Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang sunyi
Setelah menjalankan tugas pertamanya bersama tim, Valencia merapikan berkas di mejanya. Ruangan kantor detektif mulai sepi, hanya terdengar suara langkah kaki dan bunyi tas yang dikancing. Ia melirik ke arah Alaric, Bayu dan Cakra yang sedang bersiap untuk pulang juga.
"Aku duluan, senior," ucapnya singkat, suaranya datar dan tegas. Tanpa menunggu balasan, Valencia melangkah keluar, meninggalkan ketiganya yang hanya saling pandang sejenak sebelum melanjutkan aktivitas masing-masing.
Begitu sampai di parkiran, udara malam langsung menyambutnya dengan sejuk dan tenang. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan mobil hitam miliknya. Ia membuka pintu, duduk di balik kemudi, dan menyalakan mesin. Mobil itu meluncur perlahan keluar dari halaman kantor kepolisian.
Namun beberapa menit kemudian, lampu kecil berwarna merah di daerah dashboard menyela. Valencia menatapnya sekilas, wajahnya tetap datar tapi matanya memantulkan kewaspadaan. Tanpa ragu, ia menepi di pinggir jalan yang sepi, di antara bayangan pepohonan. Tangan kanannya membuka laci dasbor, mengeluarkan sebuah ponsel hitam yang tidak pernah terdaftar di jaringan publik.
Ia menatap layar ponsel itu sebentar—ada satu pesan masuk. Nama pengirimnya membuat bibir Valencia terangkat tipis. Dengan cepat, ia menekan tombol panggil. Suara di seberang langsung terdengar.
"Halo, Om," sapa Valencia tenang, nada suaranya berubah lembut.
"Halo, Detektif Valencia," suara Evan terdengar sedikit menggoda. "Bagaimana tugas pertamamu?"
Valencia mendesah pelan, menatap jalanan gelap di depannya. "Ih, Om, jangan panggil Valencia. Panggil El aja," ujarnya dengan nada sedikit manja, tapi tetap terdengar tegas.
Evan tertawa kecil di seberang sana. "Baiklah, baiklah, maaf. Jadi, bagaimana hasilnya, El?"
"Lancar, Om. Semuanya sesuai rencana. Pak Andra juga puas dengan kerja aku," jawab Valencia bangga. Matanya menatap pantulan dirinya di kaca spion—dingin tapi menyala oleh tekad.
"Om sudah duga," ucap Evan pelan, nada suaranya berubah lembut tapi dalam. "Kamu memang jauh lebih baik dari detektif lain."
Valencia tersenyum kecil, kali ini senyum yang tulus. "Semua ini berkat Om Evan. Kalau bukan karena latihan dari Om, mungkin aku gak akan bisa sejauh ini."
“Hm…” Evan bergumam pendek, kemudian menambahkan dengan nada yang lebih serius, “El, tapi kamu tahu kan…”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Valencia sudah menimpali cepat, matanya menajam. “Tahu, Om. El paham maksud Om.”
Keheningan menggantung sejenak di antara keduanya. Hanya suara mesin mobil yang bergetar pelan di tengah malam.
Di balik wajah tenangnya, Valencia tahu arah pembicaraan itu—tentang rahasia besar yang belum selesai ia ungkap, tentang kematian sang ayah yang masih menyisakan jejak di hatinya.
•●•
Malam semakin larut ketika Valencia memarkir mobilnya di depan rusun sederhana yang sudah menjadi tempat tinggalnya sejak dulu. Lampu-lampu jalan berpendar redup, menyoroti dinding yang mulai kusam dan pagar besi yang sedikit berkarat.
Meski sudah berkali-kali Evan menawarinya untuk tinggal di rumah besar miliknya, Valencia selalu menolak dengan alasan yang sama—“Aku masih mau tinggal di tempat yang Ayah tinggalkan.”
Ia menatap bangunan itu sebentar, seolah sedang berbicara dalam hati pada sosok ayahnya yang sudah tiada. Lalu, dengan langkah tenang, ia masuk ke dalam.
Begitu pintu ditutup, suasana hening langsung menyelimuti ruangan kecil itu. Tak ada suara selain hembusan kipas angin dan desiran angin malam yang masuk dari jendela. Valencia menggantung mantel hitamnya, lalu berjalan ke kamar mandi. Air dingin mengalir membasahi tubuhnya, membawa sedikit rasa tenang setelah seharian menahan tegang di lapangan.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan rambut setengah basah dan kaus longgar. Tubuhnya terasa lebih ringan, tapi pikirannya tetap berputar di antara dua dunia — dunia kepolisian dan masa lalu yang belum selesai.
"Tin!"
Suara notifikasi dari ponselnya membuatnya menoleh. Ia mengambil ponsel di meja dan melihat notifikasi grup berjudul “Tim 4 Detektif.”
Nama pengirimnya: Bayu.
Bayu: Woi, semua! Malam ini kita makan bareng yuk! Merayakan misi yang sukses 😎
Cakra: Setuju. Aku tahu tempat enak, dekat taman kota.
Alaric: Aku ikut, asal jangan yang berisik.
Bayu: Ayolah Val, jangan serius mulu. Sekali-sekali bersenang-senang.
Cakra: Iya tuh, detektif baru harus traktir 😁
Valencia membaca semua pesan itu tanpa ekspresi. Jari-jarinya sempat berhenti di atas layar, seolah ingin mengetik balasan, tapi akhirnya ia hanya mengembuskan napas pelan.
“Besok juga bisa…” gumamnya datar, lalu meletakkan ponsel di meja.
Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirai, dan menatap langit malam yang gelap tanpa bintang.
“Besok aku akan mulai lagi,” bisiknya pelan, entah kepada siapa — mungkin kepada dirinya sendiri, mungkin kepada ayahnya yang sudah pergi.
Ia kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang. Satu tangan menggenggam kalung kecil peninggalan sang ayah yang selalu ia simpan. Matanya perlahan terpejam, tubuhnya tenggelam dalam keheningan kamar yang sederhana itu.
Malam itu, dunia luar mungkin berpesta kecil karena misi yang sukses, tapi di dalam ruangan itu, Valencia hanya ingin tidur — memulihkan tenaga, dan menyiapkan hati untuk hari-hari berat yang menunggunya.