dengan patuh bocah itu mengangguk, menyimpulkan bahwa mungkin jika dia mengeluarkan suara para hantu disana akan bangun.
Aji mulai melangkah pelan di ikuti Moza, ia juga tak kalah cemas dengan keadaan mereka sekarang, otaknya juga berputar memikirkan jalan keluar. Ini kali pertama dalam seumur hidup Aji dalam keadaan semencekam ini lebih-lebih ia tengah bersama dua orang yang merupakan bukan orang terlatih seperti dirinya, yang satu bocah berusia lima tahun yang satu anak panglima jenderal.
Tapi tunggu, anak panglima jenderal? Apa komplotan ini tengah mengincar Moza dan Sean yang merupakan seseorang yang berharga bagi panglima jenderal yang merupakan pimpinan pasukan abdi negara yang ada di negara ini. Karena tau sendiri posisi itu memang tinggi dan mungkin terlihat menyenangkan di mata orang awam namun memiliki resiko yang juga tak main-main dan tentunya membahayakan orang sekitar karena sudah pasti panglima jenderal memegang dan menyembunyikan beberapa data kasus kasus besar baik itu yang umum maupun rahasia.
Jika dugaan Aji ini benar, maka sudah dapat di pastikan semua senjata komplotan itu mengarah pada mereka bertiga terutama pada Moza dan juga Sean.
Aji melirik moncong senjata yang tadi ia sempat lihat dan benar saja senjata itu menargetkan mereka dan mengikuti setiap pergerakan ketiganya.
Letak mobil mereka masih sangat jauh. Otak Aji di paksa untuk berpikir keras mencari jalan keluar sebelum para bedebah sialan itu menghabisi mereka.
Aji yakin tak lama lagi salah satu dari beberapa komplotan itu akan menarik pelatuk mereka jika senjata mereka sudah tepat membidik targetnya.
Aji menghela nafas. Tanpa babibu lagi Aji menarik pistol dari saku celananya dan menarik pelatuk pada senjata api tersebut untuk memancing para komplotan itu setelahnya menarik sigap Moza untuk membawa bersembunyi di mobil terdekat.
Dor!
Dor!
Moza memekik kaget, lebih-lebih mendengar suara tembakan yang di lakukan Aji. Jantungnya jadi berdebar debar tak karuan karena kaget bercampur takut.
"Bunda suala apa itu?! Om Aji jangan kasal kasal tal–"belum selesai Sean komplain karena Aji yang tiba-tiba menarik Moza dan membuat es krim miliknya terjatuh mengenaskan suara tembakan balasan menghujani mereka seakan-akan menyambut pancingan Aji.
Dor!
Dor!
Dor!
"PAPIHHHH!!" Teriak Moza sekencang mungkin mendekap erat Sean yang kini berada dalam dekapannya. Tembakan demi tembakan itu menghancurkan beberapa kaca mobil disana bahkan mobil yang menjadi tempat mereka bersembunyi sudah benar benar tak karuan hancurnya karena di hujami peluru dari berbagai sisi.
"MAMA!!!" Tak kalah dari Moza, Sean juga ikut berteriak sekencang kencangnya mendengar suara tembakan yang berada di sekitar mereka. Tubuh bocah lima tahun itu bahkan bergetar hebat karena ketakutan.
Aji memicingkan kedua matanya sejenak, ia juga syok berat akan penyerangan mendadak yang tak ia sangka-sangka ini. Ia mengintip sekitar sejenak yang dimana ketiganya sudah benar-benar di kepung, moncong senjata para komplotan itu benar-benar mengarah pada mereka, ini jika mereka masih tetap berada di mobil yang mereka gunakan untuk bersembunyi yang kini sudah ringsek dan hancur karena peluru, Aji dapat pastikan mereka akan segera mati di sini saat itu juga karena tetap bertahan di mobil yang sudah tak bisa mereka jadikan tempat berlindung itu.
Tidak ada pilihan lain. Harus bergerak!
"Nona kita harus segera pindah dari sini!" perintah Aji yang tak di dengarkan oleh Moza karena gadis itu sudah tak fokus akan sekitar ia sudah menangis tak karuan bersama Sean yang ada di pelukannya keduanya benar sudah ketakutan setengah mati.
Melihat tak ada reaksi dari Moza, Aji langsung menarik paksa Moza, mereka sudah tak punya pilihan lain selain lari dan bertahan hidup. Jika pun dari ketiganya harus ada yang mati maka itu adalah Aji bukan Moza ataupun Sean karena sebagai pengawal Aji harus selalu memastikan tuannya selamat hanya itu karena itu tugasnya.
Bugh!
Moza terjatuh di tengah pelarian mereka bersama Sean juga karena bocah itu masih di gendong oleh Moza.
Dor!
Dor!
Jleb!
"BUNDA!"
"SEAN!"
"NONA! SEAN!"
...Baca part 12 ulang ya. Karena aku tambahin ulang part disana....
...Terimakasih 🙏...
klo nnt mayor nelpon lagi, jgn diangkat ya bg abri... biar berhasil... 😂😂
sajen kak Chika jgn lupa biar lancar unboxing nya wkwkwkwkwkwk.....
mau tanya dong....
itu coklat susu dan Langit biru, ko tdk update di gantungan semua 🤔
hadeuh Thor jgn berat2 konfliknya kasian mereka Thor baru jg baikan blm icip2 jg.🤭