Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Langit London yang Berbisik
Langit London menggantung rendah, kelabu pekat, memayungi kota dengan selimut kesuraman yang seolah tak berujung. Rintik gerimis halus sesekali menampar jendela kaca kantor Aaron, meninggalkan jejak basah yang memperburuk suasana hatinya yang memang sudah keruh sejak pesawat mendarat. Setiap awan kelabu terasa seperti beban di dadanya, memperberat setiap napas yang ia embuskan.
Jauh di lubuk hatinya, ia tahu bukan hanya cuaca yang menjadi penyebab kegelisahannya. Wajah Claire, basah oleh air mata di pinggir jalan, terus menghantuinya seperti bayangan yang tak mau pergi.
Aaron menghela napas, jemarinya mengetuk-ngetuk meja marmer hitam di hadapannya. Bunyi monoton itu menjadi satu-satunya suara di ruangan yang hening, mengisi kekosongan saat ia menunggu kedatangan Tuan Walter Davies, seorang pengusaha properti kenamaan Inggris yang menjadi rekan bisnis penting dalam proyek ini. Aaron sudah menyiapkan semua berkas, menata pikirannya untuk negosiasi yang akan datang. Fokus adalah satu-satunya pelarian terbaiknya dari gejolak batin yang baru saja ia rasakan.
Tak lama, pintu ruangan terbuka, dan Walter masuk bersama seorang wanita elegan di sampingnya. Wanita itu memiliki rambut cokelat gelap yang tergerai rapi, dengan senyum tenang dan sorot mata hangat yang memancarkan ketenangan. Aaron tahu, ini Lillian, istri Walter.
"Aaron, senang bertemu denganmu lagi," sapa Walter ramah, menjabat tangan Aaron dengan erat. "Ini istriku, Lillian. Dia ikut bersamaku hari ini. Ada urusan pribadi sedikit di kota, jadi sekalian saja."
Aaron mengangguk kaku, menjabat tangan Lillian. "Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Davies." Senyum Aaron tak pernah sampai ke mata, hanya sekadar formalitas yang dipaksakan.
Lillian tersenyum tipis, sorot matanya mengamati Aaron sejenak. "Saya dengar Anda baru tiba dari perjalanan panjang, Tuan Silvan. Bagaimana perjalanan Anda? Semoga tidak terlalu melelahkan." Ada nada tulus dalam suaranya.
"Baik, Nyonya Davies. Terima kasih," jawab Aaron singkat, tanpa melebarkan senyum. Ia benci basa-basi, namun tak bisa mengabaikan sopan santun.
Walter menangkap nada kaku itu, namun hanya menepuk bahu istrinya lembut. "Lillian selalu khawatir dengan perjalanan panjang. Terutama sejak... ya, kau tahu." Walter tertawa kecil, melirik istrinya penuh pengertian. Lillian hanya tersenyum tipis, mengangguk, seolah tak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
Selama pertemuan bisnis yang berlangsung, Aaron diam-diam mengamati interaksi antara Walter dan Lillian. Gerak-gerik mereka begitu teratur, hampir tanpa cela. Walter selalu memastikan Lillian merasa nyaman, sesekali meliriknya dengan senyum kecil, atau menyentuh punggungnya secara halus saat mereka berdiskusi, bukan sentuhan mesra, melainkan sentuhan pengingat atau perhatian.
Lillian, di sisi lain, menanggapi dengan anggukan pengertian, senyum tipis, dan terkadang melengkapi ucapan suaminya dengan tenang, memilih kata-kata yang tepat dan ringkas. Tak ada tawa berderai atau sentuhan mesra yang berlebihan, namun ada fondasi hormat dan perhatian yang sangat jelas terlihat dalam setiap tindakan mereka.
Ketika Walter dan Aaron larut dalam pembicaraan angka dan kontrak, Lillian memilih untuk duduk di sudut ruangan, di balik meja kopi kecil, membaca sebuah buku. Namun, setiap kali Walter membutuhkan sesuatu—seperti pena yang ia tinggalkan di tasnya, atau catatan kecil—Lillian selalu sigap menyodorkannya, seolah ia bisa membaca pikiran suaminya. Ada koneksi hening yang efisien, sebuah pengertian tanpa kata yang nyaris sempurna di antara mereka. Aaron, yang terbiasa dengan kegaduhan dan drama, merasa ada sesuatu yang aneh namun menenangkan dari interaksi keduanya.
"Maaf, saya rasa saya salah menyimpan pena saya," Walter menggumam, merogoh saku jasnya.
Lillian, tanpa mengangkat pandangan dari bukunya, segera mengangkat tangan. "Ini, Sayang. Sudah kuletakkan di saku dalam jasmu." Ia menunjuk saku jas Walter.
Walter tersenyum tulus pada istrinya. "Ah, terima kasih, Sayang. Kau selalu tahu di mana segala sesuatu berada."
Lillian hanya tersenyum membalasnya, pandangannya kembali fokus pada baris-baris kalimat di bukunya. Aaron mengerutkan kening. Walter tak menunjukkan rasa cinta yang membara, tapi ada kepuasan dan kepercayaan yang mendalam di matanya saat ia menatap Lillian.
Setelah pertemuan usai dan Walter serta Lillian berpamitan dengan senyum ramah, Aaron mendapati dirinya masih terdiam di kursi, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Ia tahu betul kisah di balik pernikahan Walter. Sebuah pernikahan perjodohan sejak kecil, tanpa cinta yang menggebu-gebu seperti kisah romansa di film. Namun, mereka tampak rukun, saling menghargai, dan ada rasa tanggung jawab yang begitu kuat di antara keduanya.
Tidak ada drama, tidak ada pertengkaran sia-sia. Pikiran itu mulai mengendap di benak Aaron.
Aaron memandang ke luar jendela lagi. Langit London masih mendung, setetes gerimis menuruni kaca, membentuk jejak basah yang kian memanjang. Entah mengapa, pemandangan itu memutar kembali ingatan akan wajah Claire. Air mata Claire. Perkataan Claire di mobil. Desakannya untuk ikut. Suara lirih "Aku merindukanmu." Dan kemudian, teriakan putus asanya di pinggir jalan.
Hatinya mencelos. Rasa perih yang tak terduga menyusup ke dalam dadanya, seperti jarum es yang perlahan menusuk. Mengapa kau selalu menangis di dekatku, Nona Hayes? Pertanyaan itu muncul, bukan lagi dengan nada menghakimi, melainkan dengan sentuhan penyesalan yang samar.
Aaron ingat bagaimana ia membentak Claire, bagaimana ia mengusirnya, bagaimana ia pergi tanpa menoleh. Semua itu, tanpa sadar, terasa seperti beban berat yang menghimpit, menyisakan sesak di dada.
Aku tak seharusnya memperlakukan dia seperti itu. Pikiran itu muncul, melucuti lapis demi lapis pembelaan diri yang selama ini ia bangun.
Walter dan Lillian bisa hidup damai, menjaga satu sama lain, meskipun tanpa gairah cinta. Jika saja ia bisa memandang pernikahannya dengan Claire seperti itu—hanya didasari rasa hormat, tanggung jawab, dan penghargaan pada status mereka—tanpa harus melibatkan 'cinta' yang rumit dan penuh gejolak emosi—mungkin segalanya akan jauh lebih mudah.
Bagi mereka berdua.
Bagi dirinya.
Bukan hanya aku yang menjadi korban di hubungan ini, gumam Aaron dalam hati, tatapannya kosong menembus gerimis.
Tapi juga dia. Dan bayinya. Sebuah pengakuan pahit yang terasa seperti menelan kerikil, menggores tenggorokannya.
Selama ini, ia selalu merasa dirinya yang paling dirugikan, paling terbebani oleh pernikahan paksa ini. Namun, melihat keheningan Lillian yang pengertian, dan mengingat betapa Claire selalu sendirian di rumah, menunggu kedatangannya, sebuah gambaran baru terbentuk di benaknya.
Claire juga terjebak. Terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, jauh dari keluarganya, dan kini... sendirian, mungkin menangis, di penthouse yang sunyi itu, tanpa kamera yang dulu ia inginkan.
Aaron bangkit, berjalan mendekati jendela, memandang ke cakrawala London yang tersembunyi di balik kabut kelabu. Napasnya terasa berat, ada keraguan yang menggantung di udara, sama tak terucapkan seperti perpisahan mereka. Tangan Aaron terangkat, menyentuh kaca dingin. Udara London terasa dingin dan basah, namun untuk pertama kalinya, rasa dingin itu tidak terasa seperti pelarian, melainkan cerminan dari kekosongan yang mulai ia rasakan di hatinya.
Aku... harus bagaimana? Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban, menyisakan gema bimbang.