Romantis - Komedi
"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-
"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-
***
Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!
Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Hania tidak langsung menjawab. Pipi putihnya memerah, meski ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Tangannya mengepal lembut di atas handuk yang ia letakkan di pangkuan, jari-jarinya sibuk memelintir ujung kain itu seakan bisa mengalihkan perhatian.
“Will…” suara Hania lirih, hampir tenggelam dalam keheningan kamar. “Kamu… kenapa nanyanya begitu sih?”
William menoleh pelan, menatap punggung istrinya yang kaku. Ada kecemasan nyata di mata pria itu. “Karena aku takut, Han. Takut aku tadi… nyakitin kamu.”
Hania menarik napas panjang, menutup matanya sebentar sebelum akhirnya berbalik, menatap William dengan senyum samar. Senyum yang penuh rahasia, tapi juga menenangkan. “Kalau pun sakit, itu bukan hal yang harus kamu sesali, Will. Itu… bagian dari apa yang kita lewati barusan.”
William mengernyit, masih belum puas dengan jawaban itu. Tangannya terulur, ragu-ragu, sebelum akhirnya menyentuh punggung Hania yang masih basah. “Tapi aku janji, kalau memang sakit… aku bakal lebih pelan. Aku nggak mau bikin kamu merasa dipaksa.”
Kali ini, Hania justru tertawa kecil. Tawa yang ringan, namun terdengar seperti musik bagi telinga William. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah, lalu bergumam dengan nada menggoda. “Kamu terlalu serius, Will. Padahal… aku nggak nyesel sedikit pun.”
Senyum misterius itu membuat William terdiam. Ada sesuatu di balik tatapan Hania malam itu—sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ketegasan, keberanian, sekaligus kelembutan yang bercampur jadi satu.
William menelan ludah, lalu menarik tubuh Hania mendekat. “Aku serius, Han. Aku nggak mau kita… hanya jadi pelarian. Aku pengen setiap kali kamu ada di sisiku, kamu benar-benar merasa… ini pilihanmu. Bukan karena keadaan, bukan karena kontrak, bukan karena terpaksa.”
Hania mengangkat wajahnya, menatap mata William dalam-dalam. Kali ini, tak ada lagi kabut keraguan di sana. “Aku sudah bilang, kan? Aku yang milih kamu. Malam ini… aku benar-benar milih kamu, Will.”
Kalimat itu menyalakan sesuatu di dalam diri William. Ia mendekap Hania erat, seakan takut istrinya menghilang jika ia sedikit saja melepas. “Kamu nggak tahu, Han… betapa berharganya itu buatku.”
Hania menutup matanya, menikmati hangatnya pelukan itu. “Aku tahu, Will. Dan… aku juga merasakannya.”
Hening kembali mengisi ruangan, tapi kali ini bukan hening yang canggung. Itu hening yang nyaman, hening yang penuh arti. Nafas keduanya teratur perlahan, jantung berdetak dalam irama yang sama.
Hania kemudian berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Kalau kamu janji akan selalu sabar… aku janji nggak akan lari lagi.”
William tersenyum tipis, menempelkan bibirnya di kening Hania. “Aku janji, Han. Aku akan sabar. Aku akan jaga kamu, apa pun yang terjadi.”
Hania tersenyum dalam pelukan itu. Senyum penuh misteri, namun juga penuh keyakinan. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi sendirian dalam perjuangan.
___
Sementara itu di apartemen Andra…
Asap rokok perlahan menari di udara, membaur dengan cahaya lampu malam kota yang masuk lewat jendela. Andra duduk bersandar, satu siku menahan tubuhnya di sandaran kursi, sementara mata kosongnya menatap jauh ke jalanan yang dipenuhi lampu kendaraan. Cangkir kopi yang mulai dingin masih tergenggam erat di tangan satunya.
Di belakangnya, Dani merebah santai di ranjang dengan kaos oblong kusut, menatap Andra sambil memainkan ponselnya. “Aku udah bilang, Ndra. Datang ke gala dinner itu cuma bikin kamu makin sakit. Ngapain sih kamu nyiksa diri sendiri?”
Andra menghela napas, melepaskan kepulan asap rokoknya keluar jendela. Suaranya terdengar berat, datar, tapi penuh kepedihan yang ditahan. “Aku cuma pengen lihat dia, Dan. Itu aja. Aku nggak ngarep apa-apa.”
Dani menurunkan ponselnya, lalu bangkit sedikit, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Senyum sinis terulas di wajahnya. “Lihat dia? Atau lihat siapa yang sekarang berhasil dapetin dia? Kamu sadar nggak sih, Han itu sekarang udah bukan Hania yang dulu kamu kenal?”
Andra terdiam. Matanya beralih dari lampu kota ke bara rokok yang mulai pendek. Tangannya sedikit gemetar sebelum akhirnya mematikan puntung itu di asbak. “Aku tahu, Dan. Tapi… perasaan itu nggak bisa hilang gitu aja.”
Dani tertawa pendek, tapi bukan tawa yang benar-benar lucu—lebih seperti mengejek. “Kamu masih cinta sama dia? Padahal kamu sendiri yang bikin dia hancur. Kamu yang ninggalin dia buat cewek lain. Kamu yang mutusin pertunangan kalian. Sekarang kamu ngomong cinta? Gila, ya.”
Senyum pahit muncul di bibir Andra. Ia meneguk kopi yang sudah dingin, membiarkan rasa pahitnya membakar tenggorokannya. “Kamu pikir aku nggak nyesel? Aku salah, Dan. Aku salah banget. Tapi rasa itu… nggak ilang. Aku pikir waktu bisa bikin aku lupa, ternyata nggak.”
Dani menatap temannya dengan serius, nada meledeknya mereda. “Ndra, kamu harus sadar. Hania udah milih jalan hidupnya. Kamu datang ke sana, lihat dia sama Will… kamu kira itu nggak bikin kamu makin hancur? Kamu udah bukan siapa-siapa lagi buat dia.”
Kalimat itu menusuk, tapi Andra hanya mengangguk pelan. Matanya berair, meski ia buru-buru menunduk agar tidak terlihat. “Mungkin aku emang bukan siapa-siapa lagi. Tapi entah kenapa… aku cuma pengen tahu kalau dia baik-baik aja. Itu aja.”
Dani mendesah panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya lagi ke ranjang. “Kamu masih keras kepala, Ndra. Tapi aku ngerti, rasa bersalah itu bikin kamu kejebak. Hanya aja, jangan sampai kamu bikin dia susah lagi. Dia udah cukup menderita waktu kamu ninggalin dia.”
Andra terdiam. Kata-kata Dani itu berputar di kepalanya. Ia tahu benar luka yang pernah ia tinggalkan di hati Hania, luka yang mungkin takkan pernah benar-benar sembuh. Tapi justru karena itulah, hatinya tak pernah bisa benar-benar lepas dari perempuan itu.
Di luar jendela, suara klakson bersahut-sahutan, kehidupan kota berjalan seperti biasa. Tapi di dalam apartemen sempit itu, seorang pria sedang tenggelam dalam penyesalan dan cinta yang tak pernah padam.
Andra menatap kosong ke cangkir kopinya, lalu bergumam lirih—lebih pada dirinya sendiri ketimbang kepada Dani. “Kalau aku bisa muter waktu… aku nggak bakal ninggalin dia.”
Dani yang setengah tertidur hanya mendengus, “Tapi kamu nggak bisa, Ndra. Dan kamu harus belajar hidup dengan pilihan kamu sendiri.”
"Kalau aku gak mau gimana, Dan? Aku masih cinta sama Hania. Aku harus dapetin dia!"
Dani terdiam sejenak, menatap Andra dengan mata yang lebih serius. Ucapan terakhir Andra barusan bukan sekadar luapan emosi—itu pengakuan, keteguhan hati yang bisa saja berujung pada bencana, terutama bagi Hania.
“Ndra…” Dani menarik napas panjang, suaranya pelan tapi tegas. “Kamu denger baik-baik, ya. Jangan bikin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kamu bilang kamu cinta sama dia? Kalau benar, biarin dia bahagia dengan hidupnya sekarang.”
Andra langsung menoleh, sorot matanya tajam. “Bahagia? Kamu yakin dia bahagia, Dan? Kamu yakin Will bisa bikin dia bahagia kayak dulu waktu sama aku?”
Dani tersenyum kecut, lalu menggeleng. “Bukan masalah siapa yang lebih baik, Ndra. Masalahnya, sekarang Hania udah nggak lagi sama kamu. Dia udah pilih jalannya. Kamu tahu nggak, dari semua hal yang pernah bikin dia jatuh, yang paling nyakitin itu ya waktu kamu ninggalin dia. Waktu kamu bikin dia percaya, terus kamu hancurin semua itu.”
Andra menunduk, rahangnya mengeras. Kata-kata Dani menohok, tapi ia tak bisa membantah. Memori itu masih jelas—malam ketika ia memilih orang lain dan membiarkan cincin pertunangan tergeletak begitu saja.
“Aku nyesel, Dan…” suara Andra bergetar, matanya merah. “Aku kira aku bisa hidup tanpa dia. Aku kira aku bisa bahagia dengan pilihan yang waktu itu aku anggap benar. Tapi nyatanya, aku salah. Sekarang aku sadar, nggak ada yang bisa gantiin dia.”
Dani mendesah, lalu duduk tegak. “Aku ngerti penyesalan kamu. Tapi sadar diri juga perlu, Ndra. Kamu mungkin lebih sukses sekarang, lebih mapan, punya nama, punya segalanya. Tapi semua itu nggak ngasih kamu hak untuk ngerusak hidup Hania lagi. Dia udah jalanin sakitnya sendirian, dan sekarang dia move on. Kalau kamu datang lagi cuma buat narik dia balik ke masa lalu, itu namanya egois.”
Andra mengepalkan tangannya di atas meja kecil dekat kursi. “Aku nggak mau egois. Aku cuma… nggak bisa diem aja. Aku masih cinta sama dia, Dan.”
“Cinta itu bukan soal kamu bisa dapetin dia lagi atau nggak,” Dani menimpali cepat. “Cinta itu soal kamu rela liat dia bahagia, meski bukan sama kamu. Kalau kamu maksain diri, itu bukan cinta—itu obsesi.”
Kata terakhir itu membuat Andra tertegun. Ia menatap Dani lama, seakan mencari celah untuk membantah, tapi yang ia temukan hanya bayangan dirinya sendiri yang penuh dengan rasa bersalah.
Dani kembali bersandar, kali ini suaranya lebih lembut. “Ndra, aku tahu kamu orangnya nggak gampang nyerah. Tapi kadang, nyerah itu pilihan terbaik. Kamu udah bikin kesalahan besar sekali. Jangan sampai kamu bikin kesalahan kedua yang lebih besar. Hania sekarang punya hidup baru. Dia udah belajar berdiri lagi tanpa kamu. Jadi jangan datang cuma buat jatuhin dia lagi.”
Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kepalanya terasa berat, dadanya sesak. Ia tahu Dani benar, tapi hatinya berontak. “Tapi gimana kalau dia sebenarnya belum bahagia, Dan?"
***
Bersambung…