Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RONI KE KANTOR FEBI
Pagi itu, Febi melangkah masuk ke kantor dengan senyum ceria di wajahnya. Rambutnya yang digerai rapi berayun pelan mengikuti langkah kakinya yang ringan. Ia mengenakan blus putih dengan rok pensil warna navy yang mempertegas penampilannya yang profesional sekaligus elegan. Beberapa karyawan yang berpapasan bahkan sempat menoleh dan menyapanya, membuat semangat Febi bertambah.
Namun semuanya seketika pudar saat langkahnya terhenti di lobi.
"Febi," suara yang sangat dikenalnya itu membuat jantungnya mencelos. Roni berdiri tak jauh darinya dengan wajah yang tampak lelah namun penuh harap. Ia sudah menunggu sejak pagi.
Febimenghela napas dan menegakkan bahu. "Ada urusan apa ke sini, Roni?"
"Kita perlu bicara, berdua saja. Tolong." ucap Roni, matanya tampak memohon.
"Kalau urusannya pribadi, aku tidak tertarik." jawab Febi cepat. Dia menoleh hendak pergi, tapi Roni meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Febi, dengar dulu... kumohon. Aku hanya ingin menjelaskan segalanya. Hubungan kita….."
"Roni, lepas!" Febi menggertakkan gigi saat merasa pergelangan tangannya ditekan keras. Wajahnya meringis.
"Sampai kamu mau bicara, aku nggak akan….."
"LEPAS, RONI!" teriak Febi.
"Hei! Apa-apaan kamu?!" suara lantang Wina menggelegar saat ia muncul dari arah lift. Ia segera menghampiri dan menarik tubuh Febi menjauh. "Kamu itu keterlaluan!"
"Ini bukan urusanmu." Roni menyipitkan mata.
"Oh tentu saja ini urusanku kalau kamu menyakiti temanku! Dasar laki-laki tukang selingkuh, sekarang ngemis-ngemis ya?"
Ronimengatupkan rahangnya, menahan emosi.
Belum sempat membalas, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk.
Arkan, bersama asistennya Toni, baru saja tiba. Ia menghentikan langkahnya begitu melihat keributan di lobi.
"Ada apa ini?" tanya Arkan dingin. Matanya langsung tertuju pada Febi, yang wajahnya masih tegang.
"Pak Arkan... Ini …emmm…," ujar Febi buru-buru.
Tonimenatap Roni dengan bingung, lalu berkata. “apa yang kamu lakukan di kantor sini pagi-pagi?”
"Aku cuma ingin bicara dengan Febi secara pribadi." ucap Roni membela diri.
Arkanmelipat tangan di depan dada. "Ini sudah hampir jam kerja. Jika ingin bertemu, sebaiknya buat janji dengan yang bersangkutan. Atau lebih baik bertemu di luar area kantor."
Ronihanya mengangguk pelan, tak sanggup membalas tatapan Arkan yang tajam.
"Ayo." ujar Arkan pada Febi sambil memberi isyarat untuk ikut. Febi menunduk dan segera mengikuti langkah bosnya.
Winasempat melirik tajam ke arah Roni. "Ngomong-ngomong, bajumu itu nggak cocok dipakai ngemis mantan tunangan, tahu nggak?"
Ronidiam membisu.
"Drama pagi yang panas ya." gumam Toni sambil memutar matanya.
"Eh, Pak Toni tau permasalahannya? Itu tuh mantan tunangannya Febi, yang dulu selingkuh sama cewek lain, tapi sekarang malah datang-datang maksa mau ngobrol. Jijik banget kan?" bisik Vania panjang lebar.
"Oalah..." Toni mengangguk-angguk seperti orang baru tahu, meskipun sebenarnya dia sudah mendapat laporan soal itu.
Roniakhirnya pergi dari kantor itu dengan langkah gontai. Di dalam mobil, ia mengumpat dan menendang pedal dengan kesal. "Sial!" rutuknya.
**
Sementara itu, di ruang kerja CEO...
Arkanmenyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap Febi yang duduk di seberangnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Febimenunduk. "Saya baik-baik saja, Pak. Tadi saya sempat mau menjelaskan tapi….."
"Saya tahu." potong Arkan lembut. "Saya tahu siapa Roni itu. Mantan tunanganmu, kan? Yang selingkuh."
Febimenatap Arkan, terkejut. "Bapak tahu dari mana?"
Arkantersenyum tipis. "Saya ini atasanmu, Febi. Wajar kalau saya tahu. Tapi bukan berarti saya ikut campur. Saya hanya ingin memastikan kamu merasa aman di sini."
Febiterdiam. Hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu. Tak disangka, bos besar yang biasanya dingin ternyata begitu perhatian.
"Terima kasih, Pak Arkan." ucap Febi lirih.
"Lupakan yang tadi. Fokus saja pada pekerjaanmu. Kamu hebat dan tidak perlu diganggu masa lalu yang menyakitkan."
Ucapan itu membuat mata Febi sedikit berkaca-kaca. Tapi ia menunduk, menyembunyikannya.
**
Di kantor tempat Roni bekerja...
Suasana jauh dari tenang. Ia duduk di ruangannya dengan wajah masam. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja, pikirannya dipenuhi rencana untuk membuat Febi mau bicara dengannya.
Tiba-tiba pintu terbuka.
"Sayangku..." suara manja Raisa mengalun.
Tanpa basa-basi, ia langsung duduk di pangkuan Roni dan mencumbunya dengan gairah. Tapi Roni tidak membalas seperti biasanya.
Raisamenghentikan cumbuan dan memandangi wajah Roni dengan kesal. "Kamu berubah. Biasanya kamu semangat banget kalau aku begini."
Ronimenarik napas panjang. "Aku nggak mau ketahuan sama atasan. Kita lanjut nanti malam di apartemen."
Raisatersenyum puas. "Oke, tapi jangan PHP ya."
Ia kembali ke mejanya dengan hati riang, namun senyum itu memudar saat melihat layar ponselnya menyala dengan panggilan masuk dari "Mommy Mona".
"Aduh... malas banget." gumam Raisa. Ia mengabaikan panggilan itu, tapi dering tak juga berhenti.
Akhirnya ia mengangkat dengan malas. "Halo, Mommy."
"Kamu itu ya! Lama banget angkat telepon. Kamu pikir Mommy nggak punya waktu?!" hardik Mommy Mona di seberang.
"Aku sibuk kerja. Ada apa sih?"
"Uang 15 juta itu mana? Mommy mau bayar utang ke tetangga!"
"Aku bilang kan, aku nggak punya uang sebanyak itu sekarang!"
"Jangan banyak alasan! Kamu punya waktu sampai malam nanti. Kalau nggak, Mommy ke kantor kamu!"
Telepon langsung diputus sepihak. Raisa mendengus dan membanting ponselnya ke meja. "Dasar Mommy nggak tahu diri!" gerutunya.
**
Di sebuah warung dekat toko sembako milik Bu Sekar...
Bu Anitasedang memilih bahan dapur.
"Eh, Bu Anita... belanja juga ya?" sapa Bu Sekar manis.
"Iya, Bu. Biasa, kebutuhan dapur."
"Wah, ibu pasti senang ya sekarang. Anak perempuannya sudah jadi sekretaris CEO... Tapi ya, zaman sekarang mah semua bisa terjadi ya. Kadang, cantik dikit, pinter ngomong, udah... bisa lulus seleksi lewat... cara lain."
Beberapa ibu-ibu yang duduk di warung ikut menoleh. Suasana mendadak jadi canggung.
Bu Anitamenoleh pelan. Tatapannya dingin namun tegas.
"Saya nggak tahu Bu Sekar sedang bicara soal siapa. Tapi kalau maksud ibu itu Febi, saya pastikan anak saya dididik untuk berjuang dengan harga diri, bukan menjualnya."
"Eh, saya nggak bilang Febi loh….."
"Ibu sudah cukup menebar fitnah. Kalau ibu tidak suka dengan keberhasilan orang lain, jangan menjelekkan anak saya di tempat umum seperti ini. Hati-hati, Bu. Lidah bisa lebih tajam dari pisau."
"Ih, saya cuma bercanda kok, Bu. Nggak usah baperan..."
"Kalau bercanda sampai menjatuhkan harga diri anak saya, itu bukan candaan, tapi hinaan."
Orang-orang di warung saling berbisik. Beberapa bahkan mengangguk-angguk melihat keberanian Bu Anita.
"Iya ya, keterlaluan juga kalau sampai ngomong begitu soal anak orang." celetuk salah satu ibu.
Wajah Bu Sekar semakin merah padam. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan keranjang belanjaannya, lalu tergesa pergi dari warung sambil menggerutu pelan.
"Dasar cerewet semua..."
Namun tatapan mata warga yang menilainya membuat langkah Bu Sekar berat. Ia tak menyangka justru dirinya yang menjadi bahan gunjingan siang itu.
Bu Anitamenghela napas, menatap bungkusan belanjaannya.