Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikut ke kebun kopi
Suasana makan pagi semakin tegang ketika Wilda menatap Galuh dengan tatapan amarah, sementara Galuh terus melayani dengan senyum manis, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Edwin duduk di antara mereka, mencoba untuk menikmati sarapannya, tapi suasana di meja makan terasa sangat tidak nyaman.
Wilda masih marah ketika Edwin mengancam untuk mengirimnya kembali ke Belanda jika dia tidak menerima keputusan apa pun dari Galuh. "Kamu tidak bisa melakukan ini padaku!" Wilda memprotes dalam diam.
"Mbok, mana daging yang biasa aku makan, mengapa sedikit ? Dan ini kenapa semuanya menu diet ?" Wilda melihat menu di meja makan berkurang tidak seperti biasanya.
Kamini menjadi takut ketika Wilda memprotes tentang daging yang sedikit. "A-ah, Nyonya ... saya... saya tidak tahu, Nyonya. Nyai Galuh yang mengatur tentang itu," kata Kamini dengan nada yang gemetar, di sini ia teramat takut dengan kemarahan Wilda.
Wilda semakin marah, dia merasa bahwa Galuh telah mengatur tentang makanan di rumah tanpa izinnya dan telah memberi instruksi kepada para pembantu untuk mengurangi porsi makanan dan memasak makanan diet. "Apa-apaan ini? Kamu pikir kamu yang mengatur segalanya di rumah ini?" Wilda bertanya dengan nada yang tajam, merasa bahwa Galuh telah melampaui batas kekuasaannya. Wilda akan terus memprotes dan merasa bahwa Galuh telah mengambil alih kontrol di rumah tersebut.
"Mengapa, kamu tidak suka dengan menu sehat yang aku pilihkan ? Tuan Edwin saja tidak mengeluh sebagai kepala keluarga." ujar Galuh lalu menatap Edwin untuk dimintai keterangan.
"Aku setuju, lagi pula terlalu banyak makanan yang mengandung kolestrol tidak baik untuk usia kita yang bertambah lanjut." Edwin berkomentar yang membuat posisi Galuh menjadi aman.
"Nah, kamu bisa mendengar dengan jelas kan Nyonya Wilda !" menatap sinis. "Kalau kamu tidak terima, sana masak saja sendiri. Tapi, jangan libatkan pembantu. Mereka sudah lelah sedari pagi memasak untuk sarapan kita."
Wilda terkejut dan marah ketika Galuh menantangnya untuk memasak sendiri.
"Kamu... kamu berani sekali! Kamu hanya seorang Gundik, statusku lebih tinggi darimu !" Wilda memaki, merasa bahwa Galuh telah melampaui batas kesabarannya. Wilda terus memaki dan memprotes ketidakadilan yang ia dapatkan .
Galuh sudah benar - benar berubah. Ia sulit sekali untuk diatur dan bahkan menguasai Edwin sepenuhnya.
"Sudah cukup, Wilda ! Aku jadi tidak berselera makan." bentak Edwin dengan geram.
Wilda langsung terdiam dan menundukkan kepala, tidak berani membantah lagi. Suasana makan menjadi tegang dan sunyi.
Wilda menyimpan rasa dendam dan berencana untuk membalas Galuh suatu hari nanti. "Aku tidak akan melupakan ini, Galuh," kata Wilda dalam hati.
Edwin meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya, meninggalkan Wilda dan yang lain dengan perasaan tidak nyaman. "Aku tidak lapar lagi," katanya singkat sebelum pergi.
Nyai Galuh melihat tuannya, Edwin, pergi dan dia ingin mengikutinya. "Saya ikut, Tuan," kata Nyai Galuh sambil beranjak dari tempatnya. Edwin tak merespon karena sudah menjauh tak mendengar.
Wilda membelalak dengan mata geram, menunjukkan rasa tidak puas dan marah yang masih membara. Tatapan Wilda seolah-olah bisa membakar apa saja yang ada di hadapannya.
Wilda melecehkan, "Kamu ingin ikut pergi ke kebun kopi, heh, kamu hanya wanita desa, apa yang bisa kamu lakukan di kebun kopi selain memetik kopi?" kata Wilda dengan nada meremehkan.
Nyai Galuh tersinggung dengan perkataan Wilda dan membalas dengan nada yang tegas, "Aku mungkin tidak seberpendidikan kamu, tapi aku tahu bagaimana cara bekerja keras dan menghormati orang lain." Nyai Galuh tidak mau kalah dan menunjukkan rasa percaya dirinya.
Wilda semakin marah dengan jawaban Nyai Galuh, ia melangkah mendekati Nyai Galuh dengan wajah yang merah. "Kamu berani-beraninya membantahku?" kata Wilda dengan suara yang meninggi. Nyai Galuh tidak mundur dan tetap berdiri tegak, menunjukkan bahwa dia tidak takut dengan Wilda.
Nyai Galuh dengan tenang menjawab pertanyaan Wilda melihat ke arah Edwin yang sudah menjauh. "Aku tidak takut padamu, Wilda. Aku hanya ingin mengikuti Tuan Edwin," kata Nyai Galuh dengan nada yang santai dan tidak tergoyahkan. Ia pun segera bergegas setelah meladeni Wilda. Wilda semakin kesal karena Nyai Galuh tidak menunjukkan rasa takut padanya.
Nyai Galuh berlari mendekati Edwin yang sudah hampir masuk ke dalam mobil. "Tuan Edwin, tunggu! Anda tidak mendengar seruanku?" kata Nyai Galuh dengan suara yang terengah-engah karena berlari.
Edwin berhenti sejenak dan menoleh ke arah Nyai Galuh. "Ya, ada apa Nyai?" tanyanya dengan rasa ingin tahu. Nyai Galuh ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin tidak terlalu penting bagi Edwin.
Nyai Galuh meminta izin untuk ikut dengan Edwin. "Boleh, saya ikut dengan Tuan?" tanyanya dengan harapan bisa menemani Edwin. Edwin mempertimbangkan permintaan Nyai Galuh.
Edwin memandang Nyai Galuh sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Nyai. Ayo, naik," kata Edwin sambil membuka pintu mobil. Nyai Galuh merasa lega dan senang karena bisa pergi menghirup udara segar meski terpaksa pergi dengan Edwin.
Nyai Galuh berpikir bahwa menghabiskan waktu bersama Edwin bisa menjadi cara untuk menghilangkan rasa jenuh tinggal di rumah. Ia ingin mencari kesibukan dan pengalaman baru.
Nyai Galuh awalnya merasa risih berada di samping Edwin, terutama ketika melihat tatapan orang pribumi yang tidak menyukai kehadirannya dan menheer Edwin, seorang kolonial yang kaya dan berkuasa menguasai tanah. Nyai Galuh merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut.
Edwin mengendarai mobil Ford Model T, sebuah mobil yang mewah dan langka pada masa itu, menunjukkan status sosial dan kekayaannya sebagai tuan tanah yang kaya. Mobil itu melaju dengan stabil di jalan yang berdebu, meninggalkan awan debu di belakangnya. Nyai Galuh merasa terkesan dengan kemewahan mobil yang tergolong antik jika di masa depan.
Nyai Galuh menikmati pemandangan alam yang indah sepanjang perjalanan ke kebun kopi. Ia menatap sawah yang hijau, bukit-bukit yang menjulang, dan udara segar yang menyegarkan. Keindahan alam ini membuatnya lupa sejenak tentang rasa risihnya terhadap Edwin.
Tak terasa sampailah mobil Ford berhenti di area perkebunan kopi. Nyai Galuh menyaksikan pribumi membungkukkan badan sebagai tanda hormat ketika Edwin melintas. Ia mungkini merasa tidak nyaman dengan situasi ini, karena merasa bahwa Edwin memperlakukan dirinya dengan cara yang berbeda dari para pribumi lainnya.
Di sana Nyai Galuh menyaksikan para pribumi membungkukkan badan sebagai tanda hormat ketika Edwin melintas. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini, karena merasa bahwa Edwin memperlakukan dirinya dengan cara yang berbeda dari para pribumi lainnya.
Edwin pamit sebentar untuk mengecek laporan. "Nyai, tunggulah sebentar di sini."
Nyai Galuh mengangguk, "Iya." lalu menyaksikan para pekerja membubarkan diri dan mulai bekerja.
Dari sekian banyak pekerja kebun kopi, Nyai Galuh tidak asing dengan wajah sepasang suami istri, "Sukri, Sarinah," bisik nyai Galuh berhati-hati agar tidak terdengar oleh orang lain, khawatir jika teman dari Edwin mengetahui hubungan dekatnya dengan mereka bisa berdampak buruk pada Sukri dan Sarinah. Ia memperhatikan Sukri dan Sarinah dengan penuh perhatian, memastikan mereka baik-baik saja.
Sekian lama berada disana Nyai Galuh menyaksikan para pekerja yang bekerja keras di bawah terik matahari. Ia merasa sedih melihat kondisi para pekerja yang melakukan kerja paksa. Apalagi menyaksikan sendiri penderitaan rakyat yang di jajah Belanda. Salah satu pekerja ada yang dicambuk oleh mandor tanpa alasan yang jelas. Ia merasa marah dan tidak adil dengan perlakuan seperti itu. Melihat penderitaan orang lain membuatnya merasa tidak nyaman dan bersimpati terhadap mereka.