Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan di Warung Kaki Lima
Perjalanan pulang terasa begitu hening setelah dari makam. Zergan hanya menatap jalan dengan wajah muram, sementara Juwita memeluk perutnya yang mulai keroncongan.
“Tuan, kita cari makan dulu yuk. Udah jam sebelas, tapi dari tadi kita belum makan. Sarapan aja tadi gak sempat,” ucap Juwita sambil tersenyum kikuk.
Tak lama, perutnya berbunyi keras. Juwita spontan menunduk, wajahnya merah padam menahan malu.
Zergan melirik sekilas, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Hm, mau ke restoran mana?” tanyanya datar, padahal dalam hati ia menahan tawa.
“Restoran? Ih, gak seru,” Juwita cepat-cepat menggeleng. “Ayam penyet aja yuk. Sama pecel lele, pinggir jalan gitu.”
Zergan mendengus pelan. Jujur, ia sering melihat warung tenda dengan spanduk bergambar lele, bebek, dan ayam di sepanjang jalan. Namun untuk singgah? Tidak pernah sekalipun. Baginya, tempat itu terlalu sesak, terlalu sederhana.
“Kau yakin itu enak?” tanyanya setengah ragu.
“Ayolah, Tuan harus coba. Kalau gak habis, biar aku yang habisin,” jawab Juwita enteng.
Zergan melirik tubuh kurus Juwita, lalu mencibir, “Ck, badanmu kurus tapi kau kuat makan.”
“Hehe, efek kurang kasih sayang,” balas Juwita sekenanya.
Ucapan itu membuat Zergan terdiam sesaat. Tatapannya melunak, tapi yang keluar hanya gumaman pelan, “Aku benar-benar tidak tahu dirimu.”
Juwita tidak menanggapi. Matanya berbinar begitu melihat sebuah warung tenda yang cukup ramai di seberang jalan. “Nah! Itu, Tuan! Kita makan di situ aja,” tunjuknya cepat.
“Soal makanan kau cepat sekali,” sahut Zergan sambil menghela napas. Padahal ia ingin tahu tentang Juwita, tapi gadis itu sibuk dengan makanan.
“Ya gimana lah, orang lapar,” jawab Juwita dengan nada bercanda.
Mobil berhenti di seberang jalan. Dari balik kaca, Zergan bisa melihat orang-orang berdesakan di bawah tenda sederhana. Asap dari wajan goreng mengepul ke udara, aroma sambal tercium bahkan hingga ke dalam mobil.
“Kau yakin mau makan di sana? Aku sesak lihatnya,” keluh Zergan sambil mengernyit. Rasanya ia tidak ingin ke sana, tapi gadis itu.
“Yang penting kenyang. Makan dulu, baru bilang sesak,” ucap Juwita mantap. Ia langsung membuka pintu mobil, tanpa menoleh ke arah Zergan, tanpa menunggu. Dengan langkah cepat, ia menyeberang.
Zergan spontan memijit pelipisnya. “Astaga … kalau lapar, dia memang seperti itu ya. Nyebrang aja gak lihat kanan-kiri.”
Dengan terpaksa, ia pun menyusul, menyebrang dengan elegan meski jelas terlihat canggung. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zergan Tanubrata akan duduk di kursi plastik warung kaki lima.
Begitu tiba di warung, Juwita langsung sigap mencari meja kosong. Tangannya menunjuk kursi plastik berwarna hijau yang sudah agak goyah.
“Di sini aja, Tuan. Lumayan masih kosong,” katanya ceria.
Zergan menatap kursi itu seolah sedang menatap benda asing. Ia menariknya perlahan, bunyinya berdecit. Duduknya pun kaku, seakan ia sedang berada di ruang rapat penting.
Juwita menahan tawa melihat ekspresinya. “Tenang aja, Tuan. Kursi ini kuat kok. Belum pernah dengar ada orang jatuh gara-gara kursi plastik.”
“Hm,” hanya itu yang keluar dari mulut Zergan, tapi jelas ia tampak tidak nyaman.
Seorang pelayan muda menghampiri sambil membawa buku menu lusuh yang sudah penuh bercak minyak. “Mau pesan apa, Mbak, Mas?”
“Ayam penyet dua, pecel lele dua, sama es teh dua ya, Mas,” ujar Juwita mantap.
Zergan langsung menoleh. “Kau bahkan tidak bertanya dulu padaku?”
“Hehe, saya tahu Tuan pasti bingung mau pesan apa. Jadi biar saya yang pesanin,” jawab Juwita sambil cengar-cengir. "Kalau Tyan tidak suka, biar saya yang abisin," sambungnya.
Zergan menghela napas panjang. “Sungguh… aku tidak pernah membayangkan hidupku bisa sampai di warung seperti ini.”
“Bagus dong, berarti hidup Tuan lebih berwarna sekarang.”
Zergan melirik Juwita. Wajahnya polos, tanpa beban, berbeda jauh dengan dirinya yang penuh luka. Ada sedikit rasa penasaran muncul.
“Juwita,” panggilnya pelan.
“Ya, Tuan?”
“Aku masih tidak mengerti… kenapa kau betah bekerja padaku. Kau tahu siapa aku, bagaimana hidupku, dan semua kekacauannya.”
Juwita menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil. “Karena saya merasa Tuan juga manusia. Sama kayak saya. Bedanya cuma Tuan punya segalanya, saya gak punya apa-apa eh punya hutanh juga. Tapi ternyata… walau punya segalanya, Tuan masih bisa merasa kesepian.”
Zergan menatapnya lama. Kata-kata itu sederhana, tapi seperti menampar dirinya.
“Aneh. Biasanya aku yang menginterogasi orang, tapi kali ini… aku yang merasa sedang diinterogasi,” gumamnya pelan.
Juwita terkekeh. “Ya ampun, Tuan. Saya cuma jawab jujur.”
Beberapa menit kemudian, pesanan datang. Sepiring ayam penyet dengan sambal merah menyala dan pecel lele goreng yang masih panas mengepulkan asap. Aroma bawang putih dan cabai langsung menyeruak.
Juwita menggosok kedua tangannya penuh semangat. “Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Ayo Tuan, coba dulu.”
Zergan menatap sambal itu dengan penuh kewaspadaan, seolah itu racun. “Sambal ini… tidak membunuhku, kan?”
Juwita hampir tersedak menahan tawa. “Tenang aja, Tuan. Kalau pedas, minum es teh. Gampang.”
Zergan akhirnya menyendok nasi dan sedikit lauk, memasukkannya ke mulut. Seketika matanya terbelalak. Panas dan pedas bercampur jadi satu.
Juwita menahan tawa melihat wajahnya yang memerah. “Gimana, Tuan? Enak kan?”
“Pedas… tapi… entah kenapa… aku ingin lagi,” jawab Zergan dengan napas terengah.
Juwita terkekeh puas. “Tuh kan. Saya bilang juga apa. Hati-hati ketagihan.”
Untuk pertama kalinya sejak lama, Zergan makan dengan lahap. Bukan makanan mahal, bukan hidangan restoran mewah tapi warung sederhana yang penuh asap dan suara riuh.
Dan di sanalah, sambil sesekali melirik Juwita yang makan dengan lahap, ia merasa hatinya sedikit lebih ringan.
Setelah selesai makan, keduanya kembali ke mobil. Zergan membuka pintu untuk Juwita, lalu ikut duduk di balik kemudi. Udara siang terasa lengket, dan aroma sambal masih melekat di ujung lidah mereka.
Untuk beberapa saat, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Hingga akhirnya Zergan memecah keheningan.
“Sebelumnya… kau memang suka makan makanan seperti itu?” tanyanya sambil menatap jalan.
Juwita mengikat rambutnya ke belakang dengan karet gelang seadanya. “Hehe, suka sih. Tapi justru jarang banget makan itu.”
“Jarang?” dahi Zergan berkerut. “Bukankah itu makanan yang murah meriah? Kenapa jarang?”
“Sejak kecil saya malah nggak pernah. Baru setelah kerja, kadang-kadang. Itu pun kalau ada uang lebih,” jawab Juwita ringan, seolah itu hal biasa.
Zergan menoleh sekilas, memperhatikan raut wajahnya yang tetap ceria meski ucapannya mengandung getir. Ada rasa aneh yang menggelitik di dadanya.
“Kau… miskin?” suara Zergan terdengar datar, tapi jelas mengandung keingintahuan.
Juwita menoleh, tersenyum kecil. “Tuan kira?”
Mobil melaju, membawa mereka dalam diam. Pertanyaan itu menggantung di udara, belum ada jawaban.