Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 / THTM
Langit sore tampak kelabu, udara lembap menusuk pori-pori.
Nayara baru saja selesai membantu ibunya mencuci piring ketika suara klakson mobil terdengar dari luar pagar.
Satu kali.
Pendek, tapi cukup membuatnya terpaku.
Ibunya menoleh dari dapur.
“Siapa tuh, Nay?”
“Gak tahu, Bu. Mungkin orang nyasar.”
Tapi dada Nayara terasa sesak — instingnya langsung tahu siapa yang datang.
Ia bergegas ke jendela ruang tamu dan menyingkap sedikit tirai.
Mobil hitam itu terparkir rapi di depan rumah kecil mereka.
Dingin, elegan, dan terlalu asing di antara rumah-rumah sederhana di pinggir kota ini.
Dari balik kaca mobil, seseorang duduk tenang.
Alaric.
Tatapannya tajam bahkan dari jauh.
Dan ketika mata mereka bertemu sepersekian detik, Nayara tahu — permainan ini belum berakhir.
“Nay, kenapa diem?”
Suara ibunya menyentak. Nayara buru-buru menarik napas.
“Enggak, Bu. Aku… keluar bentar, liat siapa yang datang.”
Langkahnya terasa berat saat mendekati pagar.
Ia berharap hujan turun deras, petir menyambar, apa pun — asal pria itu pergi.
Tapi langit hanya diam.
Saat pintu pagar dibuka, Alaric sudah turun dari mobil.
Ia mengenakan kemeja abu yang digulung hingga siku, wajahnya bersih tapi dingin seperti batu.
“Sore yang tenang,” ucapnya santai, suaranya dalam.
“Kau gak nyangka aku bisa datang ke sini, ya?”
Nayara menelan ludah.
“Kamu… gak seharusnya ke sini. Kalau ada apa-apa, aku bisa—”
“Bisa apa?” potongnya cepat, langkahnya maju hingga jarak mereka hanya sejengkal.
Tatapan itu membuat Nayara ingin mundur, tapi kakinya kaku.
“Kau pikir aku akan diam saja setelah kau menghindar dua minggu, Nayara?”
Suara Alaric datar, tapi nadanya mengandung sesuatu — bukan kemarahan, melainkan kendali.
“Aku gak menghindar…”
“Kau bohong.”
Ia menunduk sedikit, wajahnya begitu dekat hingga napasnya terasa di pipi Nayara.
“Aku sudah bilang, kan? Kalau aku ingin sesuatu, aku akan datang mengambilnya sendiri.”
Nayara menunduk, berusaha menahan gemetar.
“Tolong jangan begini di rumahku…” suaranya nyaris berbisik.
“Ibu bisa lihat.”
Alaric justru tersenyum tipis.
“Tenang. Aku gak akan berbuat apa-apa… selama kau belajar patuh.”
Tangannya bergerak — bukan untuk menyentuh, hanya menyingkirkan helaian rambut di wajah Nayara. Tapi sentuhan kecil itu cukup membuat darahnya berdesir.
“Aku cuma mau bicara.”
“Tentang apa?”
“Tentang kita.”
Kata kita itu membuat perut Nayara mual.
“Tidak ada ‘kita’, Kak Alaric. Yang terjadi dulu—”
“Yang terjadi dulu… masih akan terjadi lagi kalau aku mau,” potongnya dengan senyum yang entah kenapa terasa menakutkan.
“Kau masih terus mengingatnya, kan?”
Wajah Nayara memanas.
Ia membuang pandangan, tapi Alaric terus menatapnya, seolah menikmati rasa panik gadis itu.
“Berhenti main seperti ini…” desisnya.
“Aku cuma ingin hidup normal.”
“Normal?” Alaric mendekat lagi. “Kau pikir setelah apa yang terjadi di antara kita, kau masih bisa normal? Kau sudah terlibat terlalu dalam, Nayara.”
“Aku gak mau lagi—”
“Kau gak punya pilihan.”
Alaric melangkah melewati Nayara tanpa diundang, masuk begitu saja ke halaman kecil rumah itu.
Tatapannya berkeliling, menelusuri tiap detail dengan ekspresi tenang namun penuh arti.
“Sederhana,” ujarnya datar. “Tapi aku suka. Cocok buat seseorang yang suka sembunyi.”
Nayara menggenggam erat jemarinya sendiri, menahan diri agar tidak berteriak.
“Apa maumu?”
Alaric berbalik perlahan, menatapnya lurus.
“Datang ke kantorku besok. Jam lima sore.”
“Kalau aku gak datang?”
Senyumnya kembali muncul — tipis, dingin, mengiris.
“Kalau kau gak datang… aku pastikan orang-orang tahu siapa sebenarnya gadis kecil yang berpura-pura suci di rumah ini.”
Satu kalimat itu cukup membuat Nayara kaku.
Ia menatap pria itu, antara takut dan marah, tapi tak bisa berkata apa-apa.
Alaric menunduk sedikit, matanya menatap dalam — bukan sekadar ancaman, tapi peringatan.
“Aku tunggu, Nayara. Jangan buat aku datang dua kali.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan masuk ke mobilnya lagi.
Suara mesin menggelegar singkat, lalu mobil itu melaju pergi.
Meninggalkan Nayara berdiri di depan pagar dengan lutut lemas, napas tercekat, dan hati yang kacau.
“Nay? Siapa tadi, Nak?”
Suara ibunya dari dalam memecah hening.
Nayara menelan ludah, menahan air mata.
“Gak… gak siapa-siapa, Bu.”
Tapi tubuhnya gemetar saat masuk ke rumah.
Dan di dadanya, satu kalimat terus berputar tanpa henti:
“Kalau kau gak datang… aku pastikan semua orang tahu.”
——————
Pagi itu matahari terasa terik, tapi dingin aneh menelusup di dada Nayara.
Ia bangun dengan rasa gelisah, bayangan ancaman Alaric semalam masih menempel di pikirannya.
Ia bahkan sempat ragu untuk berangkat sekolah, namun akhirnya memutuskan tetap pergi.
Ia tak mau hidupnya dikendalikan rasa takut.
Jalanan menuju sekolah tak begitu ramai, tapi cukup padat untuk membuat langkah kecilnya terhenti di tepi trotoar. Ia menunduk, memikirkan ulang kata-kata Alaric.
“Kalau kau gak datang, aku pastikan semua orang tahu.”
Kata itu seperti pisau di kepala. Nayara menggigit bibir, melangkah cepat menyeberang. Tapi dari arah berlawanan—
“BRAKK!”
Sebuah motor melintas terlalu dekat.
Tubuh Nayara terjatuh ke samping, lututnya menghantam aspal, dan rasa perih langsung menjalar.
“Aduh…” desisnya, mencoba menahan sakit.
Pengendara motor itu berhenti sejenak, minta maaf cepat-cepat, lalu pergi sebelum Nayara sempat bicara.
Ia menatap lututnya yang lecet, darah merembes tipis di ujung seragamnya.
Dengan terpaksa ia pulang, menyeret langkah pincang menuju rumah.
Ia hanya ingin diam, baring, dan melupakan semuanya.
Beberapa jam kemudian, di rumah besar keluarga Elara.
“Kak Alaric, kamu udah tau kabar Nayara?” tanya Elara saat sarapan.
“Enggak.”
Nada Alaric datar, tapi matanya sekilas menajam.
“Kenapa nanya begitu?”
“ Katanya dia gak bisa datang sekolah hari ini. Aku tadi tanya ke ibunya, katanya Nayara keserempet motor. Kakinya sedikit sakit.”
“APA?” suara Alaric meninggi sedikit tanpa sadar.
Elara menatap kakaknya heran.
“Kok kakak kaget banget sih?”
“Enggak, cuma… ya, ini kecelakaan.”
Ia berpura-pura tenang, mengambil cangkir kopinya lagi. Tapi di balik ekspresi datarnya, pikirannya kacau.
Sementara itu, di rumah kecil di pinggir kota.
Nayara duduk di tepi ranjang, kaki kanannya diperban seadanya.
Ia menatap luar jendela.
Sunyi.
Tapi batinnya berisik.
“Mungkin dia bakal marah. Tapi aku gak peduli. Aku gak mau datang.”
Ia berusaha meyakinkan diri sendiri. Tapi bahkan napasnya terasa berat.
Waktu berjalan pelan kini jarum jam telah menunjukkan pukul 17.30
Dan tanpa ia sadari, suara mobil berhenti di depan rumah.
“Duar!” suara pintu mobil ditutup keras.
Nayara langsung menoleh ke jendela, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.
Mobil hitam itu.
Mobil yang sama seperti semalam.
Dan dari dalamnya — keluar sosok yang paling ia takuti.
Alaric.
Langkahnya tenang, tapi setiap langkah seperti membawa badai.
Nayara berdiri dengan susah payah, tapi belum sempat menutup pintu, pria itu sudah mengetuk keras.
“Nayara.”
Suara itu — berat, dalam, dan tak memberi ruang untuk pura-pura tidak mendengar.
“K–Kak Alaric?”
“Buka pintunya.”
“Kenapa… Kak Alaric di sini?”
“Kau gak datang ke kantorku.”
“Aku sakit…”
“Aku tahu.”
Alaric menatap langsung ke matanya.
Ada kekhawatiran samar di sana, tapi lebih banyak kendali.
“Aku udah denger dari Elara dan ibumu. Tapi aku pengen lihat sendiri.”
Tanpa menunggu izin, pria itu melangkah masuk.
Aroma parfum maskulinnya langsung memenuhi ruangan kecil itu, membuat Nayara makin gugup.
“Kau gak perlu repot ke sini… aku cuma jatuh sedikit.”
“Kau gak datang karena jatuh sedikit?”
Nada Alaric tajam tapi terkendali, seperti seseorang yang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah.
“Aku cuma gak mau ke tempat itu, Kak. Aku takut…”
“Takut apa?”
“Takut… kehilangan kendali.”
Untuk sesaat, ruangan itu hening.
Hanya ada suara napas mereka berdua.
Alaric memandanginya lama, lalu mendekat perlahan.
“Nayara, kau pikir bisa kabur selamanya?”
“Aku gak kabur.”
“Tapi kau gak datang.”
Ia berhenti tepat di depannya. Tangannya terulur, bukan menyentuh, hanya menunjuk lutut yang diperban.
“Itu sakit?”
“Sedikit.”
“Kau harus istirahat. Tapi jangan pernah lagi buat aku datang dua kali.”
Nadanya pelan, tapi dinginnya membuat Nayara merinding.
“Kau pikir aku senang nyari kau ke sini? Aku cuma gak suka ditinggalkan tanpa alasan.”
Nayara terdiam.
Matanya menatap lantai.
“Aku gak tahu harus gimana, Kak…”
“Kau gak perlu tahu. Cukup ikuti kata-kataku.”
Senyum tipis muncul di bibir Alaric, tapi mata itu tetap tajam.
Ia menunduk sedikit, mendekat ke wajah Nayara, cukup dekat hingga gadis itu bisa merasakan panas napasnya.
“Mulai besok, kalau aku panggil, kau datang. Paham?”
Nayara menelan ludah, suaranya nyaris tak keluar.
“Iya…”
“Bagus.”
Alaric berbalik, langkahnya berat tapi tenang.
Sebelum keluar, ia menatap lagi sebentar.
“Jaga dirimu. Aku gak suka liat kau terluka. Tapi aku juga gak suka kalau kau hilang dari penglihatan ku.”
Mobilnya pergi meninggalkan debu, dan Nayara hanya bisa duduk di lantai, menatap pintu yang baru saja tertutup.
“Aku… gak bisa kabur, ya?”
bisiknya lirih.