Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Wanita itu menahan napasnya pelan. Dari luar, ia tampak tenang, namun di balik topeng naga logam itu, kulit wajahnya mulai berkeringat dingin. Satu gerakan kecil di tangannya, nyaris tak terlihat, menekan sisi gelang di pergelangan kiri. Klik.
Sebuah cahaya lembut berpendar singkat sebelum padam, sinyal tersembunyi yang hanya bisa ditangkap oleh pasukan bayangan Vanguard Unit, tim pribadi wanita itu yang bahkan Dragunov tidak pernah tahu keberadaannya.
Mereka akan datang… hanya perlu beberapa menit lagi.
Namun beberapa menit di depan Apollo Dragunov bisa terasa seperti menatap ujung pisau yang terarah di depan mata.
“Kau tampak gugup,” suara Apollo memecah hening, rendah dan menghantam dengan dingin yang terukur.“Apa itu penyesalan?.Atau ketakutan?”
Wanita samurai itu mengangkat wajahnya sedikit, memasti kan suara napasnya tetap stabil di balik topeng.
“Aku hanya tidak suka ditatap seperti barang sitaan,” ujarnya datar, nada suaranya nyaris sinis.
Apollo menyeringai kecil, senyum yang tidak sampai ke mata. “Lucu. Kau bicara seolah punya harga diri.”
“Bukankah semua orang punya harga diri?” balasnya cepat, lalu menundukkan kepala sedikit.
“Hanya saja… beberapa orang menjualnya untuk membeli kekuasaan.”
Sekilas, Eliot yang berdiri di belakang Apollo menatap ke arahnya, sedikit kaget oleh keberanian nada suara itu. Namun Apollo justru tertawa kecil, pelan dan sarkas.
“Kau bicara seolah mengenalku.”
Wanita itu memiringkan kepala, memainkan peran seperti bayangan tanpa nama.
“Aku tahu tipe orang seperti kau. Orang yang kehilangan terlalu banyak hingga tak lagi percaya siapa pun. Dan ironisnya, itu justru membuatmu lebih mudah dimanipulasi.”
Kata terakhir itu menggantung seperti racun di udara. Beberapa anak buah Apollo menegang, ujung senjata mereka mulai terangkat sedikit, tapi Apollo mengangkat tangannya tanpa menoleh.Ia ingin mendengar lebih jauh.
“Manipulasi?”
“Ya,” jawabnya tenang. “Semakin keras kau mencoba mengendalikan, semakin besar celah yang kau buka untuk dikendalikan.”
Hening.
Bahkan ombak di dermaga seolah berhenti memukul beton.Apollo menatapnya tajam, pupilnya menyempit. Ada sesuatu dalam cara orang asing bertopeng itu bicara, setiap kata menekan titik yang tidak seharusnya disentuh.
Lalu ia melangkah lebih dekat, jarak mereka kini hanya sejengkal.“Kau berani mengajariku psikologi, orang asing?”
“Aku hanya menunjukkan cermin.”.
Cahaya lampu dermaga berkilat di mata Apollo. campuran antara amarah dan keterkejutan samar yang tak bisa ia jelaskan.
Dan di detik yang sama, di sudut dermaga, titik merah kecil berkedip di atap crane.Tanda itu jawaban atas sinyal di gelang si wanita samurai itu..
Pasukannya sudah tiba.
Dari balik bayangan kontainer, angin laut berhembus membawa aroma besi dan garam. Lampu kapal kargo berkelap-kelip di kejauhan, menyorot wajah-wajah tegang para anggota Black Wings yang kini mengelilingi sang wanita.
Apollo masih berdiri di depannya,tegak, dingin, dan tidak sedikit pun bergeming. Matanya menatap lurus pada topeng naga yang menutupi separuh wajah wanita di depannya.
“Kau pikir aku tak tahu siapa kau sebenar nya?” suaranya rendah, tapi menggetarkan seluruh dek.
Samurai wanita itu tidak menjawab. Ia tahu, satu kata saja bisa membuka segalanya.
“Sinyalmu sudah kuputus sejak lima menit lalu,” lanjut Apollo, menatap gelang di tangan nya yang kini sudah padam tanpa cahaya.
“Aku tahu model itu. Versi lama dari unit Vladivostok.”
Dada wanita itu menegang, kali ini bukan karena ketakutan, tapi karena keterkejutan.
Bagaimana bisa dia tahu?
“Kau seharusnya tidak datang sendiri,” tambah Apollo, melangkah maju lagi, satu langkah, dua langkah. Jarak mereka kini tinggal beberapa meter.
“Atau mungkin... kau memang ingin aku tahu?”
Wanita itu menatapnya lewat celah topeng, suaranya rendah, bergetar samar. “Aku datang untuk menagih sesuatu yang kau curi, Dragunov.”
Apollo tersenyum miring, tapi matanya tidak ikut tersenyum. “Lucu. Karena aku juga sedang menunggu orang yang mencuri dariku.”
Dalam sekejap, lampu di seluruh dek padam. gelap total. Suara peluru tranquilizer melesat dari arah gelap. Samurai itu segera berguling ke samping, menabrak peti besi, menarik belatinya dengan satu tangan, sementara gelangnya kembali berpendar samar.
Apollo mendengus pelan, menatap arah wanita itu yang kini sudah bersembunyi di balik peti.
“Permainan dimulai, wanita bertopeng.”
Kabut asap menebal di antara dek dan kargo. Lampu darurat kapal berkedip pelan, memantulkan warna merah di wajah Apollo yang kini tampak tegang namun berusaha tenang.
Wanita berbaju samurai itu melangkah perlahan ke depan, suaranya tenang seperti bisikan yang menipu: “Kau terlalu sibuk mencari pengkhianat di luar, sampai lupa bahwa yang paling kau curigai… mungkin justru yang paling ingin kau lindungi.”
Tatapan Apollo membeku. Hanya satu detik, tapi cukup untuk wanita itu tahu ,ia baru saja menyentuh titik rapuh itu. Ia mencondong kan tubuh sedikit.
“Apa kau takut kehilangan seseorang lagi, Dragunov?”
Jantung Apollo berdegup cepat, tapi wajahnya tetap datar. Namun tangan kirinya mengepal di balik jas. Gerakan kecil itu tak luput dari mata di balik topeng itu . Senyum tipis muncul di balik topeng naga logamnya.
Dan saat Apollo hendak menjawab, suara peluit tajam terdengar dari arah selatan dermaga.
Bayangan-bayangan muncul dari balik tumpukan kontainer. Sepuluh orang.
Hanya sepuluh, namun langkah mereka presisi, tanpa suara. Mereka mengenakan jubah hitam tipis dengan emblem perak berbentuk sayap terlipat.
“Pasukan Black Feathers,” desis Johan dari balik radio kecil di pundaknya. “Itu… orang-orangnya dia?”Eliot tertawa pendek.
“Sepuluh orang dan senjata mainan dari abad batu? Sungguh lucu.”
Namun tawa itu tak bertahan lama. Sebuah ketapel kecil meluncur dari kegelapan—praaang!—
Sebuah batu mengenai tiang logam di samping nya. Serpihan logam memercik api kecil, meninggalkan bekas hangus. Eliot menatap tak percaya, memeriksa dinding logam itu. Bekas gosongnya membentuk lubang kecil berasap.
“Sial,” desisnya pelan, “batu apa yang mereka pakai hingga menembus besi seperti ini?”
Wanita bertopeng naga menatap sekilas dari balik topeng, lalu mengarahkan pandangan nya pada Apollo.“Tak selalu yang tampak sederhana itu lemah.”
“Kau meremehkan dirimu sendiri, atau mereka?” balas Apollo cepat.Tapi kali ini nada suaranya berbeda.Tak lagi tajam, lebih seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan.
Rasa kenal, rasa kehilangan, atau rasa curiga.
Wanita itu mendekat sedikit, menatapnya dari balik topi bambu yang kini berkilau lembab oleh embun laut. “Mungkin dua-duanya,” jawabnya lirih. “Aku tahu apa yang kau sembunyikan di balik kekuatanmu, Apollo Dragunov.”
Seketika, Apollo maju dan meraih bahunya.
Namun dalam detik yang sama, gelang di pergelangan pemilik topeng naga itu berpendar terang, dan dunia di sekitar mereka seolah melambat.
Suara mendesis, peluru mikro beterbangan di udara, namun berhenti di jarak dua meter dari tubuh Apollo. Lapisan tipis medan elektromag netik menahan semuanya, bentukan teknologi kuno yang kini dimodifikasi.
Apollo memandangnya tajam, napasnya berat."Kau.."
“Baiklah,” ujarnya akhirnya, suaranya serendah bara. “Kau ingin bermain perang psikologis? Maka kau sudah menyalakan apinya sendiri.”
Wanita itu tersenyum samar di balik topeng logam itu, menatap balik pria yang dulu pernah ia cintai. tanpa ia sadari bahwa untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, detak jantung Apollo tak lagi seirama dengan logikanya.
Apollo menarik napas dalam.Tangan kanan nya bergerak perlahan, menarik sesuatu dari balik jasnya, sepotong logam panjang.
Klik.
Pedang itu hidup. Cahaya biru menyala dari bilahnya yang tajam, dingin dan berpendar oleh energi murni. Pedang laser.
Petir menyambar di langit. Sinar biru dari pedang itu memantul di topeng wanita itu… dan dalam sekejap, senyum di bibirnya memudar.
Tatapannya melemah. Pedang itu… dia mengenalnya. Itu miliknya. Pedang yang diberikannya pada Apollo lima tahun lalu
saat pria itu masih mengenalnya dengan nama Rena....
Suara dentuman energi bergema di antara kabut.Medan pelindung wanita itu bergetar hebat, sebelum pecah dalam kilatan putih.
Crack—!
Retakan halus merambat di sepanjang topeng naga logamnya. Sebagian kecil pecahan jatuh ke dek, berkilau terkena cahaya petir.
Apollo berdiri tegak, napasnya stabil. Ujung pedang biru di tangannya masih menyala, bergetar lembut seolah mengenali sesuatu di udara. Matanya menyipit.
“Kenapa?” ujarnya, suaranya rendah dan nyaris seperti ejekan. “Kau terlihat lemah. Tadi kau begitu bersemangat.”
Wanita itu mendongak perlahan. Dari balik retakan topengnya, tampak sepotong kulit wajah pucat, dengan luka samar di pipi kiri.
Matanya berkilat tajam, namun ada sesuatu di sana, sesuatu yang familiar.
“Tentu tidak.”
Nada suaranya dingin, tapi samar bergetar di ujungnya.
Apollo mengernyit, masih menatapnya.
Senyum miring muncul di bibirnya, seperti pria yang tahu dia sedang diuji.
“Menarik. Biasanya orang yang bilang ‘tidak’. justru yang paling berusaha menutupinya.”
Wanita itu tidak menjawab. Hanya menatap, diam, seolah menahan napas. Dalam cahaya biru pedang, pupilnya memantul, dan untuk sepersekian detik, mata abu-abu Apollo membeku.
Warna irisnya… sama. Sama persis seperti mata yang menghantui setiap malamnya.
Mata yang dulu menatapnya dengan cinta dan doa terakhir sebelum tertutup selamanya.
“Tidak mungkin…”
Suara Apollo hampir tak terdengar, seperti seseorang yang baru saja melihat hantu dari masa lalu.