Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERBINCANGAN HANGAT
Seorang gadis duduk anggun di salah satu sudut kafe privat yang tersembunyi di antara jalanan elegan kota Sevilla. Gaun terbuka berwarna burgundi membalut tubuh semampainya, sementara riasan glamor di wajahnya membuat tatapannya tampak lebih tajam dan penuh percaya diri.
Jari-jarinya memainkan ujung gelas sampanye yang sudah disentuh, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah pintu masuk. Ia menunggu seseorang dari masa lalu. Seseorang yang pernah berarti, atau mungkin masih memiliki sesuatu yang belum tuntas dengannya.
Angin musim panas menyusup lembut dari jendela yang terbuka separuh, mengibaskan rambutnya yang terurai rapi. Namun, dalam benaknya... badai mulai bertiup pelan-pelan.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap seorang pria sambil menarik kursi di depannya.
Elizabeth mengangkat wajah, senyum manisnya langsung mengembang. "Tidak masalah, Kaelith. Kau datang saja, itu sudah cukup buatku."
Mereka saling mendekat, sekilas cium pipi kiri dan kanan gaya sapaan khas kaum elit yang sudah lama saling mengenal. Setelahnya, mereka pun duduk saling berhadapan. Di antara mereka kini hanya ada meja kecil dengan dua gelas kristal dan percakapan yang mulai bersemi kembali setelah sekian tahun tak bersua.
“Kau ingin pesan apa?” tanya Elizabeth sambil membuka buku menu, meski matanya lebih tertuju pada pria di hadapannya.
“Espresso sepertinya cukup,” jawab Kaelith singkat, merapikan lengan jasnya.
Elizabeth menaikkan alis, tersenyum menggoda. “Bukan segelas sampanye seperti dulu?”
Kaelith terkekeh pelan. “Besok aku bertanding. Jadi, menjauhi alkohol untuk sementara waktu.”
“Masih disiplin seperti biasanya,” gumam Elizabeth sambil menutup menu dan memberi isyarat pada pelayan.
Pesanan mereka akhirnya tiba secangkir espresso untuk Kaelith dan segelas sampanye lagi untuk Elizabeth, ditemani aneka makanan ringan yang dipesan gadis itu sebagai pelengkap perbincangan mereka.
"Jadi, dalam rangka apa kau berada di Sevilla?" tanya Kaelith.
"Menghadiri pameran galeri sahabatku. Lalu aku ingat kau tinggal di sini, jadi kupikir tak ada salahnya mengajakmu bertemu. Tidak ada yang akan marah, kan?" ujar Elizabeth, nada suaranya menggoda.
Kaelith terkekeh pelan sambil mengaduk espresso miliknya.
Elizabeth menyandarkan punggungnya santai di kursi, menyeruput sampanye perlahan sambil menatap Kaelith.
“Jadi, selain bermain bola, apa lagi yang kau lakukan sekarang? Masih suka menyendiri seperti dulu?” tanyanya ringan.
Kaelith tersenyum tipis, mengaduk espresso di depannya. “Latihan, tidur, makan, latihan lagi. Kadang sesekali aku memotret, tapi hanya kalau sedang ingin.”
“Masih soal kamera?” Elizabeth tersenyum. “Aku pikir kau sudah berhenti sejak SMA.”
“Aku tidak benar-benar berhenti. Hanya tidak ingin orang lain tahu saja,” jawab Kaelith. “Kau sendiri? Masih sibuk dengan galeri seni?”
Elizabeth mengangguk. “Iya, dan akhir-akhir ini juga mulai sibuk mengurus pameran keliling. Kadang di Madrid, kadang di Valencia. Tapi aku tetap suka suasana Sevilla, lebih tenang ternyata dari dugaanku.”
Mereka pun berbagi tawa saat mengenang masa kecil bagaimana Elizabeth sering menjahili Kaelith saat bermain sepak bola, atau bagaimana Kaelith pernah mendorongnya ke kolam karena terlalu cerewet. Semuanya terasa ringan dan hangat.
“Aku masih ingat saat kau menangis karena aku tidak mau main bareng denganmu,” celetuk Kaelith.
“Kau bilang aku mengganggu waktu ‘latihan strategis’, padahal waktu itu kita baru umur sepuluh!” sahut Elizabeth, tertawa geli.
Setelah percakapan mereka melambat, Kaelith meletakkan cangkir espresonya dan menatap Elizabeth serius namun hangat.
“Kau akan tetap di Sevilla hingga esok?” tanyanya.
Elizabeth mengangguk. “Sepertinya, ya. Kenapa?”
“Aku ada pertandingan di stadion utama besok. Kalau kau tidak sibuk, datanglah. Aku akan pastikan kau dapat tempat duduk terbaik.”
Elizabeth mengangkat alis, lalu tersenyum lebar. “Kau baru saja membuat tawaran yang sulit kutolak. Tentu saja, aku akan datang.”
Kaelith tersenyum kecil. “Baiklah. Nanti aku kirim tiketnya.”
Obrolan mereka pun kembali mengalir, lebih santai. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda sebuah koneksi yang perlahan terjalin kembali setelah sekian lama terputus.
Tak terasa, obrolan mereka yang semula ringan berubah menjadi percakapan hangat penuh tawa dan nostalgia masa kecil. Elizabeth sesekali menyesap sampanyenya, sementara Kaelith menikmati espresso yang kini tinggal setengah.
Namun, kehangatan itu terusik saat suara nyaring dan khas terdengar dari ponsel Kaelith. Wajahnya sontak berubah. Itu bukan notifikasi biasa, melainkan alarm dari ankle detector alat pengawas yang ia pasang di pergelangan kaki Nayara sejak pagi tadi.
Sistem itu akan berbunyi otomatis jika dilepas paksa atau diganggu, dan hanya Kaelith yang memiliki akses untuk mematikannya dari aplikasinya.
“Kenapa ponselmu tiba-tiba bunyi seperti itu? Ada yang penting?” tanya Elizabeth dengan dahi sedikit berkerut.
Kaelith cepat-cepat mematikan alarm lewat layar ponsel, lalu memasang senyum tenang. “Bukan apa-apa. Hanya pengingat sistem kecil yang kupasang.”
Ia melirik jam tangannya, lalu meneguk sisa espresso-nya. “Sepertinya aku harus pulang. Kau juga, sudah cukup larut.”
Elizabeth mengangguk, meski tampak sedikit kecewa. “Kau benar. Terima kasih untuk waktunya, Kaelith. Senang bisa berbincang seperti ini lagi.”
Kaelith berdiri dan menawarkan diri mengantarkannya. “Penginapanmu dekat, biar aku pastikan kau sampai dengan aman.”
Mereka pun keluar dari kafe, menyusuri trotoar kota Sevilla yang mulai sepi. Tapi di benak Kaelith, hanya satu hal yang kini membebani Nayara mencoba melepas ankle detector-nya. Dan itu berarti, ia harus segera pulang sebelum gadis itu melangkah terlalu jauh..
Kaelith membuka pintu apartemen, dan matanya langsung bertemu dengan tatapan tajam Nayara. Gadis itu berdiri tegak di tengah ruangan, tangan terkepal, wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan.
"Apa-apaan ini, Kaelith?! Kenapa kau memasang benda ini di pergelangan kakiku?" Nada suaranya meninggi, gemetar karena emosi yang meluap.
Kaelith mendekat dengan langkah pelan, namun matanya dingin. "Itu hukuman untukmu, Nayara. Karena kau tidak bisa dipercaya. Nikmati saja dan jangan banyak protes."
Nayara mencengkeram tepi sofa, mencoba menahan diri untuk tidak melempar apapun ke wajah pria itu. "Aku bukan tahananmu! Kau tidak berhak.."
Belum selesai ia berbicara, Kaelith meraih wajahnya dan mendekat, tapi Nayara langsung menepis tangannya dengan keras.
"Jangan sentuh aku!" teriaknya. "Aku bukan milikmu, Kaelith. Kau tidak bisa mengurungku seperti binatang."
Kaelith terdiam. Tatapan Nayara tidak gentar, meskipun air matanya mulai menggenang. Pria itu mundur satu langkah, rahangnya mengeras.
"Jangan uji aku, Nayara," ucapnya pelan, dingin. "Aku tidak ingin menyakitimu… tapi aku juga tidak akan melepaskanmu."
Setelah itu, Kaelith melangkah masuk ke kamarnya, membiarkan Nayara berdiri sendiri masih terperangkap dalam luka dan kebencian.
Dingin malam menyelusup lewat celah pintu balkon yang terbuka. Nayara melangkah keluar tanpa jaket, membiarkan hembusan angin menusuk kulitnya yang pucat. Rambutnya tertiup ke segala arah, namun ia tak peduli.
Ia berdiri di sana, memeluk tubuh sendiri, menatap langit Sevilla yang kelam tanpa bintang. Air mata kembali mengalir di pipinya, tanpa upaya diseka.
"Aku membenci hidupku, Tuhan..." bisiknya lirih, suaranya nyaris terkoyak oleh isak.
"Kenapa harus aku? Kenapa semua ini terjadi padaku?" tangisnya akhirnya pecah, tubuhnya bergetar hebat.
Ia terisak dalam sepi, hanya ditemani suara angin dan gemuruh luka yang terus mengendap di dalam hatinya. Di tempat itu, Nayara merasa sendirian lebih dari kapan pun dalam hidupnya.