Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. PERTEMUAN PERTAMA DITENGAH MALAM
..."Kadang rasa lapar bukan untuk makanan, tapi untuk sesuatu yang hilang: kehangatan, makna, atau alasan untuk bertahan."...
...---•---...
Hari ketiga, dan Doni sudah bisa merasakan beratnya keheningan rumah ini. Bukan keheningan yang damai, tapi keheningan yang menunjukkan sesuatu yang hilang. Tentang kehidupan yang terhenti, walau jantung masih memompa darah.
Pagi itu ia bangun lebih awal dari biasanya. Pukul setengah empat, langit masih hitam pekat. Ia tidak bisa tidur. Terlalu banyak pikiran berputar di kepalanya. Tiga hari berturut-turut, keahlian terbaiknya dinilai tidak sesuai. Sup ayam jahe, salmon panggang, nasi tim, semuanya dikembalikan.
Setiap piring yang kembali terasa seperti tamparan pelan tapi konsisten. Tidak keras, tapi cukup membuat pipinya panas oleh rasa gagal. Ia adalah koki yang tidak bisa memberi makan kliennya.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Air dingin menghujam wajahnya, tapi tidak cukup untuk membangunkan semangat yang mulai luntur. Di cermin, wajahnya sendiri tampak asing. Mata berkantung, lingkaran hitam menggantung berat di bawah kelopak yang sembab. Rahang menegang, otot-ototnya kaku dari mengatup gigi sepanjang malam. Kerutan di dahi yang belum ada seminggu lalu kini terukir jelas.
Tiga hari terasa seperti tiga minggu. Bahunya pegal dari tegangan yang tidak pernah hilang. Matanya perih, kering dari kurang tidur. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat piring-piring yang kembali utuh, menara makanan yang tidak tersentuh, seperti monumen kegagalannya yang terus bertambah tinggi.
Saat turun ke dapur pukul empat pagi, ia menemukan sesuatu yang tidak biasa. Lampu dapur menyala redup, dan ada seseorang berdiri di depan kulkas yang terbuka. Sosok ramping dengan rambut panjang terurai, mengenakan kaus putih kebesaran dan celana olahraga. Cahaya kulkas menerangi wajahnya dari bawah, menciptakan bayangan aneh yang memanjang ke langit-langit.
Naira Adani.
Doni berhenti di ambang pintu, jantungnya berdetak tidak beraturan, berdentum keras di telinganya sendiri. Ini pertama kalinya ia melihatnya secara langsung. Bukan foto di majalah yang glamor, bukan wajah di papan reklame, tapi manusia rapuh yang berdiri dua meter darinya.
Ia jauh lebih kurus dari yang Doni bayangkan. Tulang belikatnya menonjol tajam di balik kaus tipis, seperti sayap yang patah. Lengannya seperti ranting pohon yang siap patah tertiup angin. Tapi yang paling mencolok adalah caranya berdiri, seperti sedang menahan berat dunia di bahunya. Punggung sedikit bungkuk, kepala tertunduk, seperti meminta maaf pada gravitasi karena masih berdiri.
Naira menatap isi kulkas, tatapannya kosong, seperti mencari sesuatu yang sudah lama hilang. Tangannya terangkat, melayang di depan wadah-wadah makanan yang Doni simpan, tapi tidak mengambil apa pun. Jari-jarinya gemetar sedikit di udara dingin.
Doni berdeham pelan, tidak ingin membuatnya terkejut. "Selamat pagi."
Naira tersentak, menoleh cepat. Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya. Mata Naira lebar, gelap, dan kosong. Cantik, tapi menakutkan dalam kehampaan itu. Seperti sumur yang dalam tanpa dasar.
"Maaf," katanya dengan suara serak, seperti pita suara yang jarang dipakai, seperti karat yang menempel pada logam. "Saya tidak tahu ada orang."
"Tidak apa-apa. Ini dapur, saya yang seharusnya ada di sini." Doni melangkah masuk perlahan, menjaga jarak, seperti mendekati binatang liar yang bisa kabur kapan saja. Pasal Dua Belas langsung bergema di kepalanya. Tidak boleh terlibat personal. Tidak boleh kontak fisik tidak perlu. Tidak boleh... "Anda lapar? Saya bisa buatkan sesuatu."
Naira menutup kulkas, menggeleng pelan. "Tidak. Saya hanya... tidak bisa tidur."
"Saya juga." Doni berjalan ke kompor, mengisi teko dengan air. "Teh hangat mungkin bisa membantu."
Ia kira Naira akan pergi. Tapi perempuan itu malah duduk di kursi meja dapur. Diam-diam, seperti anak kecil yang tidak tahu harus berbuat apa.
Doni menyalakan kompor, meletakkan teko. Api biru menyala dengan desis lembut. Ia mengambil dua cangkir, memasukkan kantong teh chamomile. Gerakannya pelan dan hati-hati, seperti sedang bergerak di sekitar sesuatu yang rapuh dan berharga.
Dapur sunyi. Bukan keheningan yang nyaman, tapi keheningan tebal yang membuat suara sekecil apa pun terasa terlalu keras. Bunyi air mendidih di dalam teko terdengar seperti gemuruh di telinga Doni.
"Anda koki yang baru," kata Naira tiba-tiba. Bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
"Ya. Doni Pradipta."
"Ratna bilang Anda menang undian."
"Iya. Kebetulan yang... tidak terduga."
"Kebetulan atau kutukan?" Naira tersenyum tipis, tanpa kehangatan, hanya lengkungan bibir yang tidak sampai ke mata. "Tiga hari kerja untuk seseorang yang tidak makan. Pasti siksaan untuk seorang koki."
Doni memutuskan untuk jujur. "Saya hanya ingin membuat sesuatu yang Anda suka. Tapi sepertinya saya belum berhasil."
"Bukan salah Anda. Masakan Anda pasti enak. Saya yang bermasalah." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti membaca fakta cuaca.
Teko mulai mendidih, uap mengepul dari mulutnya. Doni menuangkan air panas ke cangkir. Aroma chamomile mengepul, memenuhi udara dengan wangi bunga yang menenangkan, lembut dan mengantuk.
Ia meletakkan satu cangkir di depan Naira, satu untuk dirinya. Duduk di seberangnya, menjaga jarak yang aman di atas meja dapur.
"Tidak ada yang bermasalah," kata Doni pelan. "Hanya butuh waktu untuk sembuh."
Naira menatap cangkir di hadapannya. Uapnya naik pelan, menari di udara dingin pagi. "Ratna pasti sudah cerita. Tentang saya. Tentang... perceraian."
"Ia tidak cerita banyak. Hanya bilang Anda sedang dalam masa pemulihan."
"Pemulihan." Naira mengucapkan kata itu seperti benda asing di lidah, seperti mencoba bahasa yang tidak ia pahami. "Kata yang bagus untuk menggambarkan orang yang pecah dan berusaha menyatukan dirinya lagi dengan lem yang salah."
Doni mengangkat cangkir, menyesap sedikit. Panas mengalir turun ke tenggorokan. "Lem apa yang Anda pakai?"
"Isolasi. Keheningan. Tidak merasakan apa-apa." Naira akhirnya menyesap sedikit tehnya. "Kalau tidak merasakan apa-apa, tidak ada yang bisa menyakiti lagi."
"Tapi juga tidak ada yang bisa menyembuhkan," balas Doni.
Aku baru saja melanggar batas. Pasal Dua Belas. Tidak boleh terlibat personal. Tidak boleh bicara tentang hal-hal pribadi. Lima ratus juta rupiah.
Tapi entah kenapa, ia tidak peduli.
Mata Naira menatapnya. Untuk pertama kali, ada percikan sesuatu di sana. Bukan marah, melainkan kejutan. Seperti menemukan cahaya di tempat yang sudah lama gelap. "Anda terdengar seperti terapis saya."
"Maaf. Saya tidak bermaksud..."
"Tidak. Lanjutkan." Naira meletakkan cangkirnya. "Semua orang di sekitar saya berjalan di atas kulit telur, takut saya pecah. Menyegarkan mendengar seseorang bicara dengan normal."
Normal. Tidak ada yang normal tentang situasi ini.
"Kalau boleh tahu," kata Doni hati-hati, "apa yang membuat Anda turun ke dapur tengah malam? Selain tidak bisa tidur."
Naira terdiam lama. Jari-jarinya melingkari cangkir, mencari kehangatan yang tersisa. "Aroma. Dari makanan yang Anda masak kemarin. Sup ayam dengan jahe. Aromanya begitu kuat, naik ke kamar saya, masuk lewat ventilasi. Dan untuk sesaat, sangat singkat, saya lapar."
Doni merasakan harapan yang berbahaya, seperti bara yang baru saja ditiup api, bisa membesar jadi kehangatan atau justru membakar segalanya.
"Tapi begitu saya melihat makanannya, disajikan cantik di piring putih bersih, semuanya hilang. Rasa lapar itu digantikan rasa bersalah." Naira menatap tangannya sendiri, jari-jari yang kurus dan pucat. "Bersalah karena masih hidup. Bersalah karena masih ingin merasakan sesuatu. Bersalah karena... tidak mati, padahal rasanya lebih mudah untuk mati saja."
Keheningan jatuh seperti kain hitam menutup ruangan. Doni tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya seorang koki. Ia tidak punya hak untuk menjawab rasa sakit ini.
"Tapi Anda masih di sini," kata Doni akhirnya, suaranya serak. "Itu artinya masih ada bagian dari Anda yang ingin hidup. Sekecil apa pun."
Naira tersenyum, dan kali ini ada sedikit kehangatan yang rapuh, seperti lilin yang baru dinyalakan di ruang gelap. "Atau terlalu pengecut untuk mati."
"Atau terlalu kuat untuk menyerah."
Mereka saling menatap di atas cangkir teh. Dua orang asing. Dua jiwa yang terluka. Tapi di pagi yang gelap ini, ada sesuatu yang mulai terbentuk di antara mereka. Bukan persahabatan. Belum. Tapi pengertian. Pengakuan bahwa keduanya pernah berdiri di tepi jurang yang sama.
"Mama saya dulu sering membuat nasi goreng," kata Naira tiba-tiba, menatap cangkirnya. Suaranya berubah, lebih lembut, seperti anak kecil yang mengingat rumah. "Nasi goreng kampung sederhana. Dengan telur ceplok di atas dan kerupuk di samping. Tidak ada yang istimewa, tapi itu makanan favorit saya. Setiap kali sedih waktu kecil, Mama buatkan itu. Entah kenapa, semuanya jadi terasa lebih baik."
Doni mendengarkan dengan saksama. Ini bukan resep, ini adalah peta menuju memori terhangat Naira. "Karena yang Anda cari bukan rasa," kata Doni pelan. "Tapi perasaan saat Mama Anda yang memasaknya."
Naira mengangguk perlahan. Air mata menggenang di matanya, memantulkan cahaya redup dapur, tapi tidak jatuh. "Bodoh, ya? Berharap makanan bisa mengembalikan orang yang sudah pergi."
"Tidak bodoh. Manusiawi. Itulah mengapa kita makan."
Mereka menghabiskan teh dalam keheningan yang lebih nyaman. Langit di luar mulai terang, biru tua berganti biru muda. Burung-burung mulai berkicau menyambut fajar, suara yang terasa asing setelah keheningan malam.
Naira berdiri, mendorong cangkir kosongnya. "Terima kasih untuk tehnya."
"Sama-sama."
Ia berjalan menuju pintu, tapi berhenti di ambang. Membelakangi Doni, bahunya naik turun sekali, seperti menarik napas dalam untuk mengumpulkan keberanian. Suaranya keluar nyaris berbisik, rapuh dan penuh harapan yang takut diucapkan. "Besok pagi. Kalau Anda mau... coba buat nasi goreng kampung itu. Tidak perlu sama persis. Hanya... coba saja."
Lalu ia menghilang ke dalam bayang-bayang lorong. Langkah kakinya pelan naik tangga, hampir tidak terdengar, seperti hantu yang tidak yakin ia masih punya hak untuk menginjak lantai itu. Suaranya hilang, tapi permintaannya menggantung di udara seperti doa yang ditinggalkan.
Doni berdiri sendirian di dapur megah yang mulai terang oleh fajar. Cangkir teh Naira masih hangat di atas meja. Dan di dadanya, ada misi yang baru, lebih penting, dan jauh lebih berbahaya: membuat seseorang yang sudah menyerah, ingin merasakan kehidupan lagi.
Doni duduk kembali, menatap cangkir tehnya sendiri yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit. Bukan karena takut, tapi karena berat dari apa yang baru saja terjadi.
Aku baru saja bicara tentang hal-hal pribadi dengan klien. Aku baru saja melewati batas yang dilarang. Lima ratus juta rupiah kalau tertangkap.
Tapi lebih dari itu, ia baru saja melihat seseorang yang ingin mati meminta bantuan untuk hidup. Dan tidak ada jumlah uang atau kontrak yang bisa membuatnya berpaling dari itu.
Besok, aku akan membuat nasi goreng kampung. Bukan untuk kontrak. Bukan untuk uang.
Untuk menyelamatkan seseorang.
...---•---...
...Bersambung...