NovelToon NovelToon
Terpaksa Menjadi Madu

Terpaksa Menjadi Madu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.

Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Dua minggu setelah putusan sementara.

Alya merasa rumahnya berubah jadi benteng. Setiap langkah, setiap kata, seperti dipantau. Paparazzi masih berkeliaran di luar pagar, mengintai dari mobil hitam yang tak bergerak. Aira mulai bertanya-tanya kenapa ia tak boleh bermain di taman seperti dulu.

“Bunda... orang-orang itu jahat ya?” tanyanya suatu malam.

Alya memeluknya. “Bukan semua. Tapi beberapa dari mereka belum tahu kamu itu luar biasa. Tapi Bunda tahu. Dan Bunda nggak akan biarin siapa pun ambil kamu.”

Keesokan harinya.

Fauzan datang dengan kejutan baru.

Bukan lewat pengadilan, tapi kunjungan langsung ke Rumah Cahaya. Ia datang membawa psikolog anak dari luar negeri, menyamar sebagai "konsultan pendidikan".

Alya awalnya tidak tahu. Hingga ia melihat Aira duduk bersama mereka di taman kecil, sedang "diwawancara" dengan kata-kata manipulatif:

“Aira, kalau kamu tinggal sama Om Fauzan, kamu bisa punya kamar sendiri, mainan baru, sekolah internasional. Tapi kalau di sini... kamu harus berbagi sama anak-anak lain. Apa kamu nggak capek?”

Alya mendekat, nadanya tenang tapi tajam.

“Pak Fauzan, ini wilayah saya. Dan saya tahu manipulasi psikologis kalau saya melihatnya. Jangan coba tanamkan ide-ide yang menyesatkan ke anak kecil.”

Fauzan berdiri dengan senyum palsu. “Saya hanya memperkenalkan dunia yang lebih baik, Bu Alya. Karena menurut saya, Aira pantas dapat yang terbaik.”

Alya menatapnya tajam. “Kalau ‘terbaik’ menurut Anda adalah menjadikan anak kecil sebagai alat main politik keluarga, maka Anda tidak pernah benar-benar peduli.”

Malam itu, Rey datang membawa proposal hukum.

“Aku sudah konsultasi sama pengacara,” ujarnya. “Ada cara memperkuat posisi kamu secara hukum.”

Alya menatapnya.

“Pernikahan,” lanjut Rey. “Kalau kamu menikah dan punya pasangan yang stabil, terutama dengan aku sebagai figur publik yang bersih, statusmu sebagai wali jadi lebih kokoh.”

Alya membeku.

“Jadi kamu mau kita menikah… untuk menyelamatkan Aira?” tanyanya pelan.

Rey terdiam, lalu berkata dengan jujur. “Aku mencintaimu. Aku mencintai Aira. Tapi aku tahu ini terlalu cepat, terlalu strategis. Itu sebabnya aku tanya: kalau kamu mau, aku siap. Tapi kalau kamu ragu, aku akan tetap di sini. Tanpa status apa pun.”

Alya memandang ke jendela. Hujan turun. Seperti hatinya — penuh pertanyaan.

“Aku... gak pengen nikah karena terpaksa. Tapi aku juga gak bisa terus merasa sendiri. Selalu takut kehilangan Aira.”

Rey menggenggam tangannya. “Kalau kita menikah, bukan karena keadaan. Tapi karena kita sepakat untuk jadi keluarga.”

Beberapa hari berlalu.

Alya mulai menyusun surat pernyataan tertulis — menyatakan kesediaannya menikah dengan Rey, disertai surat dari psikolog anak yang menguatkan keterikatan emosional antara dirinya dan Aira.

Tapi sebelum ia menyerahkan semua dokumen ke pengadilan, Aira berkata hal yang membuat dunia Alya bergetar:

“Bunda... aku nggak peduli tinggal di rumah besar atau rumah kecil. Aku cuma mau tinggal sama orang yang pelukannya bikin aku tenang.”

Alya menangis malam itu. Bukan karena tekanan. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia sadar: ia tidak perlu membuktikan apa-apa ke dunia, selama Aira tahu ia dicintai.

Beberapa hari kemudian.

Di hadapan hakim, Alya tidak menyerahkan surat pernikahan. Tapi ia menyerahkan sesuatu yang lebih berani: rekaman manipulatif Fauzan, kesaksian guru Aira, dan gambar hasil psikolog anak yang menunjukkan peningkatan signifikan sejak diasuh Alya.

Rey duduk di belakang ruang sidang. Tak ada deklarasi cinta di depan umum. Tak ada pertunangan dadakan. Tapi ada tatapan diam yang menguatkan.

Ketika hakim menunda keputusan akhir sambil meminta evaluasi lebih lanjut, Alya tahu: ini belum selesai. Tapi ia sedang menulis takdirnya sendiri. Bukan sebagai wanita yang diselamatkan lelaki — tapi sebagai ibu yang memilih untuk bertarung, bukan menyerah.

Dalam cinta, kadang pilihan paling sulit bukan soal menikah atau tidak. Tapi soal tetap setia pada nilai yang tak bisa digadaikan: kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk berkata,

“Aku tidak akan berpura-pura, bahkan untuk menang.”

*

Tiga minggu sejak sidang terakhir.

Rumah Cahaya tak lagi tenang. Bukan karena anak-anaknya, tapi karena berita yang menyebar seperti api di musim kemarau.

“Ibu Kandung Aira Ternyata Masih Hidup — Mengaku Akan Rebut Kembali Anaknya”

Alya membaca artikel itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada foto seorang wanita sekitar usia tiga puluhan, rambut panjang tergerai, wajahnya cantik dan penuh riasan media — Arlina Yuwana.

“Saya ditinggalkan oleh Dimas ketika saya hamil. Dia menyuruh saya angkat kaki. Saya sempat kehilangan arah dan menitipkan anak saya pada saudara jauh, lalu menghilang. Sekarang saya sudah sembuh. Saya ingin memperbaiki segalanya.”

Rey membaca di samping Alya. “Dia datang bukan karena Aira, tapi karena kamera.”

Alya mengangguk. “Tapi tetap saja... dia ibu kandung. Secara hukum, dia bisa mengajukan klaim.”

Seminggu kemudian.

Surat dari pengadilan datang. Permohonan hak asuh darurat diajukan oleh Arlina. Bersama surat itu, ada dokumen dari lembaga rehabilitasi perempuan, dan surat rekomendasi dari organisasi sosial ternama.

Alya terduduk.

“Kau tahu, Rey,” katanya lirih. “Aku sudah siap bertarung dengan dunia. Tapi aku gak pernah siap bertarung dengan seorang ibu.”

Rey menatapnya tajam. “Tapi kamu sudah jadi ibu, Alya. Kamu lebih dari sekadar pengganti. Kamu adalah rumah.”

Hari pertemuan wajib mediasi.

Arlina hadir dengan gaun putih gading, wangi parfumnya menusuk. Senyumnya tenang, tapi matanya menyimpan agenda. Aira duduk di pangkuan Alya, menunduk.

“Aira sayang,” suara Arlina lembut, “Ibu asli kamu datang. Yuk, pulang sama Ibu.”

Aira menoleh ke Alya. Tangannya mencengkeram baju Alya erat-erat. “Bunda…?”

Alya memeluknya. “Ini Ibu Arlina, sayang. Tapi kamu boleh bilang apa pun yang kamu rasakan.”

Arlina tersenyum kecut. “Aku tahu kamu sudah bikin anakku tergantung padamu. Tapi darah tak bisa dibohongi, Alya. Cepat atau lambat, dia akan datang padaku.”

Alya menatapnya dengan lembut, tapi kuat. “Kalau kamu benar-benar ingin Aira kembali, buktikan. Bukan di depan kamera, tapi di tengah malam saat dia demam. Saat dia mimpi buruk. Saat dia tanya kenapa ayahnya nggak pernah kembali.”

Beberapa hari setelahnya.

Media makin gencar. Sponsor Rumah Cahaya satu per satu mundur karena citra buruk. Bahkan izin operasional Rumah Cahaya mulai dipertanyakan.

Puncaknya, Aira jatuh sakit. Demam tinggi, tubuh lemah, dan trauma emosional memuncak.

Alya menangis di depan rumah sakit, merasa semua usahanya sia-sia.

Rey datang membawa termos kecil berisi teh jahe.

“Kamu harus tetap di sini, Alya. Kalau kamu pergi, dia kehilangan dua kali. Pertama ibunya, sekarang bundanya.”

Alya berbisik, “Kalau aku kalah, Rey… aku akan tetap mencintainya. Meski aku tak bisa lagi memeluknya setiap hari.”

Rey mengecup dahinya. “Dan itulah kenapa kamu tak akan pernah benar-benar kalah.”

Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang.

Surat anonim masuk ke email Alya. Berisi catatan rekam medis Arlina — menunjukkan bahwa ia sempat meninggalkan Aira selama lebih dari dua tahun tanpa kontak, pernah kehilangan hak asuh atas anak lain sebelumnya, dan baru dua bulan keluar dari rehabilitasi penuh.

Surat itu juga menyertakan rekaman suara Arlina berkata pada temannya:

“Aku butuh Aira bukan karena aku sayang. Tapi karena aku bisa gunakan dia buat masuk TV lagi. Aku punya kontrak kalau aku bisa reunian.”

Alya terdiam.

Rey berkata, “Kalau kamu pakai ini, kamu bisa menang mutlak.”

Alya bergumam, “Tapi Aira juga harus tahu siapa ibunya. Aku tak mau dia tumbuh dengan kebencian pada darahnya sendiri.”

Hari terakhir mediasi.

Alya menyerahkan bukti itu pada hakim. Tapi ia juga menyerahkan sepucuk surat untuk Arlina, bukan sebagai pesaing, tapi sebagai sesama wanita.

“Kamu dan aku sama-sama pernah kehilangan arah. Tapi bedanya, aku bertahan untuk satu hal: Aira. Kalau kamu sungguh mencintainya, buktikan. Jangan lewat pengadilan. Tapi lewat kesediaan menjadi lebih baik — bahkan jika itu berarti memberi cinta dari kejauhan.”

Arlina membaca surat itu. Diam. Lalu untuk pertama kalinya, ia menangis.

Tak semua pertarungan dimenangkan dengan amarah. Kadang, justru dengan belas kasih yang tak terduga — yang memecah kerasnya kebohongan dan kebencian.

Alya tak tahu bagaimana akhir dari kisah hak asuh ini. Tapi ia tahu satu hal,

Ia tak akan pernah berhenti menjadi ibu. Bahkan jika dunia meragukannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!