Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat Pengalihan Perhatian
Di ruang kantor Kakek Umar di lantai teratas perusahaan Aldridge, ketegangan masih terasa akibat insiden media kemarin.
"Ethan, kita harus melakukan sesuatu. Zayn, dia—hah... Kamu hubungi dia, minta maaf padanya, selesaikan masalah ini, dan bicara padanya," perintah Kakek Umar, suaranya lelah tetapi otoriter.
"Ya, aku akan menemuinya dan berbicara padanya," jawab Ethan. "Dan mengenai Amara, seperti yang Zayn katakan bahwa Amara menanyakan itu kepadanya, kita harus mengalihkan perhatian Amara dari berita itu ke yang lain."
"Benar," kata Kakek Umar. "Hubungi Amelia. Ajak Amara untuk terlibat dalam mempersiapkan pernikahan ini. Tinggal empat hari lagi. Biarkan dia melihat cincin yang sudah jadi, atau dekorasi, dan sebagainya. Sibukkan dia."
"Ya, aku akan menghubungi Amelia. Saya permisi ke ruangan saya, Pa," kata Ethan.
"Ya," balas Kakek Umar.
Ethan kemudian keluar dari ruangan Kakek Umar. Saat melewati koridor menuju ruangannya, ia bertemu Arya.
"Pa," sapa Arya.
Ethan menatap Arya. Ada kekecewaan dan kemarahan yang jelas di mata Ethan.
"Hm," balas Ethan singkat, lalu pergi melewati Arya tanpa sepatah kata pun.
Arya menghela napas panjang. Ia tahu keheningan itu lebih menyakitkan daripada tamparan. Ia melanjutkan langkahnya dan menuju ruangannya.
Setelah masuk ke ruangannya, Arya disambut oleh Rian, asisten pribadinya, yang sudah menata setumpuk dokumen yang menggunung di atas meja.
"Rian, ini...?" kata Arya, terkejut melihat volume pekerjaan itu.
"Ya, Tuan. Ini adalah pekerjaan yang harus Anda bereskan hari ini juga. Ini atas perintah Tuan Umar," kata Rian, nadanya formal.
Arya mendekati meja. Dia tahu ini bukan sekadar pekerjaan; ini adalah hukuman karena telah menyebabkan kekacauan media dan memaksa Kakek Umar berhadapan dengan Zayn.
Hah... Apa ini jenis hukumannya? kata Arya dalam hati.
Di tengah tumpukan pekerjaan itu, Arya tahu dia harus membuktikan kepada Kakek Umar bahwa dia masih layak berada di perusahaan ini, bahkan jika dia harus menikahinya dengan hati yang beku. Dia duduk di kursinya, meraih dokumen paling atas, dan mulai bekerja, menenggelamkan diri dalam angka-angka untuk menghindari memikirkan Olivia dan janji yang baru saja dia ucapkan.
...***...
Setelah pertemuan nya dengan Kakek Umar dan Arya di Koridor, Ethan duduk di kursi ruang kerjanya, tangannya memijat pelipisnya. Ia harus segera bertindak untuk memperbaiki kekacauan yang disebabkan oleh Arya, yang kini ditimpakan kepadanya.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amelia.
"Halo, Sayang," sapa Ethan.
"Ada perkembangan apa, Ethan? Zayn marah besar sekali kemarin. Bagaimana situasinya sekarang?" kata Amelia, nadanya terdengar khawatir.
"Aku tahu, Sayang, dan itulah yang sedang Papa dan aku tangani. Dengar, kamu harus membantu. Kita harus alihkan perhatian Amara dari berita sialan itu," jelas Ethan.
"Bagaimana caranya?"
"Papa punya ide. Kamu hubungi Amara sekarang. Ajak dia untuk terlibat dalam persiapan pernikahan. Empat hari lagi. Ajak dia melihat cincin yang sudah jadi, atau bicara tentang dekorasi, apa pun. Pokoknya, buat dia sibuk dan senang. Jangan biarkan dia berpikir lagi soal berita itu," instruksi Ethan.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan segera menghubunginya," jawab Amelia.
"Bagus. Berhati-hatilah, Sayang. Kita tidak boleh membuat Amara curiga atau trauma lamanya muncul kembali," pesan Ethan sebelum menutup telepon.
Setelah memastikan Amelia bergerak, Ethan segera menghubungi Zayn. Ini adalah tugas yang paling sulit: meredakan kemarahan seorang ayah yang ketakutan.
panggilan tersambung.
"Halo, Zayn," sapa Ethan, nadanya rendah dan menyesal.
"Ada apa, Ethan? Kalau mau bicara soal janji yang kalian langgar, aku sedang tidak ingin mendengarnya," balas Zayn dingin.
"Aku tahu. Aku tahu kami gagal dan aku sungguh minta maaf. Aku tidak mencari alasan, tapi aku hanya ingin bertemu denganmu, empat mata," ujar Ethan. "Aku ingin menjelaskan sepenuhnya apa yang terjadi, dan yang lebih penting, aku ingin menjamin bahwa hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. Aku harus meminta maaf secara langsung."
Zayn terdiam di seberang sana.
"Kapan?" tanya Zayn akhirnya.
"Malam ini. Di mana pun kamu mau," jawab Ethan.
"Baiklah. Aku akan mengirimimu alamat sebuah restoran pribadi. Datang sendirian," kata Zayn.
"Terima kasih, Zayn," kata Ethan.
Ethan mengakhiri panggilan, merasa sedikit lega karena setidaknya Zayn mau berbicara dengannya. Ia tahu, tugasnya tidak akan mudah, tetapi ia harus melakukannya. Ia harus melindungi pernikahan ini, demi reputasi Aldridge dan, yang terpenting, demi rencana yang lebih besar yang dirangkai Kakek Umar, yang kini melibatkan trauma masa lalu Amara.
...***...
Di Kediaman Aldridge, Amelia duduk di sofa ruang tengah, ponsel di tangan. Setelah berbicara dengan Ethan, ia tahu tugasnya adalah membuat Amara kembali ceria dan lupa akan berita aneh yang sempat dilihatnya.
Amelia menghubungi Amara.
Sementara itu, Amara kini sedang berada di ruangannya di kantor Wijaya. Ia sedang memeriksa beberapa draft desain, tetapi pikirannya masih melayang pada ekspresi aneh Papanya dan headline berita yang hilang kemarin.
Ponselnya berdering, menampilkan nama Tante Amelia.
"Halo, Tante," sapa Amara.
"Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Amelia dengan nada yang sangat hangat dan ceria.
"Baik, Tante. Ada apa?" tanya Amara.
"Begini, Amara. Tante minta maaf karena Tante dan Arya sedikit sibuk kemarin. Tapi, Tante ingat, pernikahan kita tinggal hitungan hari, lho! Tante merasa kamu belum sepenuhnya terlibat dalam final check," kata Amelia, mulai menjalankan strateginya.
"Oh, iya?"
"Tante tahu kamu pasti sibuk, tapi ini hal penting! Tante mau mengajak kamu sekarang. Cincin pernikahan kamu sudah selesai dipoles hari ini, dan desainer dekorasi sedang menunggu persetujuan akhirmu untuk venue dan bunga," lanjut Amelia dengan antusias. "Bagaimana kalau kita bertemu sekarang? Tante ingin kamu melihat semuanya, ini hari pentingmu."
Amara tersenyum. Merasa dibutuhkan dan dilibatkan dalam detail pernikahan segera mengalihkan pikirannya dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.
"Wah, iya, Tante! Tentu saja. Aku senang Tante mengajakku. Aku merasa kurang ikut campur di bagian dekorasi," jawab Amara, semangatnya kembali.
" Bagus, Sayang! Kalau begitu, kita bertemu di kafe dekat Butik Le Mariage, ya? Dari sana kita bisa langsung ke studio desain untuk melihat layout dekorasi. Sampai ketemu! ," tutup Amara.
"Baik, Tante. Sampai ketemu," tutup Amara.
Amelia menghela napas lega setelah menutup panggilan nya. Amara sudah terpancing. Kini, tinggal Ethan yang harus berhadapan dengan Zayn malam nanti.
...***...
Setelah menerima panggilan dari Amelia , Amara segera membereskan dokumen di mejanya dan bersiap untuk pergi. Dengan semangat persiapan pernikahan, ia keluar dari ruangan.
Saat melewati koridor menuju lift, Zayn melihat Amara dan segera menghentikannya.
"Amara, kamu mau ke mana?" tanya Zayn, nadanya lembut tetapi ada sedikit kekhawatiran.
"Itu, Pa. Tante Amelia barusan menghubungi Amara. Tante mengajak Amara untuk melihat cincin dan dekorasi," kata Amara, wajahnya cerah.
Zayn menarik napas lega. Rencana Aldridge berhasil.
"Ah, baiklah. Hati-hati di jalan," kata Zayn. Ia senang putrinya tidak lagi memikirkan berita aneh kemarin.
"Iya, bye, Pa," kata Amara, mengecup pipi ayahnya.
"Bye," balas Zayn.
Amara kemudian meninggalkan perusahaan Wijaya Group. Ia langsung menuju mobil yang sudah menunggunya.
Di saat yang sama, di Kediaman Aldridge, Amelia telah selesai bersiap. Ia mengenakan pakaian yang elegan dan siap memainkan peran sebagai calon mertua yang antusias.
Ia melihat Bima, yang kebetulan berada di foyer.
"Bima, siapkan mobil! Saya harus segera menuju kafe dekat Le Mariage," kata Amelia.
"Baik, Nyonya," kata Bima, segera memerintahkan pengawal untuk menyiapkan mobil terbaik untuk Nyonya Aldridge.
Amelia berjalan keluar, menuju mobil yang sudah menunggu. Ia kini akan bertemu Amara, dengan satu misi: membuat Amara terpesona dan sibuk dengan pernikahan, menjauhkannya dari segala bentuk keraguan atau ingatan trauma.
...***...
Sesampainya di sebuah kafe eksklusif bergaya Art Deco dengan aroma kopi premium, Amara memilih duduk di dekat jendela, di tempat yang mudah terlihat. Ia memesan minuman ringan dan menunggu. Tak lama kemudian, Amelia tiba dan melihat Amara yang sedang meminum minumannya. Ia pun segera menghampiri Amara.
"Amara, maaf Tante telat. Tadi jalanannya sedikit macet," kata Amelia, menarik kursi di depan Amara.
"Nggak apa-apa, Tante. Tante mau pesan apa? Minuman atau cemilan?" tawar Amara.
"Boleh, kopi saja kali ya," kata Amelia, lalu memanggil pelayan. "Saya pesan Kopi Latte hangat," katanya pada pelayan.
Setelah Amelia memesan, ia tidak membuang waktu. Ia harus segera mengalihkan perhatian Amara.
"Begini, Sayang. Tante tahu kemarin ada sedikit miss di media sosial, ya? Tapi itu sungguh tidak penting. Jangan sampai itu merusak hari bahagiamu," kata Amelia dengan nada kasihan yang dibuat-buat, namun cepat-cepat ia ubah.
"Justru itu Tante mengajakmu sekarang! Kita harus fokus pada yang indah-indah," lanjut Amelia, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari tas mewahnya dan membukanya. "Ini, coba lihat ini."
Tepat saat mata Amara terpaku pada cincin itu, pelayan datang mengantar pesanan Kopi Latte hangat Amelia dan meletakkannya di meja dengan hati-hati.
Pelayan meletakkan cangkir Amelia di meja. "Terima kasih," bisik Amelia pada pelayan tanpa mengalihkan pandangan dari Amara.
Mata Amara berbinar melihat cincin itu. Kekhawatiran dan kecurigaan yang ia rasakan terhadap Papanya dan berita aneh kemarin langsung menguap.
"Ini adalah center piece dari pernikahan kita. Desainnya benar-benar klasik, sengaja Tante pilih yang tidak terlalu ramai, tapi tetap mewah dan elegan, seperti kamu," puji Amelia.
"Ya ampun, Tante! Cincinnya cantik sekali. Aku suka sekali!" seru Amara, mengambil cincin itu untuk dicoba. Cincin itu pas di jari manisnya.
Amelia tersenyum puas dan menyesap sedikit kopinya.
"Sempurna!" katanya, meletakkan cangkirnya. "Nah, sekarang cincin sudah selesai. Tugas kedua: kita harus segera melihat desain dekorasi akhir. Mereka menunggu persetujuanmu. Ada beberapa pilihan bunga yang Tante butuh pendapat kamu. Ayo, kita ke studio desain sekarang!"
Amelia dengan sigap berdiri, menunjukkan bahwa mereka tidak punya waktu untuk membahas hal lain selain pernikahan. Amara yang kini bersemangat, segera mengikuti.
"Ayo, Tante!" kata Amara.
Amelia tersenyum dan memimpin jalan. Mereka berdua segera meninggalkan kafe menuju mobil yang sudah menunggu di depan.
...***...
Tak lama kemudian, mobil yang membawa mereka tiba di studio desain dekorasi yang mewah. Di sana, suasana sudah ramai dengan mockup detail pernikahan. Mereka disambut oleh desainer yang bersemangat.
Di tengah ruangan, terdapat beberapa sketsa besar dan contoh material, mulai dari kain pelapis kursi hingga rangkaian bunga yang akan digunakan di altar. Ruangan itu dipenuhi aroma bunga lily dan mawar yang harum.
"Nyonya Amelia, Nona Amara, selamat datang. Kita bisa langsung melihat pilihan bunga untuk centerpiece di ballroom," kata desainer itu.
Amelia segera memanfaatkan momen tersebut. Ia memegang lengan Amara, seolah-olah mereka adalah tim yang kompak.
"Amara, lihat ini. Desainer menawarkan dua tone warna: ivory-blush yang klasik, atau deep sapphire yang lebih berani untuk sentuhan malam. Menurut kamu, mana yang paling cocok dengan gaun utama kamu?" tanya Amelia, membanjiri Amara dengan pertanyaan detail.
Amara, yang memang memiliki selera seni yang baik, segera tertarik. Ia berjalan ke setiap sudut, membandingkan contoh lighting, menyentuh bahan-bahan sutra.
"Tante, kalau menurut Amara, ivory-blush ini lebih lembut, tapi untuk lighting-nya, kita bisa tambahkan sedikit sentuhan keemasan agar terlihat lebih hangat dan mewah," usul Amara, matanya berbinar-binar.
Amelia tersenyum lega. Rencananya berhasil. Amara terlihat sangat bahagia dan fokus pada setiap detail. Tidak ada lagi raut bingung atau pertanyaan tentang berita aneh yang hilang dari internet.
"Ide bagus sekali, Sayang! See? Kamu memang harus ikut campur di sini. Coba lihat juga contoh suvenir untuk tamu VIP," kata Amelia, terus mengarahkan Amara dari satu detail ke detail lainnya.
Mereka menghabiskan hampir dua jam di studio. Ketika mereka keluar, Amara terlihat ceria dan penuh semangat, sepenuhnya teralihkan dari kegelisahan kemarin.
"Terima kasih banyak, Tante. Aku senang sekali bisa melihat semuanya. Dekorasi kita pasti akan indah!" kata Amara saat mereka berpisah di depan mobil.
"Sama-sama, Sayang. Sampai bertemu lagi, ya. Istirahat yang cukup," balas Amelia.
Amara mengangguk dan berjalan masuk ke mobil nya, Amelia melihat mobil Amara melaju, kemudian ia menghela napas panjang. Misinya selesai. Kini, Amelia harus pulang dan menunggu suaminya, Ethan, yang sebentar lagi akan berhadapan langsung dengan Zayn.
Bersambung.....