Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 : Tidak Berada di Tempat Ini
Veyra, Lyanna, dan Arion tiba di sebuah perdesaan yang terletak dekat dengan aliran sungai. Suasananya jauh lebih sunyi dibandingkan tempat-tempat yang mereka lalui sebelumnya. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar gemericik air sungai dan desir angin yang menyapu pepohonan.
Lyanna melirik ke sekeliling, lalu bertanya dengan suara pelan,
“Di mana rumah penari itu?”
Arion mengangkat tangannya, menunjuk ke arah sebuah rumah kecil di ujung tepi sungai.
“Seharusnya di sana.”
Dahi Lyanna berkerut. Pandangannya menajam, lalu membesar ketika ia melihat sesuatu di bawah rumah itu. Bayangan seseorang bergerak di sana. Tanpa pikir panjang, ia berteriak,
“Veyra! Cepat ke sana!”
Lyanna berlari, sementara Veyra segera menyusul, melemparkan sebuah tongkat kecil ke arah kakaknya. Arion tersentak kaget melihat benda itu berada di tangan seorang putri kerajaan.
Veyra bergerak lebih dulu. Saat ia mendekat, matanya membelalak melihat seorang pria bertubuh gemuk tengah menindih seorang gadis muda. Tangan kasar pria itu berusaha merobek pakaian sang gadis yang menangis, tubuhnya bergetar menolak.
Tanpa ragu, Lyanna meniup tongkat yang diberi Veyra. Sebuah jarum tipis melesat cepat, menancap ke lengan pria itu. Ia terhentak kesakitan, menoleh dengan wajah terkejut. Namun sebelum sempat melihat siapa yang datang, Veyra sudah melompat dan menendang wajahnya dengan keras, membuat tubuh pria itu terhempas ke tanah.
Gadis malang itu segera merapatkan pakaiannya, tubuhnya gemetar hebat. Air mata menetes saat ia meringkuk, takut dan bingung.
Lyanna bergegas meraih gadis itu. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut. Gadis itu hanya terdiam, lalu mengangguk pelan.
Namun belum sempat mereka tenang, beberapa pria lain menerjang sambil mengacungkan pisau. Arion bergerak cepat, menarik Lyanna ke dalam pelukannya. Dengan gerakan tajam, ia memutar tubuh dan menebas lawan yang datang mendekat.
Lyanna tertegun. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari betapa dekat wajahnya dengan Arion. Ia menatap ke atas, dan pria itu menunduk, suaranya rendah dan tulus,
“Maaf... Aku siap menerima hukuman nanti.”
Sementara itu, Veyra kembali mengejar pria gemuk yang terbaring di dekat batu. Dengan langkah garang, ia menginjak paha pria itu, menarik paksa wajahnya agar terlihat jelas. Namun seketika tubuh Veyra menegang.
“...Tuan Kaelor?” bisiknya dengan nada tajam.
Amarah menyala di matanya. “Sialan! Apa yang kau lakukan di sini?!”
Dengan geram, ia menghunus belati dari balik jubah, siap mengakhiri hidup Kaelor. Namun dari kejauhan, seorang pria lain yang sudah terkapar ternyata masih bernapas. Ia mengangkat senjata tersembunyi dan menembakkan jarum beracun tepat ke arah Veyra.
Veyra menoleh cepat, berusaha menghindar, tetapi kakinya ditahan oleh Kaelor. Dalam sekejap, pisau lain keluar dari pakaian Kaelor, terarah ke tubuh Veyra.
Tepat sebelum serangan itu mengenai dirinya, sebuah bayangan melesat bagaikan kilat. Dengan gerakan kilat, pria misterius itu membelah jarum beracun di udara, membuatnya jatuh tak berdaya ke tanah. Dalam waktu bersamaan, sebilah belati dingin menempel di leher Kaelor, sementara sosok tinggi berbahu lebar berdiri tegak di belakang Veyra, membayangi tubuhnya.
Veyra membeku, matanya melebar. Ia menoleh sedikit, suaranya tajam dan penuh waspada.
‘...Siapa kau?’
Pria itu tidak langsung menjawab. Tatapannya merah menyala, menusuk tajam ke arah Kaelor yang nyaris kehilangan kendali. Namun kemudian, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Veyra. Tubuh tinggi itu mendekat hingga bayangannya sepenuhnya menutupi sosok sang putri.
Wajahnya kini berada begitu dekat dengan leher Veyra. Hembusan napas panasnya menyapu kulit halus di sana, membuat Veyra merasakan ketegangan yang mengikat.
Dengan suara rendah, serak, dan nyaris berbisik, ia berkata,
“Seharusnya kau... tidak berada di tempat ini, Putri.”