Cerita ini tidak melibatkan sejarah manapun karena ini hanya cerita fiktif belaka.
Di sebuah kerajaan Tiongkok kuno yang megah namun diliputi tirani, hidup seorang gadis berusia enam belas tahun bernama Hua Mulan, putri dari Jenderal Besar Hua Ren, pangeran ketiga yang memilih pedang daripada mahkota. Mulan tumbuh dengan darah campuran bangsawan dan suku nomaden, membuatnya cerdas, kuat, sekaligus liar.
Saat sang kaisar pamannya sendiri menindas rakyat dan berusaha menghancurkan pengaruh ayahnya, Mulan tak lagi bisa diam. Ia memutuskan melawan kekuasaan kejam itu dengan membentuk pasukan rahasia peninggalan ayahnya. Bersama para sahabat barunya — Zhuge sang ahli strategi, Zhao sang pendekar pedang, Luan sang tabib, dan Ling sang pencuri licik — Mulan menyalakan api pemberontakan.
Namun takdir membawanya bertemu Kaisar Han Xin dari negeri tetangga, yang awalnya adalah musuhnya. Bersama, mereka melawan tirani dan menemukan cinta di tengah peperangan.
Dari seorang gadis terbuang menja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Bayang dari Utara
Angin utara menjerit di antara celah-celah batu gunung, membawa aroma besi, salju, dan kematian. Langit gelap berwarna kelabu kehitaman, seolah murka atas segala yang tengah terjadi di dunia manusia.
Di tepi Pegunungan Zhaoling, barisan panjang pasukan berkuda Xianbei bergerak perlahan menuruni lereng. Bendera mereka hitam dengan simbol naga perak berkibar liar dalam badai salju. Di depan barisan itu, seorang pria bertopeng perak duduk di atas kuda putih besar, matanya tajam menembus kabut.
“Putri Naga telah kembali ke Han,” katanya dengan suara serak namun dalam. “Saatnya menjemput darah suci yang hilang.”
Pasukan berlutut serempak, dan suara dentingan senjata memenuhi udara seperti gemuruh petir.
Di kejauhan, kilatan merah dari api unggun menandakan perbatasan Han. Di sanalah Hua Mulan berdiri sendirian di atas bukit batu, jubah hitamnya berkibar liar diterpa badai. Di belakangnya, hanya ada belasan pengawal pribadi yang bersikeras menemaninya, termasuk Jenderal Zhao Ren.
“Yang Mulia Hua,” kata Zhao Ren dengan napas berat. “Kita kalah jumlah. Mereka ribuan. Bahkan jika kita bertahan di sini, mereka akan menembus pertahanan dalam sehari.”
Mulan menatap datar ke lembah bersalju di depan. “Kita tidak akan melawan dalam jumlah. Kita akan melawan dalam waktu.”
“Waktu?”
“Han Xin butuh dua hari untuk mengumpulkan pasukan cadangan dari selatan. Jika kita menahan mereka selama dua hari saja, ibu kota akan selamat.”
Zhao Ren menatapnya dengan hormat dan keputusasaan bercampur jadi satu. “Dua hari… di tengah badai seperti ini?”
“Dua hari,” ulang Mulan tegas. “Kau tidak perlu bertahan lebih lama.”
Ia menatap para prajuritnya yang menggigil di balik perisai. “Kalian boleh takut. Tapi jangan biarkan rasa takut menguasai kalian. Selama kita berdiri di tanah Han, kita bukan hanya manusia kita tembok yang melindungi keluarga, rumah, dan masa depan.”
“Untuk Han!” teriak para prajurit, menggenggam tombak mereka lebih kuat.
Mulan mengangguk, lalu memalingkan pandangan ke utara. Dalam kabut putih, samar-samar tampak barisan kuda mendekat.
“Dia datang,” bisiknya.
Sementara itu, di istana Han, Han Xin berdiri di depan peta besar di ruang strategi. Tanda-tanda merah menunjukkan gerakan pasukan Xianbei di perbatasan.
“Pasukan pengintai melaporkan, mereka membawa persenjataan lengkap dan logistik untuk pengepungan panjang,” lapor salah satu jenderal.
Han Xin mengepalkan tangan. “Mereka tidak datang untuk menyerang. Mereka datang untuk mengklaim sesuatu.”
“Yang Mulia,” sela salah satu penasihat muda, “Dewan Agung menyarankan agar kita menutup gerbang selatan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Changde. Jika ibu kota jatuh—”
Han Xin menatapnya tajam. “Aku tidak meninggalkan rakyatku.”
“Tapi—”
“Aku tidak meninggalkan Mulan,” potongnya dingin.
Ruangan langsung sunyi. Tak ada yang berani melanjutkan.
Han Xin menatap peta itu lagi. “Kirimkan perintah ke semua unit. Kita akan bergerak ke utara. Aku sendiri yang akan memimpin.”
Lord Yuan, yang sedari tadi berdiri di pojok ruangan, akhirnya bersuara dengan nada menekan. “Yang Mulia, itu tindakan gila. Jika Anda pergi, istana akan tanpa penjaga. Dewan bisa runtuh.”
Han Xin memutar badan menatapnya, suaranya tenang tapi menusuk. “Kalau istana hanya bisa berdiri karena aku duduk di atas takhta, maka istana itu sudah rapuh sejak awal.”
Lord Yuan menunduk dalam, tapi ada kilatan aneh di matanya.
Malam turun cepat di perbatasan. Salju menumpuk setinggi lutut. Api unggun Mulan redup diterpa angin, tapi semangat para prajuritnya masih menyala. Mereka tahu fajar esok akan membawa darah.
Zhao Ren mendekat. “Mereka berhenti tiga li dari sini. Sepertinya mereka sedang menyiapkan perkemahan.”
Mulan menatap ke langit. “Tidak. Mereka sedang memancing.”
“Memancing?”
Mulan berlutut dan menggambar sesuatu di salju pola ladang dan jalur lembah. “Kalau mereka menyalakan api di titik itu, berarti mereka ingin kita menyerang dulu.”
Zhao Ren menatapnya. “Jadi?”
“Kita biarkan mereka berpikir kita takut. Biarkan mereka datang besok pagi.”
Mulan berdiri, menatap gelap yang menelan dunia. “Aku ingin melihat wajah sang kaisar bertopeng.”
---+
Dini hari.
Kabut belum hilang, tapi tanah sudah bergetar oleh langkah kuda. Pasukan Xianbei datang seperti gelombang hitam di atas salju putih. Derap kaki kuda mereka mengguncang bumi. Di depan, pria bertopeng perak mengangkat pedang panjangnya.
“Hua Mulan!” suaranya bergema keras. “Darah naga tidak seharusnya berlutut pada Han! Datanglah dan kembalilah ke bangsa asalmu!”
Mulan berdiri di atas tebing batu, tubuhnya tegak, rambutnya berkibar diterpa angin. “Aku tidak berlutut pada siapa pun,” jawabnya lantang. “Aku berdiri untuk tanah yang kulindung tabah Hua dan tanah Han!”
Pasukan Xianbei meraung marah, dan pertempuran dimulai.
Anak panah terbang menembus langit, menghujani medan perang. Salju yang putih kini berubah merah. Mulan berlari menembus barisan depan, pedangnya berkilat, memotong udara dan darah bersamaan. Ia bergerak seperti badai hidup setiap langkahnya mengubah arah perang.
Zhao Ren berteriak dari belakang, “Bentuk formasi tombak! Jangan biarkan mereka menembus garis!”
Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Satu demi satu prajurit Han jatuh ke tanah. Mulan menatap ke langit hanya separuh hari berlalu, dan mereka sudah kehilangan separuh kekuatan.
“Bertahan,” gumamnya. “Kita hanya perlu bertahan.”
Tiba-tiba, suara dentuman besar terdengar dari sisi timur. Ledakan salju menghantam bukit. Pasukan Xianbei berteriak, "mereka membuka jalur baru, mencoba mengapit pasukan Mulan dari dua arah."
Zhao Ren menoleh panik. “Mereka tahu posisi kita!”
“Tidak mungkin…” Mulan memicingkan mata, lalu wajahnya mengeras. “Ada pengkhianat.”
Ia menarik panah dari punggung prajurit yang tewas—di ujungnya terikat pita merah dengan simbol naga emas. Itu simbol rahasia istana Han.
“Lord Yuan…” bisiknya tajam. “Dia memberi mereka posisi kita.”
Amarah memenuhi matanya, tapi tidak ada waktu untuk membalas.
Ia menatap pasukan yang tersisa. “Kita mundur ke jurang barat! Gunakan lembah sebagai perangkap!”
Zhao Ren mengangguk dan memberi aba-aba. Mereka mundur cepat ke arah lembah sempit. Saat pasukan Xianbei mengejar, Mulan memberi sinyal dan puluhan tong minyak yang disembunyikan di bawah salju disulut api.
Ledakan besar mengguncang gunung. Kobaran api melahap lembah. Kuda-kuda menjerit, pasukan Xianbei terpecah. Tapi dalam kekacauan itu, sosok bertopeng perak justru menembus api, menunggangi kuda putihnya langsung menuju Mulan.
Benturan dua pedang terdengar keras. Percikan api memancar di udara.
“Kau…” desis Mulan, menahan serangan.
Pria itu tertawa rendah. “Kau bahkan lebih mirip ibumu daripada yang kukira.”
Mulan tertegun. “Kau mengenal ibuku?”
“Dia ratu terakhir Xianbei. Aku, pengawal pribadinya.”
Mata Mulan melebar. “Itu berarti…”
“Aku pamannya,” kata pria itu dingin. “Dan aku datang untuk menjemputmu pulang.”
Ia menebas cepat. Mulan menangkis, tapi tenaga pria itu luar biasa. Setiap benturan membuat tanah bergetar.
“Kau punya darah raja di nadimu!” seru pria itu. “Kau dilahirkan untuk memimpin, bukan melayani manusia Han!”
Mulan berteriak sambil menangkis, “Aku dilahirkan untuk memilih nasibku sendiri!”
Mereka bertarung di tengah badai salju, dua bayangan bergerak di antara percikan api dan serpihan es. Akhirnya, dengan gerakan cepat, Mulan memutar pedangnya dan menusuk bahu pria itu. Topeng peraknya terlepas, memperlihatkan wajahnya tampan, tapi keras seperti batu.
Ia tersenyum samar. “Kau memang darah naga sejati.”
Tiba-tiba, dari balik kabut, suara terompet perang terdengar—panjang dan berat. Han Xin telah tiba dengan pasukannya.
Mulan menatap ke arah suara itu, namun pria bertopeng perak menarik diri dengan cepat. “Kita akan bertemu lagi, Putri Naga. Saat kau siap menerima darahmu.”
Ia melompat ke kuda dan menghilang ke dalam kabut.
Mulan terhuyung, lututnya goyah. Luka di bahunya terbuka, darah menetes di atas salju putih. Ia mencoba berdiri, tapi pandangannya mulai kabur.
“Yang Mulia!” Zhao Ren berlari menghampiri dan menahan tubuhnya yang hampir jatuh.
Kabut terbelah, dan pasukan Han muncul dari balik bukit. Di depan, Han Xin menunggang kuda hitam, wajahnya tegang.
“Mulan!” ia berlari turun dan menangkap tubuhnya sebelum terjatuh.
Mulan tersenyum lemah. “Kau datang lebih cepat dari janjimu.”
Han Xin menatap wajahnya yang pucat. “Kau gila. Kau menantang ribuan orang sendirian.”
Mulan terkekeh pelan meski suaranya serak. “Aku cuma menepati janji… menjaga Han.”
Han Xin memeluknya erat. “Istana tidak berarti apa pun tanpa kau.”
Hening sesaat. Hanya angin yang berdesir pelan, membawa aroma darah dan salju.
“Dia masih hidup,” bisik Mulan pelan. “Pria bertopeng itu… pamanku.”
Han Xin mengangkat wajahnya, kaget. “Apa?”
Mulan menatap jauh ke utara. “Perang ini… baru dimulai.”
Dan di kejauhan, di balik kabut putih yang tak berakhir, terdengar suara seruling panjang suara yang sama seperti malam ketika perang pertama dimulai.
Salju turun semakin deras. Di langit, seekor burung gagak terbang melintasi kabut, membawa firasat gelap bagi seluruh negeri Han.
Mulan menatap salju yang jatuh di telapak tangannya. “Darah naga dan darah manusia… akhirnya akan bertemu.”
Han Xin menggenggam tangannya erat. “Kalau begitu, kita akan melawan bersama.”
Ia mengangguk pelan. “Bersama.”
Di balik pegunungan, matahari merah muncul perlahan merah seperti darah, menandakan fajar dari perang baru yang akan mengguncang seluruh daratan.
Bersambung