Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Tiga hari setelah meninggalkan Lembah Kabut, Wei Lian dan rombongannya tiba kembali di Luoyang. Wajah mereka kembali tersembunyi di balik penampilan para bangsawan muda biasa. Tak seorang pun curiga bahwa wanita bermata tajam yang turun dari kereta itu baru saja menemukan serpihan penting dari masa lalu berdarah keluarganya.
Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
“Mo Yichen hilang?” Wei Lian menatap Yan’er, suaranya menajam.
“Ia meninggalkan pesan kecil.” Yan’er menyerahkan secarik kertas yang dibungkus daun teh kering.
Wei Lian membuka lipatan itu.
“Jangan panik. Aku mengikuti bayangan yang membakar gubuk Ayahmu. Kau akan lebih aman tanpaku untuk sementara. –Yichen.”
Wei Lian menghela napas, bukan karena cemas, tapi karena merasa… kehilangan.
“Dia membuatku terbiasa dengan kehadirannya,” gumamnya. “Dan sekarang menghilang begitu saja.”
Yan’er menyeringai. “Biasanya hanya orang yang sangat berpengaruh yang bisa membuat Nona kehilangan kata-kata.”
Wei Lian meliriknya sinis. “Kau ingin kembali membersihkan toilet barat?”
“Maaf, salah bicara.”
---
Hari itu, Wei Lian kembali menghadiri perjamuan kecil yang diadakan oleh Permaisuri untuk para bangsawan muda. Ia tahu, acara ini hanyalah kedok untuk menjajaki kembali tekanan pernikahan politik antara dirinya dan Putra Mahkota.
Permaisuri tersenyum manis saat Wei Lian tiba. “Putri Jenderal, kau tampak semakin anggun. Pasti udara pedesaan membawa kesejukan bagi kulitmu.”
“Terima kasih, Yang Mulia. Udara pedesaan memang menyegarkan... dan membuat banyak topeng tampak rapuh di bawah sinar matahari,” balas Wei Lian dengan tenang.
Beberapa selir menahan napas. Beberapa tertawa kecil—terutama Selir Ning yang duduk agak jauh, matanya masih menyimpan luka karena skandal Festival sebelumnya.
Putra Mahkota hadir belakangan. Ia mengenakan jubah perak dengan bordir naga air, dan senyumnya palsu seperti boneka kayu.
“Kau tak berubah,” katanya pada Wei Lian.
“Dan kau tampaknya tidak pernah belajar.”
“Kau terus menolakku. Kau pikir siapa yang bisa melindungimu ketika badai datang?” Wajahnya mendekat sedikit, suaranya pelan namun mengancam.
Wei Lian menatapnya tajam. “Kau lupa. Aku pernah mati karena badaimu. Kini, aku adalah badai itu.”
---
Sementara itu, di dapur belakang kediaman Wei, suasana jauh berbeda. Ah Rui sedang mencoba mengaduk sup kacang merah, dengan ekspresi penuh konsentrasi.
Yan’er duduk di pinggir meja, mencium aroma sup itu dengan skeptis. “Kau yakin kau tahu perbedaan antara gula dan garam kali ini?”
“Diamlah! Aku sudah baca buku resep!”
Yan’er menunjuk mangkuk kecil. “Itu... cuka, bukan kecap.”
Ah Rui menjerit kecil, lalu menjatuhkan sendoknya. Sup tumpah ke meja. “Aaaah! Kenapa semuanya selalu salah saat aku mencoba jadi berguna!”
Yan’er tertawa terbahak. “Kau sangat berguna—untuk membuat dapur ini berantakan dalam waktu kurang dari lima menit.”
Mereka saling kejar-kejaran di dapur, hingga penjaga kediaman datang dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Malam itu, Wei Lian yang pulang dari istana menemukan aroma hangus, Ah Rui menangis dengan apron penuh noda, dan Yan’er duduk di lantai sambil mengunyah roti gosong.
Untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan.
---
Namun momen itu tak berlangsung lama.
Saat malam menjelang, seekor burung pos mendarat di jendela kamar Wei Lian, membawa secarik kertas dari Mo Yichen.
“Aku temukan satu dari mereka. Dia membawa lambang hitam berlambang ular melingkar. Mereka menyebutnya Sisik Dalam. Aku butuh waktu. Tapi aku akan kembali sebelum bulan purnama.”
Wei Lian menatap surat itu, lalu menyimpannya ke dalam laci paling dalam. Ia menatap cermin.
“Permainan telah dimulai. Dan aku... akan menari di atas papan catur mereka.”
...****************...
Dua malam berlalu sejak surat terakhir dari Mo Yichen. Wei Lian belum mendapat kabar lanjutan. Meski wajahnya tenang, ia mulai resah di dalam hati. Ia tidak terbiasa menunggu orang lain dengan khawatir.
Di halaman belakang, Yan’er berlatih jurus dengan tongkat kayu sementara Ah Rui duduk mengelap mangkuk dan mengeluh tentang luka kecil di jarinya karena "bertemu musuh di dapur."
“Aku rasa pisau-pisau dapur itu diciptakan oleh setan,” gumam Ah Rui.
“Tidak. Hanya kau yang tak bisa membedakan pisau dan garpu,” jawab Yan’er tanpa memandang.
Wei Lian menatap mereka dari lantai atas, lalu tersenyum tipis. Meskipun ia berada di tengah pusaran konspirasi, rumah kecil ini memberikan kehangatan yang ia butuhkan untuk tetap kuat.
Namun senyum itu tak bertahan lama.
Seorang kurir rahasia datang menyelinap malam itu. Ia menyelipkan gulungan kecil ke dalam pohon delima di luar rumah Wei.
Isinya:
“Satu anggota ‘Sisik Dalam’ telah tertangkap hidup. Lokasi: Gua Arang Hitam. Datang sendiri, sebelum mereka dipindahkan. –Yichen.”
Wei Lian membaca berkali-kali, lalu membakar kertas itu.
---
Gua Arang Hitam berada di sisi timur luar Luoyang, tersembunyi di balik hutan batu dan bukit gersang. Hanya mereka yang pernah ikut misi rahasia atau kelompok bayangan yang tahu jalurnya. Untungnya, Wei Lian bukan gadis biasa.
Ia mengenakan jubah penutup dan membawa pisau kecil tersembunyi di lengan.
Saat tiba di lokasi, Mo Yichen sudah menunggunya, duduk santai di depan api unggun, seperti sedang berkemah biasa.
“Kau datang sendiri,” komentarnya sambil menyeruput teh dari cangkir kayu.
“Aku tidak terbiasa mengirimkan orang untuk urusan sepenting ini,” jawab Wei Lian dingin.
Mo Yichen menunjuk ke arah dalam gua. “Dia diikat. Lidahnya licin, tapi ada satu nama yang terus ia ulang saat sedang mengigau: ‘Penasihat Ketiga Istana Dalam.’”
Wei Lian terdiam. Penasihat Ketiga Istana Dalam adalah pejabat setengah bayangan yang bekerja langsung untuk Permaisuri dan bertanggung jawab atas... pengawasan selir serta komunikasi internal antar pelayan.
“Dia?” Wei Lian bergumam pelan. “Orang itu bahkan tak pernah bicara lebih dari sepuluh patah kata dalam satu bulan.”
“Justru karena itu dia sempurna sebagai mata-mata,” balas Mo Yichen.
Mereka masuk ke dalam. Di pojok gua, seorang lelaki paruh baya duduk terikat. Wajahnya penuh luka lebam, tapi matanya masih penuh kebencian.
Saat melihat Wei Lian, ia mencibir. “Putri Jenderal... kau terlalu lambat. Putra Mahkota akan segera jadi Kaisar. Tidak ada yang bisa menghentikan itu.”
Wei Lian tidak terguncang. Ia berlutut, menatap lelaki itu dari jarak dekat.
“Aku tidak ingin menghentikan perubahan. Aku hanya ingin tahu... siapa yang memberi perintah untuk menjebak ayahku?”
Lelaki itu tertawa kecil, lalu meludah ke tanah. “Kau pikir pengkhianatan seperti itu datang dari satu orang? Dunia ini milik mereka yang berani menusuk dari belakang.”
Wei Lian menatapnya dalam diam. Lalu ia berdiri.
“Bawa dia ke tempat aman,” perintahnya pada Mo Yichen. “Jangan bunuh dulu. Mungkin lidahnya akan lebih murah setelah rasa lapar menyapa.”
bersambung